Candrasa Hurip
Manusia merasa perlu mengembangkan sihir, memperluas cakrawala pengetahuan mereka. Begitu banyak teori dan asumsi terlahir. Perkembangan zaman terlihat, pada tahun 2004 keberlangsungan hidup mahkluk berakal budi, yang telah menguasai mahkluk lain di dunia terancam rembas tak tersisa.
Prolog awal kisah pahlawan mulai bermunculan, tapi begitu serau tak sempurna bagai jahitan yang tidak pernah rapi. Walaupun jauh lebih lama dari dugaan, sang pahlawan kembali dari dunia nan jenjam, menentang segala kemalaman sunyi dunia sekarang.
Tubuh meraksasa memicu naluri alami manusia ketakutan, hingga dia membuat semua orang menjerit-jerit dan lari terpontang-panting menjauh dari tempatnya berada. Secepat apapun manusia melarikan diri mahkluk itu memanggil kesepian.
"..."
Di belakang benda mati itu terdapat gapura besar, itu mengeluarkan banyak-banyak benda mati bergerak yang mengancam kehidupan yang tak ada di planet ini. Akibatnya langit biru bertukar ungu dan kota Loka diambil alih, dengan mudahnya semua warga terbunuh dalam satu tembakan cahaya tanpa sedikit pun bekas penggunaan energi sihir.
"Lekaslah terima undangan maut dariku," ucapnya.
Remaja berambut hitam dengan mata merah itu memekik keras sembari mengayunkan pedang, dia menjejak tanah dan bersikap akan memasuki jangkauan musuh. Dia memelesat cepat hingga menerbangkan benda-benda kecil di sekelilingnya.
Robot kecil menembakkan peluru terdorong akibat pukulan pahlawan, pedang yang terbungkus api memotong tiga tubuhnya. Tak lama rekan-rekan lawan berdatangan mengepung dari segala arah.
"Mari kita lihat apakah kalian bisa mati.." ujar remaja ini seraya menarik napas.
Lelaki itu memukul pijakan kakinya. Tanah segera bergetar, layaknya gempa bumi, retakan tanah meruak dan melebar. Kumpulan mahkluk kerdil hijau tersebut berjatuhan ke jurang tersebut, tanpa tersisa ampun dia menutup kembali tanah.
"Bolide.." ucapnya.
Dia melemparkan sebuah bola api seukuran kepalan tangan ke arah robot, robot yang terkena serangan itu berbalik badan. Perawakan serupa ialah manusia setengah banteng, membuat raut muka remaja ini jengkel dan ia menghunuskan pedangnya.
"Terdeteksi musuh. Mengaktifkan kembali mode penyeru Kesepian.." katanya dengan suara bergema bagaikan dalam goa.
"Gegana Kecil.." kata pahlawan melepaskan tegangan listrik merah dari ujung pedangnya. Dia melompat ke udara dan membekukan waktu semasih belum ia mengayun pedang dalm gerakan memukul bola golf.
Robot ini mengeluarkan suara decitan saat sesudah pahlawan mencabut senjatanya kembali. Pahlawan memperoleh segerombolan tengkorak hidup, helaan napas keluar dan dia mengambil segenggam batu kerikil. Bersiap akan melempar seperti pelempar bola.
Belasan batu terpelanting jauh, diselimuti api biru membara menghancurkan tengkorak-tengkorak itu sekali tembak. Lawannya berpuluh-puluh, tetapi dia masih mampu menggenggam pedang, meskipun mati nyaris mengundangnya ia bersikukuh menolak.
"Hmm? Kau datang.. peneliti."
"Ya, tentu. Saya tidak akan mengingkari janji meski janji itu dibuat dengan sang pahlawan.." ucapnya.
***
Tiap-tiap hari, waktu demi waktu sang pahlawan mengayunkan kaki serta senjata merencah bahaya nan ancaman. Sorak semarai tanda gembira warga kota diterima kesatria yang membusungkan dada, netra merahnya yang disambut masyarakat, malam kejayaan itu sungguh membekas pada ingatan.
Seantero negeri bercakap-cakap tentangnya, tiada gadis yang sukar menerima kehadirannya sebab ia bagaikan pemanggil ria. Dirinya menjadi kebanggan negri, satu dari sekian banyaknya perwira bentala dunia yang mengangkat pedang ke langit dengan pandangan mengangkasa menentang segala risiko.
Dia berjalan melangkah pasti mendengar orang-orang membicarakan tentangnya. Anak-anak mengawali hari menunggu dia lewat, melambai dan tersenyum depan sekolah. Senantiasa muka riang gembira itu buat mereka mendambakan hero.
"Pak, mengapa kita harus melewati sekolah ini terus? Ada jalan lain yang lebih cepat."
"Jangan bodoh. Kesatria berikutnya bisa ditentukan oleh masyarakat, pada waktu dekat, anak-anak yang mengagumi dirimu akan memilihmu.." jawabnya.
"Selama itu bisa membuat Hurip menjadi pahlawan, hal semacam ini mungkin ... Baik .." ujar Hurip.
Hurip turun dari kereta kuda. Dia menaikan pandangan dan menemukan sekolah besar, sekolah khusus Sahir, ini bukan akademi biasa. Melainkan lembaga pendidikan mengajarkan keturunan Sahir, mereka yang bisa menggunakan sihir dididik di tempat ini.
"Mengajarkan cara bertarung," batin Hurip.
Darah menitik, mengalir serupa air mata yang telah lama kering mengirat. Pahlawan mengembara bertujuan mencari sumber air, dimanakah mata air yang dapat mengalirkan air dari pelupuk matanya? Sampai titik ini pun sang kesatria kuat ini kesukaran menjumpai tempat semacam itu pada bumi ini.
Pada akhirnya, sang kesatria menantang semua marabahaya hingga lejar dan peluh mencicik dari dahi bersamaan napas memburu keluar disertai senyum tipis. Sebabnya satu, hajat untuk kesedihan bertamu kepadanya dan menikmati momen itu.
"Mengapa Hurip menerbitkan ingatan kelam?" Batin Hurip yang kini berjalan menyusul pria itu.
"Pilihlah sesukamu. Gadis juga boleh, loh."
"Pak. Hurip harap dapat Sahir yang berguna," ujar Hurip mencuaikan perkataannya.
Dikenal selaku kesatria di tanah air, pahlawan dari banyaknya pahlawan dan perwira dunia. Hurip memejamkan mata dan berkata, "pahlawan?" Anak remaja sok kuat ini tersenyum kecut. Dia alat pembunuh, pelindung semua orang dan budak keadilan yang tiada pernah diharapkan olehnya.
"Mereka memiliki nilai paling bagus," ucap pengajar sekolah ini tersenyum kecut.
"Disini ada yang mampu menggunakan Bolide?"
"Cih! Jangan anggap kami anak SD, dasar manusia kasta rendahan.." ujar seorang siswa. Hurip bereaksi terhadap ucapannya hanya menghela napas.
Siswa itu mengulurkan tangan. Dia melemparkan bola api kecil, Bolide seukuran kelereng ditepis Hurip dengan remehnya. Ketika dia merasa dipermalukan, siswa-siswi lain ikut melepaskan sihir, meskipun hal sama terulang kembali walau ada sedikit perbedaan.
"Apakah Hurip boleh..." Sebelum menyelesaikan kalimatnya dia berhenti dan membatin, "tak masalah jika dikeluarkan.. lakukan sesuka hati saja."
"Hurip jangan berlebihan," Ujar pria yang bersamanya.
Hurip menggunakan satu jari untuk menyembulkan api keluar dari ujung jari telunjuk, api itu membesar hingga berukuran bola basket. Bolide itu terpelesat sangat amat cepat sampai semua orang bereaksi lambat, sebelum satu ruangan ini terbakar.
Siswa sombong pertama dicekik Hurip, Hurip mulai mengintimidasi dirinya dengan mengangkatnya ke udara setelah mencampakkan dirinya pada keramik lantai. Netra merahnya bersinar, saat mata lawan menjumpainya, kontak mata itu memberi ketakutan.
"Nah siapa selanjutnya?" Hurip melangkah menuju siswa lain dan bertanya, "kau?"
"Maaf.. ampuni aku...!"
"Kau?" Tunjuk Hurip menuju siswa lain. Sesudahnya keseluruhan murid kabur dari ruangan, kecuali korban pertamanya yang pingsan dan seorang gadis tengah gemetar ketakutan. Dia berusaha mendekati Hurip, tapi Hurip seolah-olah tak mengizinkannya.
"Sebutkan namamu," titah Hurip. Hurip menunggu dia membuka mulut tetap bergeming tanpa tanggapan.
Hurip kelihatan jengkel dan menemuinya, ketimbang menanti sesuatu yang tidak pasti. Dia menatap bila gadis ini memiliki kapasitas sihir kecil, walaupun dia memiliki keteguhan hati yang kuat, ia mampu untuk menahan sihir intimidasi miliknya.
Lelaki ini menarik pedang dari sarungnya. Candrasa miliknya bersinar terang, diikuti api memutari tangan Hurip, Hurip memukul muka gadis ini ketika dirinya hendak membuka mulut. Merasa dipermainkan oleh perempuan ini, Hurip mendaratkan pukulan.
"A-A-Alianty! Itu namaku ..."
Sesudah dia terpojok disudut ruangan, Hurip tidak sungkan menodongkan senjata kepadanya. Hingga para guru di tempat berniat turun tangan, tetapi karena Hurip sadar akan hal itu, buru-buru melakukan ayunan pedang dari atas turun ke bawah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments