"Dokter?" gumam Alvaro terkejut.
"Kenapa? Kamu terkejut?!" cecar Rania seraya melipat kedua tangannya di depan.
"Alvaro? Ada apa kemari?" tanya Hilda seraya tersenyum ramah.
"Kamu kenal?" Rania menatap Hilda. Dan gadis itu pun menimpalinya dengan sebuah anggukan.
"Aku ingin mengobati anakku, giginya sakit," timpal Alvaro.
Rania langsung berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Bima. "Gigi kamu sakit?" tanya Rania. Bima mengangguk, menimpali ucapan dari Rania.
"Mau Tante obati?" tanya Rania lagi. Dan Bima kembali menganggukkan kepalanya.
Rania pun membawa Bima masuk ke dalam. Sementara Alvaro hanya mengekor bersama dengan Hilda.
"Aku mengerti, pria yang dikatakan oleh Rania adalah kamu," ucap Hilda yang mencoba membuka perbincangan dengan Alvaro.
"Aku?"
"Hmmm ...."
"Apa saja yang dia katakan?" tanya Alvaro memberhentikan langkahnya.
Hilda hanya tersenyum, lalu kemudian memilih untuk berjalan mendahului Alvaro. Hal tersebut tentu saja membuat Alvaro penasaran, apa sebenarnya yang dikatakan oleh Rania tentang dirinya.
"Awas saja jika dia mengataiku tutup panci di depan temannya," gumam Alvaro seraya mendengkus kesal. Pria tersebut kembali melanjutkan langkahnya, menyusul Bima yang sudah terlebih dahulu berjalan dengan Rania.
Alvaro melihat Bima yang saat itu ditangani langsung oleh Rania. Tak ada rasa takut sedikit pun dari pria kecil itu, membuat Alvaro merasa sedikit lega.
"Kurangi makan yang manis-manis, seperti permen dan coklat," ujar Rania seraya melepas maskernya usai memeriksa kondisi gigi Bima.
"Dan jangan lupa untuk menyikat gigi di waktu pagi, sore, dan sebelum tidur," lanjut Rania memberikan obat pada Alvaro.
Alvaro hanya memperhatikannya interaksi keduanya. Entah mengapa, ia dapat melihat bahwa Bima terlihat nyaman saat bersama dengan Rania.
"Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu juga ingin diperiksa?" tanya Rania.
Alvaro hanya mendecih menanggapi ucapan dari Rania.
"Padahal aku berharap, kamu lah yang sakit gigi. Dengan begitu, aku bisa membalaskan dendam ku dengan mencabut semua gigimu itu!" ketus Rania.
"Sepertinya kita pergi ke dokter yang salah. Nanti jika gigimu semakin sakit, katakan pada Papa. Biar nanti Papa yang menuntut orang ini," ujar Alvaro kepada anaknya seraya menunjuk ke arah Rania.
Bima tersenyum. Entah mengapa ia merasa senang saat ayahnya beradu mulut dengan Rania. Bahkan Bima ingin sekali mendengarkan kegaduhan seperti ini di dalam rumahnya yang terkesan sepi.
Hilda berada di luar mengetuk pintu, gadis tersebut berdiri di ambang pintu sembari berucap, "Apakah kita bisa mulai? Pasien yang lain sudah ada yang mengantri," ujar Hilda.
Mendengar Hilda berucap demikian, membuat Alvaro pun beranjak dari tempat duduknya. "Awas saja jika kamu berkata yang macam-macam pada temanmu itu," ujar Alvaro.
"Kenapa?" ledek Rania.
Alvaro berdecak kesal, ia menatap Rania sembari memberikan kode dengan mengarahkan kedua jemarinya ke mata, lalu kemudian menunjuk ke arah Rania, yang berarti bahwa dirinya akan mengawasi Rania jika berani berbuat macam-macam.
Rania hanya mencebikkan bibirnya, mengacuhkan peringatan duda dengan satu anak itu. Hingga kedua orang tersebut keluar dari ruangannya dan berganti pasien lain yang siap ditangani oleh Rania.
Alvaro baru saja tiba di parkiran. Pria tersebut menggandeng tangan anaknya sembari membawa kantong plastik yang berisikan beberapa obat untuk meredakan rasa nyeri pada gigi yang sakit.
"Papa, kalau gigi Bima sakit lagi, kita ke sini saja Pa," ujar Bima dengan antusias.
"Nak, berharap lah untuk kesembuhan, bukan berharap penyakitnya kumat lagi," ucap Alvaro seraya menepuk keningnya.
"Kalau begitu, Bu dokternya dijadikan mama Bima saja, Pa. Kalau Bima sakit, atau pun papa yang sakit, ada yang merawat kita nantinya," celetuk Bima yang membuat Alvaro kembali pusing tujuh keliling.
"Aku membencinya, tapi kenapa anakku begitu menyukainya. Tuhan, cobaan apalagi ini?" gumam Alvaro seraya mengerutkan keningnya.
"Bima mau ikut papa ke kantor kan?" tanya Alvaro, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Papa, papa harus janji dulu sama Bima. Jadikan Bu dokter tadi mama untuk Bima, Pa." Pria kecil tersebut memandang wajah ayahnya dengan memelas, membuat Alvaro menjadi tak tega melihat air muka anaknya itu.
"Baiklah, nanti papa jadikan dia mama. Tapi papa tidak janji," ujar Alvaro.
"Kenapa begitu, Pa?" tanya Bima lagi.
"Ya ... karena papa tidak tahu, Bu dokter akan menerima papa atau tidak. Sebaiknya Bima belajar saja yang giat, urusan orang dewasa, biarlah orang dewasa yang mengaturnya," ujar Alvaro membantu memasangkan sabuk pengaman untuk putranya.
"Jadi bagaimana? Mau tinggal dengan nenek atau ikut papa?" tanya Alvaro lagi.
"Bima ikut papa saja," jawab pria kecil tersebut.
Alvaro mulai membawa kendaraan roda empat itu menuju jalanan. Dalam benaknya, ia bingung bagaimana menjelaskan pada putranya nanti.
"Bagaimana ini, Nak. Papa tidak menyukainya, tapi kamu menyiksa papa dengan menyuruh papa untuk menjadikannya mama mu," batin Alvaro.
....
Setelah memeriksakan kandungannya, Alvira memilih untuk jalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota tersebut.
Seusai perdebatannya di rumah dengan suaminya, Alvira memilih untuk mencuci matanya sejenak, tidak ingin dipusingkan lagi dengan urusan Andre. Bahkan siang ini, tak ada bekal makan siang untuk suaminya.
Wanita itu melangkahkan kakinya di deretan penjual pakaian bayi. Wanita tersebut Melihat-lihat pakaian yang ada di tempat itu.
Pandangannya tertuju pada sepasang suami istri yang tengah memilihkan baju untuk anak mereka yang ada di dalam kandungan. Sesekali pria tersebut mengusap perut anaknya, lalu kemudian memilihkan baju untuk jagoan kecilnya nanti.
Melihat hal tersebut, ada rasa iri dalam hati Alvira karena mendapatkan suami yang tidak seperti pria yang ada di seberang sana.
"Yang sabar ya nak, meskipun papamu tidak peduli dengan kehadiranmu, setidaknya ada mama yang menantikan kamu untuk lahir ke dunia ini. Mama akan berjuang sendiri untuk membesarkanmu. Sementara papa mu, ...." Alvira tercekat mengucapkan kalimat selanjutnya.
"Tidak ada harapan lagi untuk mama memperjuangkannya," lanjut wanita itu. Tanpa sadar, air matanya pun mulai jatuh. Dengan cepat Alvira menyeka air matanya itu.
Wanita tersebut kembali memilih baju-baju bayi yang terlihat lucu itu. Tak lama kemudian, Alvira terlonjak kaget karena mendapatkan seseorang yang menepuk bahunya dari belakang.
"Yeni, ..."
Wanita itu mengulas senyumnya. "Apa kabar? Kamu lama tidak kelihatan," ujar wanita tersebut yang tengah menggendong anak, umurnya berkisar satu tahun.
"Iya, aku jarang keluar rumah sekarang," timpal Alvira pada temannya itu.
"Wah ternyata kamu sedang hamil ya sekarang. Selamat ya," ujar Yeni seraya mengusap perut Alvira yang sedikit buncit.
"Kamu juga, anakmu sudah besar. Dia sangat tampan sekali," puji Alvira seraya mencium pipi gembul anak dari temannya itu.
Bersambung ....
Yang masih sisa votenya, kasih ke aku aja ya😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Adelia Rasta
lanjut ka
2023-04-12
1
☠ᵏᵋᶜᶟ⏤͟͟͞R❦🍾⃝ͩɢᷞᴇͧᴇᷡ ࿐ᷧ
wkwk inget alvaro benci sama cinta itu bedaaa tipisss yegesye😅😅
2022-11-10
1
🍁K3yk3y🍁
yang sabar ya Alvira,semoga tetap kuat ,memang apa yang pernah dialami orangtua akan turun temurun hukum alam
2022-10-20
2