Begitu bel istirahat berbunyi, Dewi dan Roxas bergegas menuju ruang tata usaha. Mereka perlu bertemu dengan ibu Rina, pegawai tata usaha yang selama ini diminta menyembunyikan identitas mereka. Selama hampir tiga tahun keduanya tak pernah absen memberikan jatah makan siang pada wanita bertubuh gempal itu sebagai kompensasi menutupi nama panjang mereka.
“Bu..” panggil Dewi membuat sang empu nama mengangkat kepalanya.
“Mana makan siang saya?” ibu Rina menengadahkan tangannya.
“Ibu jangan ngadi-ngadi, ya. Bisa-bisanya ibu masih minta jatah makan siang di saat semuanya sudah terbongkar.”
“Maksudnya?” kening bu Rina nampak berkerut.
“Ibu ngga usah pura-pura dalam perahu, deh,” ujar Roxas.
“Kura-kura, dudul,” ralat Dewi.
“Oh iya. Ibu ngga usah sok jadi kura-kura ninja. Ibu kan yang udah bocorin soal nama kita sama pak Adrian.”
“Pak Adrian?” ibu Rina berpikir sejenak.
“Oh… guru baru itu, yang gantiin bu Cahya. Kenapa dengan pak Adrian? Ganteng ya? Pasti kamu bakalan tambah semangat belajarnya, Til..” Ibu Rina menepuk lengan Dewi. Wanita itu memang lebih senang memanggil Dewi dengan sebutan Tili atau Til saja.
“Semangat dari mana? Yang ada aku gedeg banget sama dia. Asal ibu tau, dia udah ekspos nama aku ke seantero kelas. Udah gitu dia manggil aku Tili, sama kaya ibu.”
“Hahahahaha…. Jadi namamu sudah terbongkar toh. Terus namamu juga?” bu Rina menoleh pada Roxas yang dijawab oleh anggukan. Wanita itu kembali tergelak.
“Ish ibu bisa-bisanya tertawa di atas penderitaan kami. Pokoknya saya ngga mau tau ya, bu. Ibu harus tanggung jawab. Pasti ibu yang udah kasih tahu sama pak Adrian soal kita.”
“Wah jangan fitrun kamu. Pak Adrian itu pinter, tanpa harus nanya ke ibu, dia pasti bisa cari sendiri soal kalian dari data base siswa. Selama ini bu Cahya dan wali kelas yang lain membiarkan nama kalian hanya inisial saja karena rasa kemanusiaan saja, bukan karena ngga tahu. Jadi, kalau kalian mau marah, sana sama pak Adrian. Dia bisa saja tetap diam tapi malah mengekspos, jadi bukan salah ibu.”
Dewi dan Roxas terdiam. Memang benar apa yang dikatakan oleh wanita subur itu, pangkal masalahnya memang ada di Adrian, guru tampan namun berhati iblis. Begitu pendapat kedua orang itu tentang wali kelas barunya.
“Terus makan siang ibu gimana?”
“Beli aja sendiri. Mulai sekarang kita ngga akan kasih jatah makan siang lagi sama ibu, no way,” Dewi menyilangkan kedua tangannya membentuk huruf X.
“Ya nda bisa gitu, perjanjian is perjanjian. Dan masa kontrak kita belum berakhir sampai kalian lulus.”
“Ngga mau. Kita rugi bandar, udah keluar uang tapi tetap kebongkar juga. Pokoknya ngga ada makan siang lagi, titik!”
“Bener, kita ini ibarat sudah tertipu investasi bodong,” sambung Roxas.
“Terus siapa yang mau beliin ibu makan siang sekarang?”
“Ibu minta aja sama pak Adrian, bye…”
Dewi dan Roxas segera meninggalkan ruangan tata usaha tersebut. Rina menghembuskan nafas kesal, nyatanya ulah Adrian tidak hanya berdampak pada Dewi dan Roxas tapi juga pada dirinya.
Keluar dari ruang tata usaha, Dewi dan Roxas segera menuju ke kantin untuk mengisi perutnya yang terasa keroncongan. Ternyata berhadapan dengan Adrian dan Rina juga menguras tenaga. Ketika melihat sekumpulan siswa yang tengah nongkrong di dekat lapangan basket, terdengar sebuah suara memanggil Dewi.
“Oii Mantili! Dewi Mantili!”
Dewi menghentikan langkahnya lalu menghampiri seorang siswi yang baru saja memanggilnya. Beberapa teman yang ada bersama siswi tersebut, terkikik geli saat mendengar nama Mantili.
“Ngapain lo panggil-panggil gue?”
“Ngetes doang. Ternyata nama yang lo sembunyiin itu Mantili, ck.. pantes disembunyiin, jelek banget tuh nama,” siswi bernama Mona itu tertawa mengejek.
“Denger ya, gue ngga ekspos nama Mantili, supaya elo ngga jiper pas denger nama gue. Secara Mantili itu wonder woman versi Indonesia. Sebelum wonder woman mampir ke Indonesia, dia udah lebih dulu nongol. Mau lo gue sabet pake pedang setan?”
“Widih… atut…”
“Udah, Wi.. ngga usah ditanggepin.”
Roxas mendekat kemudian menarik pelan ujung hijab yang dikenakan Dewi. Melihat Roxas yang begitu peduli pada Dewi, karuan membuat Mona semakin kesal. Apalagi pemuda itu tak pernah tertarik padanya.
“Lo juga ngga usah sok kegantengan, dasar Aep..”
“Biar nama gue Aep, tetap ngga mengurangi kegantengan gue. Buktinya lo masih ngebet sama gue, dasar kunti sang*.”
“Hahahaha…. Masih mending Mantili si pedang setan dari pada Mona si kunti sang*.”
Tawa Dewi pecah begitu saja, puas rasanya bisa membuat wajah Mona memerah menahan malu dan marah. Gadis itu segera mengajak Roxas untuk menuju kantin.
Suasana kantin masih ramai oleh penghuni sekolah yang tengah mengisi perutnya. Dewi memesan satu porsi baso tahu dan es jeruk, sedang Roxas memesan mie instan goreng plus telor ceplok, untuk minumnya seperti biasa nebeng pada Dewi. Sambil menunggu pesanan, Dewi dan Roxas berbincang santai. Terdengar suara-suara beberapa siswa di sana yang memanggil nama Mantili dan Aep. Berita nama panjang kedua murid kelas 12 IPS 3 itu memang langsung tersebar ke seantero sekolah.
BRAK!
“Ini ngga bisa dibiarin! Gue harus bikin perhitungan sama pak Adrian!” Dewi memukul meja dengan kepalan tangannya.
“Gue setuju, ayo kita kasih dia pelajaran,” sahut Roxas.
“Gue juga setuju,” celetuk Micky yang langsung mendekati keduanya begitu sampai di kantin.
“Ngapain lo ikut-ikut?” tanya Roxas.
“Dia udah nyuruh gue ngosek WC selama tujuh hari!”
“Kan lo sendiri yang minta, PEA!” Roxas menoyor kepala temannya itu.
“Ya harusnya dia ngga usah kabulin dong!”
“Udah.. udah.. kalo si Micky monyet mau ikutan ngga apa-apa, nambah sekutu buat bales pak Adrian malah lebih baik. Sini… gue punya ide.”
Dewi menggerakkan tangannya, Roxas dan Micky sontak langsung mendekatkan wajahnya. Dengan suara pelan Dewi menjelaskan rencana pertama mereka untuk mengerjai Adrian.
“Gimana?” tanya Dewi.
“Cuma gitu doang?” seru Micky.
“Itu buat awalan. Kita ngga akan balas sekaligus, tapi dicicil, biar dia ngga betah dan mengundurkan diri jadi walas kita,” Roxas dan Micky mengangguk-anggukkan kepala menyetujui usulan Dewi.
“Jadi nanti pulang sekolah, siap ya?”
“Siap!” jawab Roxas dan Micky bersamaan seraya mengangkat kedua ibu jarinya. Dewi tersenyum licik membayangkan di tengah siang bolong Adrian mendorong kendaraannya.
🌸🌸🌸
Pukul setengah dua siang, kelas 12 IPS 3 sudah diperbolehkan pulang. Dewi, Roxas dan Micky masih bertahan sebentar di dalam kelas di saat teman-temannya mulai meningalkan ruangan belajar tersebut. Dewi memberi secarik kertas pada Roxas berisikan merk motor yang dikendarai Adrian beserta nomor platnya. Kedua pria itu kemudian bergegas keluar kelas menuju parkiran motor.
Micky bertugas mengawasi keadaan sekitar. Mereka sengaja memilih waktu di saat banyak siswa tengah sibuk mengeluarkan motor dari parkiran. Roxas berpura-pura menjatuhkan tas miliknya di dekat motor milik Adrian. Sambil memungut pas, dia mengempesi kedua ban motor tersebut. Usai melakukan tugasnya, dia bersama Micky bergegas menuju kantin.
“Gimana?” tanya Dewi saat Roxas dan Micky sampai di kantin.
“Beres. Bentar lagi pak Adrian bakal dorong motor wkwkwk..” seru Micky.
“Pom bensin jeung tambal ban-na jauh. Ngeprot kesang tah si pikasebeleun (Pom bensin sama tambal ban jauh. Pasti keringetan tuh si orang nyebelin),” lanjut Roxas sambil terkekeh.
Ketiganya kemudian meninggalkan kantin sambil membawa minuman. Mereka memutuskan pindah lokasi ke tempat yang bisa memantau langsung pergerakan Adrian. Setelah sepuluh menit berlalu, target yang ditunggu akhirnya muncul juga.
Kening Adrian mengernyit saat melihat kedua ban motornya kempes. Setahunya tadi pagi saat berangkat, kondisi bannya baik-baik saja. Matanya kemudian memandang sekeliling, dan tak lama kemudian dia kembali menuju ruang guru.
“Ngapain dia balik ke ruang guru?” tanya Micky.
“Palingan mau nanya di mana pom bensin atau tambal ban,” jawab Roxas.
Di saat ketiga masih menunggu Adrian, tiba-tiba seorang pesuruh di sekolah datang menghampiri mereka.
“Dewi, Roxas sama Micky, kamu dipanggil pak Adrian ke ruang guru.”
“Ngapain?” tanya Micky bingung.
“Ngga tau. Udah cepetan ke sana, ditungguin kalian.”
Tanpa menunggu jawaban ketiga murid tersebut, sang pesuruh sekolah segera pergi. Mau tak mau Dewi, Roxas dan Micky segera menuju ruangan guru. Di kepala mereka terus bertanya-tanya apa yang diinginkan guru baru itu.
TOK
TOK
TOK
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam. Masuk.”
Mendengar perintah Adrian, ketiga murid tersebut masuk lalu mendekati meja yang ditempati Adrian.
“Bapak panggil kita?” tanya Dewi.
“Hmm..”
“Ada apa pak?”
“Aep dan Micky, kalian bawa motor saya ke tambal ban untuk diisi angin.”
“Hah??”
🌸🌸🌸
Satu kata buat Aep ama Micky.. Sokooooorrrrr🤣🤣🤣🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 181 Episodes
Comments
Inooy
maklumin aj Wi,,Roxas kan cuma kesenian aj yg nilai nya lumayan bagus..selebih nya hihihi nol besar ✌️..apalagi pelajaran bahasa Indonesia yg banyak peribahasa nya..d jamin g ada yg nyangkut d otak na 🤣🤣🤣
2024-12-11
1
Syahna Amira sy
lagian udah selesai misi knpa nggak langsung pulang coba malahan dia pada nunggu.... udah tau gurunya pinter gitu🤣🤣🤣🤣apes kan kalean
2025-04-10
1
Inooy
anak SMA udh pada pinter menyumpal mulut orang,,gimana k depan nya inii? 🤣🤣🤣🤦♀️
2024-12-11
1