Pagi ini Aida masih duduk di atas sajadah. Melantunkan ayat-ayat suci al-quran dari mulutnya. Terdengar sangat merdu, bahkan jika saja ada yang mendengarmya tidak akan bosan. Lantunan ayat suci alquran yang begitu menenangkan jiwa dan pikiran. Beginilah retunitas wanita itu setiap selesai sholat subuh. Tidak akan pernah berhenti, jika dia tak mengalami masa bulanannya.
Sekitar jam setengah tujuh pagi, Aida turun ke bawah untuk membantu memasak. Meski di rumah itu terdapat seorang pembantu, tak membuat wanita itu engan untuk masuk dapur. Karena, kodratnya seorang wanita bagi Aida harus bisa memasak. Jangan hanya mengandalkan seorang pembantu, jika nanti dia sudah menikah. Karena, seenak apapun masakan seorang pembantu, pasti ada sedikit saja rasanya seorang suami menginginkan masakan yang dibuat melalui tangan istrinya sendiri. Baik itu enak atau tidaknya.
"Mbok, apa sudah selesai masaknya?" Saat sampai di dapur, sudah terdapat beberapa hidangan di atas meja makan.
"Belum Non," jawab Ijah kepada anak majikannya.
"Apalagi Mbok, biar aku bantu," ujar mengambil pisau yang terdapat di raknya khusus samping tempat cuci piring.
"Bikin sayur belum lagi Non. Non bisa membantu memotong sayurnya yang ada di kulkas," jawab Mbok Ijah yang tengah menyalin gulai ayam.
Aida mengambil seikat sayur bayam yang masih tampak segar. Membawanya ke wastafel untuk dipotong. Tak lupa wanita itu mengambil ember kecil untuk tempat sayur yang sudah di potong kecil. Selanjutnya Aida memasak sayur bayam diatas api sedangan yang kini sudah tampak mendidih. Sebentat lagi sayur yang dimasaknya matang.
Di meja persegi itu sudah duduk semua keluarga Hasan. Bahkan artnya juga ikut duduk disana. Meski hanya seorang pembantu tak membuat keluarga itu membedakannya. Karena, apapun derajat kita, bagi Allah tetaplah sama. Yang membedakan hanyalah amal kita masing-masing.
Mereka makan dengan tenang seperti yang biasa keluarga itu lakukan. Berbicara jika memang ada sesuatu yang mau dibahas. Tapi lebih banyak jika mereka sedang duduk santai di ruang televisi
"Mau kemana Mi?" Aida melihat Asiyah yang hendak keluar dari rumah dengan menenteng tas yang biasa dibawa wanita itu kepasar.
Aisyah menghentikan langkahnya. "Ummi mau kepasar Nak. Nanti sore keluarga calon suami kamu akan datang," jawab Aisyah dengan tersenyum kepada anak gadisnya.
Aida terdiam mendengar ucapan Aisyah. Tak menyangka jika secepat ini dia akan bertemu dengan keluarga calon suaminya.
"A-apa di-dia juga datang Mi?" Aida menatap wajah wanita itu dengan serius. Rasanya dia belum siap untuk bertemu dengan laki-laki itu untuk sekarang. Jika dengan keluarganya rasanya tidak mengapa. Toh tahun lalu mereka juga sudah ketemu.
Asiyah menampilkan senyum manisnya. Dia paham dengan perasaan putrinya saat ini. Jelas tergugat rasa khawatir serta rasa cemas di wajah cantik anak gadisnya. Tapi mau bagaimana lagi, kedatangan keluarga calon suaminya tentu juga dengan anak laki-laki mereka.
"Iya Nak. Dia juga ikut ke sini," balas Aisyah mengusap kepala putrinya yang di lapisi hijab panjang yang selalu di pakai anak gadisnya.
"Ta-tapi aku belum siapa Mi," ujar Aida menunduk. Gadis itu meremas ujung hijabnya dengan kuat.
"Cepat atau lambat pasti kamu akan bertemu dengannya Sayang. Tidak ada bedanya dengan hari ini. Ummi paham dengan apa yang kamu rasakan Nak, teruslah beristighfar untuk menghilangkan rasa gundah yang tengah kamu rasakan, Sayang," Aisyah menguap lembut pipi putrinya yang kini tampak mengalir air bening dari matanya.
Aida mengangguk. "Terimakasih Mi."
"Sama-sama Sayang. Yasudah ummi pergi dulu ya." Pamitnya diangguki Aida.
Aida menuju kamarnya untuk mengambil wuduk. Hanya dengan membaca al-quran hati gadis itu akan tenang. Meski sudah terus beristighfar, kadang kala itu tidak sepenuhnya membuat hatinya tenang. Berbeda dengan membaca Al-Qur'an serta memahami setiap ayat yang dibacanya beserta artinya.
Suara merdu milik Aida memenuhi kamarnya. Sudah lebih dari satu lembar dia membaca Al-Qur'an untuk menenangkan hatinya.
"Shadaqallahul-'adzim" Aida menutup Al-Qur'an yang dibacanya. Meletakkan sebentar di atas kepalanya lalu menciumnya sebentar. Setelah itu baru diletakkan pada pada tempat dimana gadis itu mengambil kita suci tersebut. {(صَدَقَ اللهُ اْلعَظِيْمُ) "Maha benarlah Allah yang Maha Agung".}
\*\*\*
"Assalamu'alaikum," Bunyi bell serta ucapan salam mengalihkan atensi semua orang yang ada di ruang tamu.
Aisyah bergas menuju pintu yang diyakininya itu adalah keluarga besannya. Yang tak lain adik angkat dari suaminya.
"Mari masuk Mas, Mbak" Aisyah mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah.
Mereka mengangguk. Mengikuti Aisyah menuju ruang tamu.
"Apa kamar Mas?" Hamzah memeluk sekilas kakak angkatnya. Sudah satu tahun mereka tidak bertemu.
"Alhamdulillah Mas sehat, Ham," Hasan membalas pelukan adik angkatnya.
"Alhamdulillah kalau begitu Mas. Aku turut bahagia" Hamzah langsung saja duduk di sebrang kakaknya. Sedangkan di sebelahnya sang istri baru anak laki-lakinya.
Tak lama setelah itu ART di rumah itu menyuguhkan teh manis untuk ketiga orang itu. Tak luka kue yang juga di letakkan diatas piring kecil.
"Silahkan di cicipi terlebih dahulu Ham, Fat, dan kamu --" Hasan tampak bingung menyebutkan nama laki-laki itu. Bukan tidak tahu, hanya saja dia lupa-lupa ingat.
"Husein, Mas," jawab Hamzah yang melihat sang kakak tampak menghentikan ucapannya.
"Ahh ya, Husein. Maklum, Om sampai lupa soalnya sudah lama sekali kita tidak bertemu,"
"Iya benar sekali Kak. Kalau tidak salah waktu Husein masih berumur sepuluh tahun," ujar Hamzah mengingat jika putranya berkunjung kesini saat masih menduduki bangku sekolah dasar.
"Aida," Hasan menyebut nama putrinya yang tampak menunduk. Tak berani mengangkat wajahnya batang sedikitpun.
"Iya Bi," Aida mengangkat kepalanya sebentar, kaku kembali menunduk.
"Itu calon suami kamu, Nak," Hasan melirik ke arah Husein yang tampak memperhatikan putrinya yang hanya menunduk.
Aida menatap laki-laki yang berada di samping Fatimah. Mata mereka saling bertemu.
"Astagfirullahal'azim, astagfirullahal'azim, astagfirullahal'azim," Aida langsung saja memutuskan tatapan mata itu. Kembali menunduk seperti semula. Mengucap istighfar berulang kali, karena menatap yang bukan mahramnya. Meskipun hanya sebentar bagi Aida itu tetap tidak di benarkan.
"Kenapa Sayang?" Aisyah yang berada di samping putrinya memegang lembut tangan sang putri kala, telinganya mendengar sang anak terus berucap istighfar.
Aida menggeleng. "Tidak apa Mi," jawab Aida tersenyum kepada wanita itu.
"Berhubungan kami sudah datang ke sini. Saya selaku kepala keluarga, ingin meminang putri dari kakak untuk dijadikan istri untuk putraku satu-satunya," Langsung saja Hamzah mengatakan maksud baiknya kepada Hasan yang kini mendengarkan ucapannya.
Hasan tersenyum serasa mengangguk. "Baiklah, karena saya juga mengatakan sebelumnya kepada putri kami tentang maksud baik kamu Ham. Jadi saya akan menjawab putri saya menerimanya dan otomatis saya juga akan menerima," jawab Hasan melemparkan senyuman kepada adiknya itu.
Aida? Wanita itu hanya terdiam. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia duduk mematung setelah mendengar jawaban dari Abinya. Jujur saja hatinya tengah menangis meski tidak dengan matanya. Masih terasa sulit bagi Aida menerima pinangan ini, namun dia tidak mau egois. Yang terpenting orang-tuanya bahagia, terutama Umminya.
"Alhamdulillah," Kata itu keluar dari Hamzah serta Fatimah. Sedangkan putranya hanya terdiam tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya.
Selanjutnya mereka menentukan kapan hari baik untuk putra-putri mereka akan melaksanakan ikatan sakral, apalagi jika bukan ikatan pernikahan.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Ning Mar
lanjut2
2023-08-16
0
Al Hyt
Mohon setiapenulis Al - Qur'an dengan hurup besar di hurup a dan q nya, itu tanda sebagai tanda kita memulyakannya
2023-01-29
2
ˢ⍣⃟ₛ🍾⃝𝓡ͩ𝓱ᷞ𝔂ͧ𝓷ᷠ𝒾𝓮ͣᴸᴷ㊍㊍
ganteng gak Aida calon suamimu...?? semoga calon suamimu terpesona akan kebaikan dan kecantikanmu Yaa..☺️☺️
2022-12-03
2