Motor yang dikendarai Adrian memasuki pelataran parkir café milik temannya. Di belakangnya menyusul masuk Roxas yang membonceng Micky. Kedua pemuda itu girang bukan kepalang, ternyata benar sang wali kelas membawa mereka untuk menikmati makanan di café. Sambil turun dari kendaraan roda duanya, Roxas membaca nama café yang terpampang di bagian atas bangunan D’CAPITOL.
Keduanya segera menyusul masuk ke dalam café ketika melihat Adrian dan Dewi masuk. Pria itu berjalan menuju bagian belakang café dan mengambil meja di dekat kolam kecil yang ada di sana. Seorang pelayan datang dengan membawakan buku menu. Adrian segera memberikan buku menu tersebut pada ketiga muridnya.
Adrian menghubungi seseorang dengan ponselnya di saat Dewi, Roxas dan Micky masih sibuk membaca aneka menu yang tertera. Usai mengabarkan pada temannya tentang kedatangan dirinya, perhatian Adrian kembali pada ketiga muridnya.
“Sudah siap memesan?” tanya Adrian menghentikan kasak-kusuk di antara mereka bertiga.
“Kita boleh pesan apa aja kan, pak?” tanya Micky.
“Iya, apa saja.”
“Kalau pesan yang paling mahal boleh juga pak?” pertanyaan Roxas langsung mendapatkan pelototan dari Dewi dan toyoran dari Micky.
“Silahkan.”
Melihat ketiga muridnya sudah siap untuk memesan, Adrian mengangkat tangannya. Pelayan yang tadi segera mendekat dengan membawa notes di tangannya. Satu per satu Roxas, Dewi dan Micky menyebutkan pesanannya. Dewi menggelengkan kepalanya ketika mendengar Roxas dan Micky memesan menu termahal di café ini.
“Pak, saya boleh tambah pesan dessert ngga?” tanya Micky.
“Boleh.”
Dengan senang Micky menyebutkan menu hidangan penutup. Tak mau kalah, Roxas pun ikutan memesan. Dia bertanya pada Dewi, namun gadis itu hanya menggelengkan kepalanya. Dewi cukup sungkan makan bersama wali kelas yang dianggapnya sebagai devil teacher.
Usai mencatat pesanan, pelayan tersebut segera meninggalkan meja mereka. Tak lama datang Krishna, pemilik café sekaligus teman dari Adrian. Dia segera menghampiri teman kuliahnya dulu.
“Ad..” panggil Krishna. Adrian menolehkan kepalanya, kemudian berdiri dan menyambut uluran tangan Krishna.
“Apa kabar?” tanya Krishna.
“Alhamdulillah baik.”
Mata Krishna langsung tertuju pada tiga makhluk berseragam putih abu yang duduk semeja dengan Adrian. Menyadari arah pandagan temannya, Adrian segera memperkenalkan ketiganya.
“Kenalkan ini muridku. Yang perempuan Dewi, yang ini Micky dan ini Aep.”
Mata Roxas membulat ketika mendengar Adrian memanggilnya dengan sebutan Aep, bukan Roxas. Dia melihat keki pada kedua temannya yang terkikik geli. Ingin rasanya dia memprotes sang wali kelas durjana itu, tapi khawatir jatah makannya dicancel.
“Kalian tunggu di sini, nikmati makanan kalian. Saya masih ada urusan dengan pak Krishna.”
“Iya, pak,” jawab ketiganya kompak. Mereka, terutama Dewi dapat bernafas lega karena Adrian tidak ikut makan bersama.
Krishna mengajak Adrian menuju ruangan kerjanya yang berada di lantai dua. Sebelumnya Krishna sempat memesankan minuman untuk temannya itu. Kedua pria itu kemudian mendudukkan diri di sofa begitu berada di ruangan kerja Krishna.
“Itu semua muridmu?” tanya Krishna.
“Hmm.. mulai hari ini sampai empat bulan ke depan, aku yang jadi wali kelas mereka.”
“Kok bisa? Bukannya kamu sudah terdaftar sebagai dosen di Universitas Nusantara?”
“Iya, tapi jadwal mengajarku secara resmi saat tahun ajaran baru.”
“Terus gimana ceritanya bisa ngajar anak SMA?”
“Pak Nurman kan teman papaku. Dia minta tolong karena salah satu guru di sekolahnya mendadak resign karena harus ikut suaminya pindah kerja. Papa nyaranin aku, dan pak Nurman setuju. Aku ngga enak nolak, ya udah kuterima aja. Hitung-hitung pemanasan.”
“Ngajar anak SMA itu sesuatu banget.”
“Ehm.. tuh anak tiga tadinya mau ngerjain aku. Ya udah aku kerjain balik aja.”
“Hahaha… biawak dikadalin.”
Krishna tertawa kencang saat mendengarkan cerita Adrian lebih lanjut dengan apa yang terjadi pada ketiga muridnya tadi.
“Aku masih ada urusan, jadi kayanya harus pergi sekarang. Aku titip anak-anak dan mau minta tolong juga.”
“Soal apa?”
🌸🌸🌸
Roxas menepuk-nepuk perutnya yang terasa penuh setelah menghabiskan dessert, begitu pula dengan Micky. Tenaga yang terkuras tadi saat mendorong motor sudah tergantikan.
“Eh.. udah sore, balik yuk,” ajak Dewi.
“Ayo,” Roxas mengambil gelas minumannya yang sisa setengah kemudian menghabiskannya sekaligus.
Dewi mengambil tasnya kemudian menggendong ke punggungnya. Dia masih menunggu kedua temannya yang masih bersiap. Saat ketiganya akan meninggalkan meja, seorang pelayan menghampiri mereka.
“Maaf dek.. ini billingnya,” pelayan tersebut menyerahkan tagihan yang harus dibayar.
“Eh udah dibayar sama pak Adrian, mba,” jawab Micky.
“Belum, dek.”
“Hah??” ketiganya terperangah.
“Dasar kampreto delisioso. Udah gue dugong pasti ada udang dibalik bakwan dia tiba-tiba ngajak makan di café, udah gitu pake acara kabur duluan,” cerocos Dewi kesal.
Micky menggaruk kepalanya yang tak gatal. Roxas memandangi peralatan makan yang kosong di meja. Ingin rasanya dia memuntahkan kembali makanan yang ditelannya tadi, namun mustahil.
“Berapa mba tagihannya?” tanya Dewi. Sang pelayan menyerahkan billing di tangannya.
“Buset empat ratus delapan puluh lima ribu,” mata Dewi membulat saat membaca nominal tagihan.
“Rox, bayar. Lo kan yang paling banyak makan,” seru Micky.
“Enak aja, lo juga banyak makannya,” elak Roxas.
“Terus gimana?”
“Wi.. bayarin dulu,” Roxas melihat pada Dewi.
“Dih masa cowok minta dibayarin cewek. Lagian tadi gue makannya dikit, itu juga pilih menunya yang biasa. Lo berdua kan yang sok-sokan milih menu paling mahal.”
“Kaga apa-apalah, kali-kali cewek yang bayarin. Kali ini harga diri gue, bakal gue obral, kalo perlu didiskon 70%, asal lo bayarin dulu.”
Pelayan yang masih berada di dekat mereka, menundukkan kepalanya. Berusaha menyembunyikan tawanya. Dewi membuka tasnya lalu mengambil dompet dari dalamnya. Saat membuka dompet, ternyata hanya ada selembar sepuluh ribuan saja di dalamnya.
“Patungan ajalah,” ujar Dewi. Dia mengeluarkan lembaran terakhir di dompetnya lalu meletakkan di atas meja.
“Gue cuma punya segitu,” ujar Dewi.
“Bentar.”
Roxas merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sisa-sisa uang yang dimilikinya. Satu lembar seribuan dan beberapa keping uang lima ratusan. Micky juga melakukan hal yang sama, diletakkannya dua lembar dua ribuan yang terdapat solasi di atasnya.
“Buset tuh duit abis kecelakaan? Pake diplester segala,” celetuk Roxas.
Kali ini sang pelayan tak bisa menahan tawanya lagi. Melihat uang di atas meja plus celetukan Roxas, pelayan wanita itu akhirnya terkikik juga. Tanpa mempedulikan tawa wanita itu, Roxas sibuk menghitung jumlah uang yang terkumpul.
“Semuanya ada tiga belas ribu lima ratus. Buset masih banyak kurangnya, gimana nih.”
“Ada apa ini?”
Krishna muncul di tengah-tengah kepanikan Roxas dan yang lainnya. Dia mendekati meja di mana ketiga murid temannya itu berada. Matanya melirik uang yang ada di atas meja lalu melihat pada semuanya dengan wajah tanpa ekspresi.
“Ada apa?” ulangnya lagi.
“Begini, om. Eung.. emangnya pak Adrian ngga bayarin makanan kita?” tanya Roxas memberanikan diri.
“Tadi pak Adrian yang ngajak makan di sini,” sambung Micky.
“Tadi dia buru-buru pergi karena masih ada urusan. Dan sepertinya dia lupa untuk membayar tagihan.”
“Terus gimana dong, om. Uang kita ngga cukup,” Roxas menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
“Begini saja. Kebetulan hari ini café sedang ramai. Kalian bantu staf saya saja di dapur.”
“Maksudnya om?”
“Ayo ikut saya.”
Krishna berjalan mendahului ketiganya. Dengan pasrah Dewi, Roxas dan Micky mengikuti langkah pria itu. Sebelum pergi, Roxas mengambil uang yang ada di meja lalu memasukkannya ke dalam kantong celana.
“Kamu.. siapa namamu tadi?” Krishna melihat pada Dewi.
“Dewi, om.”
“Ah.. ya, Dewi. Tolong kamu cuci semua perabotan kotor di sana.”
Mata Dewi mengikuti arah telunjuk Krishna. Beberapa piring, gelas dan peralatan dapur lainnya nampak menumpuk di tempat cuci piring. Dewi menaruh tasnya ke kursi yang ada di sana lalu menuju tempat cuci piring. Dia menggulung sedikit lengan kemeja sekolahnya sebelum mulai mencuci.
“Dan kamu, bersihkan semua sampah yang ada di dapur ini. Masukkan ke dalam plastik sampah lalu buang ke tempat sampah di dekat pintu belakang. Ingat, pisahkan sampah organik dan non organik,” ujar Krishna pada Micky.
“Siap, om.”
“Kamu, bantu bereskan meja-meja di depan. Bawa piring dan gelas kotor, berikan pada Dewi. Lalu sapu dan pel dapur ini sampai bersih.”
“Iya, om,” jawab Roxas.
Tanpa menunggu perintah datang dua kali, Roxas dan Micky segera melakukan apa yang diperintahkan pada mereka. Krishna menarik salah satu kursi yang ada di dapur. Kemudian duduk sambil mengawasi ketiganya. Senyumnya mengembang mengingat percakapannya dengan Adrian beberapa saat sebelum temannya itu pamit pulang.
“Aku masih ada urusan, jadi kayanya harus pergi sekarang. Aku titip anak-anak dan mau minta tolong juga.”
“Soal apa?”
“Bilang sama ketiga muridku kalau aku belum bayar tagihannya. Minta mereka yang bayar. Kalau perlu naikkan harganya dua kali lipat. Sebagai bayarannya, minta mereka bekerja membantu di café.”
“Bagaimana kalau mereka bisa membayar?”
“Tidak mungkin, aku jamin mereka ngga akan sanggup bayar.”
“Ok.. kejam banget kamu. Masih dendam sama mereka?”
“Bukan dendam, hanya memberi pelajaran saja. Mereka itu murid-murid yang memiliki energi lebih, jadi aku hanya memberikan penyaluran yang tepat saja untuk mereka,” Adrian tertawa setelahnya, begitu pula dengan Krishna.
Lamunan Krishna buyar ketika mendengar suara Dewi yang tengah memarahi Roxas. Pemuda itu hampir saja menjatuhkan gelas dan piring yang baru saja dicuci oleh Dewi. Diam-diam Krishna mengambil foto mereka lalu mengirimkannya pada Adrian.
Setelah setengah jam lebih berjibaku dengan pekerjaan, akhirnya ketiga murid itu selesai juga menuntaskan kewajibannya. Krishna memperbolehkan ketiganya pulang tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.
“Rox.. balikin duit gue,” pinta Micky begitu mereka keluar dari cafe.
“Duit gue juga,” timpal Dewi.
“Soal duit aja inget mulu.”
Roxas merogoh saku celananya lalu mengembalikan uang Micky dan Dewi. Kemudian pemuda itu berjalan menuju motornya, Dewi dan Micky mengekor di belakangnya.
“Lo ngapain ngikutin gue?” tanya Roxas pada Micky.
“Ya mau nebeng, lah.”
“Balik sendiri. Gue balik ama Dewi.”
Dewi menjulurkan lidahnya pada Micky. Dengan cepat gadis itu mengenakan helmnya lalu naik ke atas motor. Tangannya melambai pada Micky ketika motor yang ditunggangi Roxas melaju pergi.
Micky hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Saat akan keluar dari area parkir, matanya menangkap sebuah pick up yang baru saja mengantarkan bahan makanan ke café. Bergegas dia mendekati mobil tersebut lalu menemui sang supir.
“Mang.. ini pulang arahnya ke mana?” tanya Micky.
“Ke Ciroyom.”
“Aku nebeng ya, mang. Sampe Cibadak aja.”
“Ya udah. Naik di belakang aja.”
“Siap bang, nuhun.”
Micky melemparkan tas ke bak belakang kemudian naik ke atasnya. Dia menyenderkan punggungnya seraya memejamkan mata. Tubuhnya lumayan lelah seharian ini tak berhenti melakukan pekerjaan yang cukup menguras tenaga.
🌸🌸🌸
Yang nanya visual Dewi dan Roxas sudah ada di awal bab ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Inooy
main2 sama biawak,,kena kan kaliaaan??
udh mah tadi cape ngedorong motor bolak balik, ngeberesin buku d perpustakaan..skarang d tambah d cafe hrs bayar sendiri,,tadi siapa tuh yg makan nya paling banyaaak?? siap2 cuci piring d dapur..🤣🤣🤣
ngakak aq, ternyata guru nya lebih cerdik d banding siswa nyaa 😂😂
2024-12-11
1
Inooy
huahahaha..d obral,,d obral!!! harga diri d obral..diskon 70% ajah,,ayo ayooo siapa yg mauu!!! 🤣🤣
siapa lg yg mo harga diri kamu?? 😅🤦♀️
2024-12-11
1
Ahmad Sahwina08
tuh guru jail jg ya otak 'a🤣🤣🤣🤣
2025-03-23
1