“Mey, siniiii!” pekik seorang gadis muda sembari melambai-lambaikan tangannya.
Mey yang baru saja memasuki restoran langsung berjalan menuju meja yang berada di pojokan, di sana Sheila dan Marsha sudah menunggunya sedari tadi.
“Haiiii!” Mey, meletakkan tasnya ke atas meja sembari mencari posisi nyaman untuk duduk.
“Lama banget sih, dari mana aja lu?” celutuk Sheila.
“Dari rumah.”
Mey, Sheila dan Marsha sudah berteman sejak mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas, karena merasa se-frekuensi akhirnya mereka pun menjadi sahabat yang tidak terpisahkan. Tapi meskipun begitu Sheila dan Marsha sama sekali tidak mengetahui bahwa saat ini Mey sudah menjadi istri orang.
“Kayaknya rumah kamu deket dari sini kok bisa lama sih Mey?” sambung Marsha bertanya, gadis manis berkacamata bulat itu juga terlihat meminum jus mangga yang baru saja ia pesan.
“I—itu gue kan sekarang uda pindah rumah makanya jauh,” jawab Mey.
Marsha dan Sheila saling menatap satu sama lain.
“Pindah? kenapa?” seolah tiada henti Sheila terus melontarkan banyak pertanyaan pada Mey.
“Yah, mau mulai kehidupan yang baru aja gitu karena kalau di rumah lama gue sering kebayang-bayang sama ayah, uda ah gak usah di bahas,” ucap Mey sembari berusaha mengalihkan pembicaraan.
Untuk saat ini Sheila dan Marsha sama sekali tak menaruh curiga pada wanita cantik itu.
“Oh iya gue punya gosip terbaru nih,” sahut Sheila yang terlihat meraih ponselnya. Sheila mengulurkan ponsel tersebut seolah ingin memperlihatkan sesuatu pada Mey dan juga Marsha.
“Ini si Salsa mantan anak IPS dulu baru aja posting di instagram pakai handphone keluaran terbaru, gila ini harga handphonenya waktu gue cek itu sekitar 125 juta, kok bisa sih dia pakai handphone semahal itu?” ucap Sheila.
Mey seketika langsung merampas ponsel milik Sheila, Mey melihat foto dari balik layar datar tersebut dengan teliti.
Benar saja, Salsa—musuh bebuyutannya baru saja memposting handphone seri terbaru, jiwa-jiwa iri dengki dan sirik Mey seketika meradang.
Mey mendengus kesal, “Ini gak bisa dibiarin nih, masa gue kalah saing sama dia.”
“Benar Mey, lagian setahu gue yah si Salsa itu gak kaya-kaya banget deh, tapi kok bisa sih dia punya handphone dengan harga puluh ratusan juta,” ucap Sheila.
“Apa mungkin si Salsa punya sugar Daddy?” sahut Marsha dengan polosnya
“Pasti sih, paling dia juga cuma jadi simpenan om-om!” jawab Mey, sembari melipat kedua tangannya.
“Tapi yaudalah gak usah kita pikirin, mungkin aja emang si Salsa nya lagi beruntung bisa beli handphone semahal itu. Sekarang mending kita pikirin aja, kita ini mau lanjut kuliah di Universitas mana,” sambung Marsha.
“Ck, tapi tetap aja, gue bakal terus kepikiran sama si Salsa yang pakai handphone seri terbaru. Sementara gue, masih pakai handphone keluaran tiga tahun yang lalu. Ahhhhh, gue gak mau! pasti nih ya si Salsa bakal ngeledekin gue dia bakal bilang gini, katanya anak pengusaha, properti orang tuanya di mana-mana masa kalah saing, ihhhh nyebelin!” keluh Mey.
“Yah pastilah si Salsa bakal ngeledekin lo. Lo tahukan mulutnya dia itu pedes banget, sepedes cabe rawit,” sambung Sheila sembari tertawa kecil.
“Liatin aja, gue juga bakal ganti handphone dengan seri terbaru!” tegas Mey.
Sheila dan Marsha kembali saling menatap, melihat sikap ambisius sang sahabat hanya bisa membuat mereka berdua geleng-geleng kepala.
“Heh, lo jangan ngadi-ngadi itu handphone harganya 125 juta, mahal!”
“Biarin aja, gue tinggal minta sama ibu!”
“Emang bakal dikasih?” tanya Sheila dengan raut wajah tak yakin.
Mey menghela nafas, “Kayaknya sih enggak, soalnya ibu itu beda sama ayah, waktu ayah masih ada semua keinginan gue diturutin.”
“Nah itu dia Mey, lagian uda deh kasihan juga tante Citra. Dia sekarang kan ngurusin perusahaan ayah lo sendirian, kalau lo minta macem-macem yang ada cuma nambahin beban pikirannya aja, kecuali.....” ucap Sheila terjeda.
“Kecuali apa?”
“Kecuali lo punya suami tajir yang bisa diporotin, hahahhaahaha!”
Sheila tertawa lepas, tawanya menular ke Marsha, namun tidak pada Mey, Mey justru terdiam dalam beberapa detik.
“Gimana mau punya suami, pacar aja ghoib alias kagak ada,” sambung Marsha meledek Mey, yang saat itu hanya diam.
Tawa mereka berdua terlihat begitu renyah, bahkan Sheila saja sampai memegangi perutnya.
***
Di sisi lain, saat ini Faaz tampak berada di ruangan kerjanya, pria tampan tersebut terlihat tengah fokus membaca rekam medis salah satu pasiennya.
Hingga suara pintu terbuka berhasil mengalihkan pandangan Faaz.
“Dokter Naila?” sapa Faaz, saat melihat seorang wanita cantik berjas dokter yang baru saja memasuki ruangannya.
Naila—wanita manis sekaligus teman semasa kuliah Faaz itu tampak mengulas senyuman, hingga pada akhirnya ia berjalan mendekat kearah meja kerja Faaz.
“Dokter Faaz sedang sibuk?” tanya Naila.
Faaz mengedikkan kedua bahunya, “Tidak terlalu, memangnya ada apa Naila?”
Naila menghela nafas, ia tak langsung menjawab pertanyaan Faaz.
“Kamu baik-baik saja kan?” sambung Faaz saat melihat raut wajah Naila seolah menyiratkan kegelisahan.
“Ya, aku kemari hanya ingin mengatakan sesuatu.....aku memutuskan untuk pindah tugas ke Bangladesh,” jelasnya.
Faaz terdiam dalam beberapa saat, sampai akhirnya lelaki tampan itu mulai menatap serius kearah Naila.
“Kemauan kamu sendiri atau ini perintah dari rumah sakit?”
“Ini semua atas dasar kemauan aku sendiri, Faaz.”
“Why?”
“Tidak ada alasannya, aku hanya—”
“Naila, aku sangat mengenal kamu, dari dulu kamu selalu ingin bertugas di rumah sakit pusat, dan saat keinginan kamu sudah tercapai kenapa kamu justru ingin pindah ke luar kota? ayolah Naila, kamu harus pikirkan matang-matang.”
“Aku sudah memikirkannya dengan matang Faaz, surat resign ku di rumah sakit ini juga sudah diterima, jadi aku datang kemari hanya ingin mengucapkan salam perpisahan sama kamu,” ungkap Naila.
Sorot mata Naila menggambarkan kesenduan. Sementara Faaz, lelaki tampan itu sama sekali tak menduga jika Naila akan mengambil keputusan sebesar ini.
“Naila, jujurlah. Aku yakin kamu pasti punya alasan, kamu tidak mungkin memutuskan suatu hal tanpa sebab yang jelas, aku sangat mengenal bagaimana kamu, kita sudah berteman selama bertahun-tahun.”
Naila terdiam, pandangannya beralih menatap ke lain tempat. Dan tanpa ia sadari, bulir air mata menetes jatuh membasahi wajahnya.
“Aku tidak sanggup jika harus terus berada dekat dengan kamu Faaz, sementara aku tahu bahwa saat ini kamu sudah menjadi milik orang lain, aku sudah berusaha untuk menepiskan perasaanku, tapi aku tidak bisa, jalan satu-satunya aku mungkin harus pergi, tapi jika suatu hari nanti aku sudah bisa berdamai dengan kenyataan, maka aku akan kembali lagi,” ungkap Naila.
Yang berhasil membuat Faaz syok dan tertegun.
“Aku permisi,” sambung Naila yang kemudian pergi meninggalkan ruangan kerja Faaz.
Kembali teringat oleh Faaz kejadian beberapa tahun silam, saat pesta kelulusan, saat itu Naila menyatakan perasaannya pada Faaz dengan begitu berani, namun entah mengapa Faaz tak pernah memiliki perasaan lebih dari sekedar teman dengan Naila. Dan ia menikahi mendiang Lisa, istrinya yang kini sudah menjadi bidadari surga.
Faaz menolak Naila secara halus, bertahun-tahun berlalu, Faaz pikir perasaan Naila padanya sudah memudar, tapi ternyata Faaz salah, wanita itu masih saja mencintainya, dan kabar pernikahan Faaz tentu saja sangat menyakiti perasaannya.
‘Maafkan aku Naila, Aku tidak bisa membalas perasaan kamu, dan mungkin tidak akan pernah bisa’ gumam Faaz dalam hati.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Maria Ozawa
definis anak orkay yang bisanya minta gini nih otaknya
2022-10-20
0
Fadly
Mahal amat hp kaya harga rumah sakit nih cewe
2022-10-17
0