Pagi ini, Alvira menyiapkan semua kebutuhan suaminya untuk berangkat ke kantor. Sejak Alvaro mendatanginya, dan meminta untuk memecat sekretarisnya, Andre lebih banyak diam. Pria itu mengacuhkan istrinya sendiri yang tengah hamil hanya karena orang luar. Hal tersebut menjadi dugaan yang kuat bahwa Andre memiliki hubungan dengan Shinta.
Namun, Alvira sedikit merasa lega, karena dengan begitu dirinya tidak terlalu diselimuti oleh rasa khawatir akan suaminya. Setidaknya ada kelegaan sedikit dalam hatinya.
Alvira mendekat, ia mencoba memasang dasi untuk suaminya. "Mas, kapan kamu bisa meluangkan waktu untuk menemaniku memeriksakan kandungan ke dokter?" tanya Alvira.
"Bukankah kamu tahu, kalau aku sangat sibuk, Vira. Kamu bisa pergi sendiri menggunakan taksi, atau minta antar dengan Pak Darman," jawab Andre.
"Kira-kira sesibuk apa kamu, Mas? Varo yang mengelola perusahaan besar pun dulunya masih bisa mengantarkan Mbak Diara ke dokter," celetuk Alvira.
Andre menatap Alvira dengan jengah, pria tersebut langsung menepiskan tangan Alvira, lalu kemudian memilih untuk menjauh dari istrinya itu.
"Kamu selalu saja membandingkan aku dengan saudara kembarmu itu. Dia dan aku berbeda, jadi jangan disamakan," ketus Andre.
Alvira menghela napasnya. Ia melihat suaminya dengan tatapan penuh kebencian. Wanita tersebut memilih untuk meninggalkan kamarnya dari pada harus beradu mulut di pagi hari dengan Andre. Setidaknya Alvira takut jika kedua orang tuanya mengetahui bahwa pernikahannya saat ini diambang kehancuran.
Sakit? Tentu saja! Alvira merasa sakit atas perlakuan Andre, akan tetapi ia mencoba untuk memendamnya dan memilih diam. Alvira menuruni sifat ayahnya dan bahkan kesialan sang ayah memilih pasangan terdahulu bahkan saat ini dialami oleh Alvira.
Wanita tersebut memilih untuk menuju ke meja makan. Menikmati sarapannya bersama dengan kedua orang tuanya.
"Mana Andre?" tanya Arumi.
"Itu, masih siap-siap," timpal Alvira seadanya.
"Seharusnya kamu jangan dulu kemari, bantu suamimu untuk bersiap, setelah itu baru keluar bersama-sama. Bukankah saran papa terdengar sangat manis dan romantis?" tanya Fahri.
Arumi langsung tersenyum sembari memukul pelan lengan suaminya. Sementara Alvira hanya bisa mengulas senyumnya, ia bisa memaklumi karena kedua orang tuanya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada kehidupan rumah tangganya saat ini.
Jika dipikir-pikir memang benar. Seharusnya Andre bisa bersikap lebih manis dan bahagia, mengingat bahwa setelah sekian tahun akhirnya Alvira hamil. Kebanyakan pria akan lebih perhatian jika sang istri mengandung anak pertama mereka. Namun, tidak dengan Andre. Pria itu terkesan dingin dan acuh pada Alvira. Hanya saja, ia akan memperlihatkan sikap baiknya jika dirinya menginginkan sesuatu dari Alvira.
.....
Alvaro sudah menyiapkan sarapan, akan tetapi ia belum juga melihat putra semata wayangnya itu keluar dari kamarnya.
"Kenapa Bima belum keluar juga?" gumam Alvaro.
Setelah meletakkan kedua piring yang berisi makanan untuk sarapan mereka, Alvaro langsung berjalan melangkah menuju ke kamar Bima.
Ceklekkk ...
Alvaro membuka pintu kamar tersebut. Ia mengedarkan pandangannya, melihat putranya yang saat itu tengah duduk sembari memegangi pipi kirinya.
"Ada apa, Nak?" tanya Alvaro panik melihat mata Bima yang memerah karena menangis.
"Gigi Bima sakti, Pa." Pria kecil tersebut menimpali ucapan ayahnya sembari meringis kesakitan.
"Gigi sakit? Coba papa lihat!" Alvaro mendekati anaknya, lalu kemudian menyuruh sang anak membuka mulutnya lebar-lebar. Benar saja, Bima memiliki gigi geraham yang berlubang.
"Semalam tidak sikat gigi?" tanya Alvaro.
"Bima lupa, Pa. Semalam Bima ketiduran," timpalnya pelan.
"Ya sudah, ayo papa antar ke klinik supaya gigimu diobati," ajak Alvaro.
Dengan cepat Bima menggelengkan kepalanya. "Bima tidak mau ke klinik, Pa. Bima takut," cicit bocah kecil tersebut.
"Tidak apa-apa, Nak. Tidak akan dicabut karena gigimu bukan goyang. Berhentilah menangis, seorang pria yang akan mengikuti kegiatan baris-berbaris saat sekolah nanti, dituntut untuk tidak mudah menangis," ujar Alvaro.
Pria itu menyeka air mata anaknya. Lalu kemudian membantu memakaikan baju untuk anaknya itu. Setelah selesai, Alvaro langsung menggendong Bima keluar dari kamar tersebut.
"Sarapan dulu sedikit, Nak."
Bima menggelengkan kepalanya lagi.
"Sedikit saja, susunya papa ganti dengan air putih dulu," ucap Alvaro mendudukkan putranya di atas kursi, lalu kemudian mengambil susu milik Bima dan menggantinya dengan segelas air putih.
Bima memakan sarapannya sedikit, dengan perlahan pria kecil itu mengunyah makanannya. Sesekali ia memejamkan mata karena rasa sakit pada giginya tak bisa tertahankan.
"Sudah, Pa."
Alvaro langsung memberikan segelas air minum untuk putranya. Pria itu menyeka sedikit mulut sang anak dengan menggunakan tisu yang ada di atas meja, lalu kembali menggendong putranya.
"Ayo papa antar ke klinik. Kebetulan tak jauh dari kantor papa ada klinik gigi," ujar Alvaro.
"Papa tidak sarapan dulu?" tanya Bima.
"Papa bisa sarapan nanti, yang penting gigi kamu harus diobati terlebih dahulu."
Alvaro hendak mengambil tas kerjanya. Namun, karena saat ini Bima tengah berada di dalam gendongannya, membuat pria tersebut sedikit kesusahan untuk meraih tasnya.
Bima yang melihat hal tersebut langsung berucap, " Pa, Bima tidak usah digendong. Bima bisa berjalan sendiri. Yang sakit gigi Bima bukan kaki Bima," ucap pria kecil tersebut yang seolah mengerti dengan situasi sang ayah saat ini.
"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Alvaro kembali memastikan.
"Iya, Pa."
Setelah mendengar jawaban dari anaknya, Alvaro pun menurunkan Bima dari gendongannya. Pria itu memegang tas kantornya di tangan kiri, dan tangan kanannya menggenggam putranya.
"Hari ini Bima izin dulu saja, nanti papa akan menghubungi guru Bima," ujar Alvaro.
Bima hanya menganggukkan kepalanya, lalu kemudian mengikuti langkah sang ayah membawanya keluar dari apartemen tersebut.
Saat berhasil keluar dari apartemen, kedua pria itu langsung masuk ke dalam lift. Alvaro sempat melihat Rania yang baru saja keluar dari rumahnya.
Dengan cepat, Alvaro menutup pintu lift tersebut. Bertemu dengan tetangganya itu, membuat Alvaro terus saja naik darah. Gadis itu selalu mencari masalah dan ujung-ujungnya berdebat.
Alvaro tidak ingin membuang waktunya untuk meladeni Rania, apalagi saat ini anaknya tengah kesakitan, dapat dilihat jika Bima selalu memegang pipi bagian kirinya.
Tinggg ...
Pintu lift terbuka, kedua pria langsung berjalan menuju ke parkiran, bergegas menaiki mobilnya.
"Pa, nanti temani Bima ya Pa. Bima takut dengan dokter gigi," pinta Bima dengan wajah yang memelas.
"Tentu saja, Boy. Papa tidak akan meninggalkanmu," timpal Alvaro seraya mengulas senyumnya. Pria itu pun langsung melajukan mobilnya menuju ke jalanan.
Setelah menempuh perjalanan memakan waktu yang cukup lama, mobil yang dikendarai Alvaro pun tiba di klinik. Pria tersebut langsung turun dari kendaraannya. Namun, tak lama mereka tiba, terlihat mobil yang juga berhenti di tempat tersebut. Pengendara mobil itu keluar, Alvaro terkejut saat melihat Rania yang juga berada di tempat itu.
"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Alvaro.
"Kenapa kamu bertanya?" balas Rania yang menjawab pertanyaan Alvaro dengan pertanyaan lainnya.
"Sudahlah! Mengaku saja kalau kamu memang tertarik padaku sampai rela mengikutiku sejauh ini," cecar Alvaro.
"Sungguh, rasa percaya dirinya memang sangat tinggi. Aku di sini bekerja, bukan mengikutimu!" ketus Rania yang mulai kesal.
"Bu dokter," sapa seseorang dari belakang. Rania pun menoleh ke arah sumber suara, mendapati Hilda yang sudah berdiri di belakangnya.
"Dokter?" gumam Alvaro terkejut.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Erina Munir
hahaa udh kaya kucing sama tikut..klo ketemu adu mulut terus
2024-12-24
0
Adelia Rasta
lucu sih tp kebanyakan drama
2023-04-12
3
Anggivia fatmawati
baca novel ingat sama film india dokter isita😘😘
2022-11-26
4