Bianca memasang dasi di kerah bajunya lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Kini ia sudah siap dengan seragam putih abu-abu yang melekat sempurna ditubuh mungilnya. Usai meraih tas ranselnya yang berwarna gray diatas meja belajar dan menyandangnya di pundak lantas Bianca beranjak keluar.
Dirinya bisa santai kali ini, karena ia bangun kepagian. Tidak seperti biasanya yang seringkali kesiangan sehingga membuat dirinya sering mendapat sanksi dari ketua osis. Gadis itu turun menuruni jajaran undakan tangga.
Dibawah sana, tepatnya, dimeja makan. Rendra sedang membaca koran sambil menyeruput secangkir kopi dan Alena menyiapkan sarapan. "Pagi Bunda, pagi Ayah." Bianca menyapa sembari mengambil posisi duduk dibagian kursi meja makan.
"Pagi anak cantik." sapa balik Alena, Beliau sedang mengolesi roti tawar dengan selai cokelat.
Bianca meraih satu roti tawar yang sudah diolesi selai dan menyantapnya dengan lahap. "Bi Asri mana Bund?" disela-sela kunyahannya, ia celingukan mencari sosok yang di carinya.
"Oh, tadi Bi Asri nelepon, kabarin kalau dia pulkam mendadak tadi malem, anaknya jatuh sakit katanya."
Bianca manggut-manggut. "Pantesan gak keliatan."
Rendra menurunkan koran ditangannya dan melirik Bianca. Sempat berpikir sejenak dan akhirnya ia pun bersuara walaupun merasa sedikit ragu. "Bia, Ayah mau ngomong hal penting sama kamu."
Gadis itu menoleh spontan kepadanya. "Ngomong aja." titah Bianca santai dengan mengunyah roti didalam mulut.
Rendra menghembuskan napas panjang dengan raut wajah berubah menjadi serius membuat Bianca menghentikkan kunyahannya. "Penting banget ya?" tanyanya menatap penasaran sang Ayah.
"Ayah sama Bunda mau jodohin Bia sama anak teman Ayah." Timpal Alena membawa dampak besar. Mendengar perkataan itu, reflek membuat Bianca tersedak.
"Uhhuk uhhuk." Alena yang duduk disebelahnya pun dengan sigap mengambil segelas minuman susu vanilla dan disodorkannya kepada sang anak.
"Hati-hati makannya Bi." Bianca meneguk susu itu hingga habis setengahnya. "Bunda bercanda kan soal omongan tadi?" tanyanya memastikan setelah meneguk susu tersebut. Tak bisa dibayangkan jika ia benar-benar dijodohkan diumur yang masih amat dini.
Rendra segera menyela. "Kalo gak bercanda gimana? Kamu mau?" Mendapat tatapan tak percaya dari sang Putri. "Tujuan Ayah menjodohkan Bia, apa?!"
Alena mengusap-ngusap punggung sang anak. "Bunda sama Ayah akan keluar negeri. Kamu dijodohin agar ada yang jaga."
"Kenapa kalian gak mau bawa Bia? apa Bia nyusahin kalian?!" sorot mata Bianca memancarkan kekecewaan.
"Bukan gitu Bia." Alena melirik Suaminya dan memberikan kode untuk menjelaskan kepada sang anak.
Menyeruput kopi terlebih dahulu lalu menghembuskan napas berat. "Gini Bia. Bunda sama Ayah gak mau bawa kamu keluar negeri bukannya kamu nyusahin kami. Tapi, karena kami gak mau kamu terpengaruh dengan pergaulan luar." tutur Rendra menerangkan agar Bianca tidak berpikir yang tidak-tidak atas keputusan yang mereka buat.
Bianca bangkit dengan kasar. "Bia gak mau dijodohin! Bia masih kecil! dan juga Bia punya pacar!" Setelah mengatakan itu, Bianca beranjak dari sana tanpa sepatah kata apapun lagi.
Alena tertunduk dengan perasaan tak menentu. "Apa itu keputusan yang terbaik buat anak kita Ndra?" Ada gumpalan rasa ragu yang terselip dihatinya, ia menoleh kepada sang Suami.
Rendra memberikan anggukan mantap. "Itu sudah menjadi keputusan aku. Dan tak akan bisa diganggu gugat."
****
Bianca berjalan kearah bengkel yang kebetulan tak terlalu jauh dari rumahnya. Ia memutuskan untuk mengambil sepeda motornya terlebih dulu dan menggunakannya untuk berangkat ke sekolah.
"Hai mang!"
"Wih neng." kedua manusia berbeda generasi itu bertos-ria. Karena keduanya memang akrab dari lama, jadi beginilah ketika bertemu. Tak jarang Bianca mampir ke bengkel ini hanya untuk sekedar main dan ingin lebih memahami hal-hal modifikasi alat dan mesin.
"Mang Jino, motor aku udah selesai diperbaiki belum?"
"Udah, nih neng. Ban yang dibelakang diganti. Masalahnya, udah gak bisa diperbaiki." ujar mang Jino menepuk jok motor matic merah milik Bianca.
"Okelah, jadi berapa totalnya mang?"
"Seperti biasa."
Bianca menaiki motor matic merah tersebut dan memasang helm yang memang sudah ia bawa dari rumah. Tangannya merogoh saku rok dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah kemudian menyodorkannya kepada mang Jino dengan gerakan cepat.
"Kembaliannya ambil aja mang. Bia cabut dulu!" Bianca menurunkan kaca helm dan menghidupkan mesin motor.
"Oke neng makasih banyak!"
Sambil perlahan motor matic merah itu melaju pelan, Bianca mengangkat sebelah tangannya di udara sebagai pamitan. Mang Jino membuka lembaran uang merah yang tergulung tersebut dengan muka sumringah. Namun, perlahan muka itu kembali di tekuk.
"Kembalian-kembalian apaan, ini aja doinya gak cukup." gumamnya menggeleng-gelengkan kepala.
Selama perjalanan, Bianca bersiul-siul pelan. Dia sesekali menyapa orang-orang yang lewati walaupun tak kenal. Bahkan orang-orang yang ia sapa pun terlihat bingung.
Ditengah itu, seekor kucing tiba-tiba lewat dihadapannya. "E-eh anjing!" Dengan umpatan reflek, ia melakukan pengereman mendadak, membuat pengendara di belakangnya sontak menabrak behel motor milik Bianca.
"Wahh meong ngapain lo ngapain muncul tiba-tiba sih aduhh!"
Pengendara dibelakang pun dengan gerakan cepat membuka mobil miliknya. "Woy lo kenapa tiba tiba berhenti?! liat nih mobil gue jadi lecet gini!" omelnya memeriksa mobil bagian depannya.
Bianca menoleh kebelakang dengan raut tak terima. "Tadi ada kucing tiba-tiba lewat! Lagian, motor gue lebih parah nih! liat tuh behel motor gue rusak parah!" celotehnya tak terima, ia menunjuk behel motor maticnya.
"Motor butut gini doang!" Laki-laki tersebut menendang motor Bianca angkuh.
"Heh! dari sekolah mana lo?! songong amat!" marah Bianca berkacak pinggang.
Laki-laki yang menggunakan seragam putih abu-abu sepertinya melipat tangannya didepan dada. "Itu gak penting untuk sekarang! yang penting itu lo harus ganti rugi nih kerusakan mobil gue!"
"Wah apa-ap--"
Pik pik pik
Perkataan Bianca tak berlanjut akibat bunyi klakson pengendara-pengendara dibelakang mereka itu membuat kedua remaja SMA tersebut berhenti bertengkar persoalan kerusakan kendaraan milik masing-masing.
Sontak, laki-laki itu membuka pintu mobil hitam miliknya. Sebelum dia benar-benar masuk kedalam mobil, ia memperingati Bianca terlebih dahulu. "Urusan kita belum selesai!"
Bianca memutar bola mata kesal. "Dasar songong!"
****
Pukul 06:25 Agam sampai di sekolah dan memarkirkan kendaraannya di parkiran. Ditempat itu ia disambut Nathan dengan senyum sumringah. Agam membuka helm dan menyugar rambutnya kebelakang. Ia mengantongi kunci motor sambil turun dari motor ninja hitam miliknya.
"Weah ohayo bro." sapa Nathan memakai tata bahasa jepang. Ia merangkul Agam yang sedari tadi memasang raut datar tanpa ekspresi sama sekali.
Agam melepas rangkulan Nathan dengan kasar dan memasukkan kedua tangan disaku celananya. "Mella sama Bella mana?"
"Di ruang osis, mungkin." sahut Nathan. Keduanya berjalan santai di koridor menuju ruang osis. Sesekali Nathan bercanda ria walaupun ditanggapi Agam dengan tidak minatnya.
"Samlekom." salam Nathan saat membuka pintu ruang osis.
"Walaikumsallam akhi" sahut Camella dan Bella bersamaan.
"Eh eh kalian liat muka gue ada yang beda gak?" Nathan menunjuk wajahnya sendiri. Ia melipat tangannya diatas sandaran kursi dengan wajah ia hadapkan kepada Camella dan Bella.
Camella dan Bella mengerutkan kening dengan raut muka bingung, keduanya menajamkan mata untuk meneliti setiap inci wajah Nathan. "Gak ada yang beda." celetuk Bella mendapat anggukkan dari Camella.
"Masa iya sih? coba lihat baik-baik deh." Nathan semakin mendekatkan wajahnya kepada Camella dan Bella. Membuat kedua gadis itu semakin menelisik bagian wajahnya. Namun, tak ada yang beda sama sekali!
"Makin ganteng kan?" celetuk Nathan percaya diri dan menyugar rambutnya kebelakang.
Camella dan Bella gregetan sendiri. Keduanya mengacak-ngacak brutal rambut Nathan dan menjitak kepala laki-laki tersebut.
Beginilah tingkah sang wakil ketua osis itu. Mungkin didepan orang-orang ataupun menyangkut tentang urusan osis, ia akan bersikap netral dan bijaksana. Namun, siapa sangka, sifatnya aslinya sangat bobrok dan konyol, dan yang paling parahnya adalah self-confident.
"Ampunn dahh!" Nathan meloloskan diri dengan bersembunyi ditubuh tegap Agam. Ia menyembulkan kepala dengan cengiran dan mengacungkan dua jari membentuk V tanda perdamaian untuk Camella dan Bella yang sudah memasang wajah kesal sejak tadi.
"Duduk." titah Agam tidak bernada. Nathan mengatupkan mulut dan mendudukkan dirinya di bangku diikuti Agam yang duduk disebelahnya.
"Kalian diem. Gue gak suka keributan." Intonasinya terdengar dingin membuat tubuh ketiga anggota osis itu seketika menggigil. Tiba-tiba tempat ini menjadi seperti di kutub, dingin.
Selang lima detik dalam keheningan sesuai instruksi dari sang ketua osis tadi. Dan akhirnya suara khas Agam memecah keheningan di ruangan tersebut.
Agam meletakkan tasnya diatas meja sebelum berujar, "Jam istirahat pertama, kita kumpul lagi ruangan ini. Kita akan mengadakan rapat tentang perkemahan yang akan diadakan di bulan ini. Dan, jangan lupa ajak anggota osis lainnya." Ketiga pengurus OSIS itupun lekas memberikan respon dengan anggukan kepala paham.
****
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 127 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Horeeeee camping....
2023-07-14
0
💗vanilla💗🎶
wkwkwkw.. kocak
2023-07-09
1