"Kalau begitu, kapan kamu berencana untuk menikah dengan putriku?"tanya ayah dari Nana.
"Hah?!" Alvaro langsung terkejut, pria tersebut membelalakkan mata mendengar penuturan dari pria tua yang ada di hadapannya itu.
"Iya, kamu kapan ingin menikah dengan Nana," ujar ayah Nana mengulangi ucapannya.
Alvaro langsung mengarahkan pandangannya pada wanita yang ada di sebelahnya. Nana tampak malu-malu sembari menyelipkan rambut di belakang telinganya.
"Emmm ... begini, sepertinya ada kesalahpahaman di sini," ucap Alvaro yang berusaha untuk menghindari pertanyaan tersebut.
"Kesalahpahaman apa maksudnya?" tanya ayah Nana.
Nana yang semula tersipu malu, raut wajahnya mendadak berubah. Dia panik karena mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Alvaro.
"Sebenarnya aku cukup terkejut dipertemukan oleh Om dan Tante, sebelumnya Nana tidak memberitahukan kepadaku terlebih dahulu tentang masalah ini," ucap Alvaro.
Ayah Nana mengernyitkan keningnya," Apa maksudmu?"
"Kedatangan saya kemari hanya karena Nana yang mengajak saya untuk makan malam. Awalnya saya menolak, akan tetapi mengingat Nana yang telah bersikap baik kepada anak saya, saya merasa berhutang budi dan menyetujui ajakan Nana," jelas Alvaro panjang lebar.
Ibu Nana berdeham, wanita itu sudah memperlihatkan wajah yang sedikit masam, dan matanya menatap ke arah anak gadisnya dengan mendelik.
"Begini Bu, ...."
"Kamu lagi-lagi mempermalukan kami! Kenapa harus mengaku bahwa kalian saling menyukai? Entahlah! Aku sudah kehilangan muka. Bodohnya, kami masih mempercayai ucapanmu," tukas ibu Nana yang langsung beranjak dari kursinya, memilih untuk pergi dari tempat tersebut.
"Maafkan kami jika membuatmu tidak nyaman dengan pertanyaan tadi. Jujur, saya sebagai ayah dari Nana meminta maaf sebesar-besarnya atas kejadian ini. Saya juga merasa sangat malu karena anak gadis kami yang bersikap terlalu berlebihan. Kalau begitu saya permisi," ujar ayah Nana yang masih sempat berucap sopan dan berpamitan kepada Alvaro.
Alvaro menjadi tidak enak, akan tetapi mau bagaimana lagi, Nana memang sudah bertindak di luar nalar. Jika dibiarkan, maka Nana akan semakin menjadi.
"Ayah, ibu, ...." gumam Nana saat melihat kedua orang tuanya sudah beranjak dari kursinya. Ibu Nana sudah berjalan keluar terlebih dahulu, sementara ayah Nana menyusul sang istri.
Nana menatap Alvaro sembari menekuk bibirnya ke dalam, menggeram kesal karena Alvaro yang tidak tertarik sama sekali pada dirinya. Padahal Nana sudah berusaha dengan keras, bersolek setiap hari hanya demi memikat hati seorang duda dingin yang satu ini.
Gadis itu beranjak dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia melenggang begitu saja, meninggalkan kedua pria tampan yang berbeda generasi itu.
Bima menoleh menatap gurunya yang baru saja pergi tanpa permisi. "Papa, Bu Guru kenapa marah?" tanya Bima.
"Entahlah, mungkin dia marah karena ucapan papa tadi," ucap Alvaro.
"Tapi itu kan salah Bu Guru. Harusnya Bu Guru yang meminta maaf bukan kakek tadi," ujar Bima yang membahas permintaan maaf ayah Nana tadi.
"Apakah kamu masih mau Bu Guru menjadi pengganti mamamu nanti, Boy?" tanya Alvaro.
Bima dengan cepat menggelengkan kepalanya.
Alvaro tersenyum,tangannya bergerak mengusap rambut ikal putranya itu. " Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kita pesan makanan saja," ujar Alvaro. Bima pun menganggukkan kepalanya dengan antusias sembari mengulas senyum.
Keduanya pun memanggil pelayan untuk memesan makanan. Setelah menghabiskan makanannya, kedua pria tampan itu memilih untuk kembali ke rumah.
.....
Keesokan harinya, Alvaro kembali menjalani rutinitas seperti biasanya. Ia mempersiapkan sarapan untuk jagoan kecilnya. Pria tersebut sudah mengambil alih menjadi seorang ayah sekaligus ibu bagi Bima.
Saat Alvaro pergi ke kantor, seorang pelayan dari rumah utama akan datang untuk membersihkan rumahnya. Alvaro hanya tinggal meletakkan amplop yang berisi uang di atas meja sebagai bayaran atas keringat yang pelayan tersebut keluarkan.
Ceklekkk ....
Bima baru saja keluar dari kamarnya dengan tas kecil yang disandang di bahunya. Pria kecil itu menempati kursinya terlebih dahulu, sementara sang ayah, membawa hidangan yang dimasaknya di atas meja makan.
"Papa, ...."
"Iya, Boy. Ada apa?" tanya Alvaro dengan lembut. Pria tersebut melepaskan apron yang melekat di tubuhnya dan mengaitkan benda tersebut pada tempatnya. Ia pun menempati kursi yang ada di hadapan putranya sembari mendengarkan apa yang hendak Bima katakan padanya.
"Papa, Bima tidak usah pindah sekolah. Bima akan tetap bersekolah di sekolah Bima yang lama," cicit pria itu. Ia takut jika ayahnya akan menentang keputusan yang ia buat.
"Kenapa Nak?" tanya Alvaro melipat kedua tangannya di atas meja, mencoba menjadi pendengar yang baik untuk penjelasan atas keputusan putranya itu.
"Bima lebih nyaman berada di sekolah Bima yang lama, Pa. Jika Bima harus pindah sekolah, berarti Bima harus bertemu orang-orang baru lagi," gerutu Bima.
Alvaro tersenyum, ia berusaha untuk memahami maksud anaknya itu. Meskipun nantinya Bima akan dituntut untuk bisa beradaptasi dengan cepat dengan orang-orang baru, karena kelak Bima lah yang akan menjadi penerusnya nanti.
"Baiklah. Papa tidak akan memindahkan kamu. Tapi, apakah kamu baik-baik saja bertemu dengan Bu Nana nantinya?" tanya Alvaro.
"Bima tidak apa-apa, Pa. Lagi pula Bu Nana adalah guru Bima di sekolah. Tidak mungkin dia akan berbuat jahat pada Bima," ucap pria kecil tersebut.
"Kalau begitu, habiskan roti bakarnya dan minum susunya," ujar Alvaro.
Bima pun mulai menikmati sarapan yang disiapkan oleh ayahnya itu.
...
Setelah menyelesaikan sarapan, kedua pria tampan itu keluar dari apartemennya. Saat mereka keluar rumah, ternyata tetangga sebelah mereka juga ikut keluar.
Kali ini Alvaro bukan bertemu Bu Isna, melainkan anak gadis dari tetangga itu. Rania sudah lepas dari maskernya. Wanita itu telah sembuh dari flunya setelah dirawat oleh Bu Isna.
Rania menatap Alvaro dengan tatapan sinis, mengingat kemarin pria tersebut mengatainya wanita pembawa virus. Bima yang melihat Rania pun langsung mengembangkan senyumnya.
"Mama!" seru Bima.
Awalnya Rania tak tahu dan tak memperhatikan jika ada Bima bersama dengan pria yang merupakan tetangganya itu. Saat Bima memanggil yang kedua kalinya, membuat Rania pun berbalik.
"Mama," ucap Bima seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Kamu anak yang di restoran itu," gumam Rania. Bima yang bertingkah manis bak anak kucing itu pun langsung menganggukkan kepalanya.
"Mama?" ucap Alvaro terkejut dengan panggilan yang disematkan oleh Bima pada wanita yang baru ia temui itu.
Rania memicingkan matanya. "Jangan-jangan kamu disuruh oleh papamu ini ya?" tanya Rania menatap Alvaro masih dengan tatapan sinis nya.
"Aku? Aku tidak mengajarkan anakku berbicara seperti itu!" tegas Alvaro yang langsung membantah ucapan dari wanita yang ada di hadapannya itu.
Tinggg ....
Lift baru saja terbuka. Terlihat sosok Arumi yang tengah bersama Bu Isna. Keduanya berbincang meskipun baru saling mengenal.
Alvaro, Bima, Dan Rania menatap ke arah wanita yang rambutnya sudah mulai memutih itu. Dan kedua wanita tua itu pun menatap kedua anaknya seraya mengerjapkan matanya beberapa kali.
Arumi teringat sosok Rania merupakan wanita yang dicarinya beberapa hari terakhir ini untuk menjadi kandidat ibu dari Bima selanjutnya.
"Calon menantu ku," ucap Arumi tersenyum penuh arti.
Mendengar hal tersebut, Rania dan Alvaro pun langsung tertegun sembari saling melemparkan tatapan keterkejutannya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Erina Munir
/Angry//Angry//Angry//Angry//Angry//Angry/ arumi....yakiinn bneer
2024-12-23
0
Putri Minwa
😀😀😀
2024-03-17
0
Adelia Rasta
hahahaha akhirny ketemu juga sama calon mantu
2023-04-11
0