Alvaro sedari tadi meladeni pasangan kencannya yang bernama Hilda. Pria itu sedikit berinteraksi karena sadar diawasi langsung oleh ibunya.
Namun, saat Alvaro mencuri-curi pandang ke arah ibu dan anaknya, justru dua orang tersebut memperhatikan yang lainnya. Alvaro hanya melihat kedua orang tersebut memunggunginya.
"Bukankah mereka ingin mengawasiku? Mengapa mereka justru membelakangiku seperti itu?" batin Alvaro bertanya-tanya.
"Ada apa?" tanya Hilda yang memperhatikan Alvaro sedari tadi.
"Ah, tidak apa-apa." Alvaro meraih gelas kopinya lalu kemudian menyesapnya.
Wanita itu hanya mengulas senyum. Rambut yang ikal dan kulit yang sedikit gelap serta tubuh lebih berisi dari pada wanita kencan butanya yang kemarin.
"Apakah kamu selalu seperti ini? Diam dan sedikit kaku?" tanya wanita itu seraya menopang dagunya.
"Ya ... seperti inilah diriku," timpal Alvaro kembali meletakkan gelas kopinya di atas meja. Pria tersebut mengendikkan bahunya dengan sedikit acuh.
"Aku tahu jika kamu menolakku," celetuk wanita tersebut. Alvaro menaikkan alisnya sebelah.
"Karena aku tahu dari caramu yang tampak acuh tak acuh," ucap wanita itu lagi.
"Maafkan aku," ujar Alvaro.
"Sebenarnya, sedari tadi aku mengumpat dalam hati. Ah, sial! Kenapa pria ini begitu jelas memperlihatkannya. Namun, ...." wanita itu mengendikkan bahunya.
"Aku juga suka caramu yang seperti ini. Setidaknya kamu tidak menabur harapan pada setiap wanita yang kamu temui," ujarnya lagi.
Alvaro hanya bisa tersenyum, bagaimana pun juga yang dikatakan oleh Hilda memang benar adanya.
"Jangan tersenyum seperti itu. Kamu menabur gula di setiap senyummu itu. Dan menoreh luka pada mereka yang tak mampu memilikimu," ucap Hilda.
"Ternyata kamu cukup banyak bicara," ujar Alvaro.
"Tentu saja, karena aku orangnya friendly pada siapapun," balasnya.
Alvaro hanya mengulas senyum sembari mengacungkan ibu jarinya. Ucapan yang terlontar dari mulut wanita itu sedikit menyinggung dirinya.
Hilda melirik jam tangannya, "Sepertinya aku harus pulang sekarang karena besok aku harus bekerja," ujar Hilda yang beranjak dari tempat duduknya.
Alvaro ikut beranjak dari tempat duduknya
"Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri dengan menggunakan taksi. Kamu tidak perlu mengantarku," celetuk Hilda.
"Aku tidak ...."
"Oh, aku kira kamu berinisiatif untuk mengantarku. Kalau begitu, aku permisi."
Hilda pun melangkah pergi setelah mengucapkan kalimat tersebut. Alvaro hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Banyak wanita yang ia temui, tampaknya hanya Hilda yang berucap seperti itu padanya.
Hilda melangkahkan kakinya keluar dari restoran tersebut. Saat di parkiran, ia melihat Rania yang saat itu sedang menerima telepon. Wanita itu baru saja menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya dan berbalik menatap wanita yang amat begitu ia kenal tengah berdiri di belakangnya.
"Hilda."
"Iya Dok," ucap Hilda mengembangkan senyumnya.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya Rania.
"Biasa, sedang menghadiri kencan buta. Lalu bagaimana denganmu?" tanya Hilda.
"Ya, kita memiliki kesamaan untuk malam ini," timpal Rania.
"Apakah malam ini beruntung?" tanya Hilda menelisik.
Rania mencebikkan bibirnya. " Bagaimana denganmu?"
"Sepertinya kita memiliki nasib yang sama. Sebaiknya mari kita pulang, karena besok kita harus menyambut orang yang datang ke klinik dengan penuh semangat," ucap Hilda seraya merangkul Rania.
"Benar juga. Setidaknya waktu lelah kita terbayarkan dengan pundi-pundi rupiah," balas Rania dengan bersemangat.
"Untuk menghemat waktu dan uang, bagaimana jika dokter mengantarkanku sampai ke tujuan. Meskipun tidak mendapatkan apa-apa, setidaknya yang satu ini malaikat akan mencatatnya sebagai amal karena Dokter Rania sudah berbaik hati mengantarkanku sampai ke rumah," papar Hilda.
"Aduh, tidak perlu berceramah panjang lebar, bilang saja kalau kamu ingin menumpang. Dan satu hal lagi, jika di luar jam kerja, panggil aku Rania saja," ucap Rania yang langsung masuk ke dalam mobilnya.
Hilda mengangguk, wanita itu juga ikut masuk ke dalam kendaraan tersebut. Rania pun melajukan mobilnya menuju ke jalanan.
Rania dan Hilda saling mengenal karena Hilda yang bekerja sebagai perawat di klinik tempat Rania bertugas.
.....
Setelah kepergian Hilda, Alvaro saat ini berada satu meja dengan anak dan ibunya. Arumi dan Bima sama-sama bersedekap memperhatikan Alvaro dengan seksama.
"Dibandingkan dengan pria tadi, papamu tentu jauh lebih tampan," gumam Arumi sembari memicingkan matanya.
"Tentu saja, Nenek. Papa satu-satunya pria yang paling tampan," ucap Bima yang juga mengikuti gerakan neneknya itu.
Alvaro mengerjakan mata beberapa kali, pria tersebut merasa sedikit bingung dengan tingkah aneh antara Arumi dan Bima.
"Sebenarnya ada apa ini?" tanya Alvaro seraya menatap keduanya dengan sedikit aneh.
"Kami melihat wanita cantik lagi," ujar Arumi.
"Iya, sangat cantik." Bima pun menyambung ucapan neneknya.
"Dia memiliki aura keibuan, sepertinya dia penyayang," ucap Arumi.
"Benar, Papa."
"Dia juga terlihat sangat anggun dan berkelas," ujar Arumi lagi.
"Benar, Papa."
"Tatapannya begitu lembut, caranya berbicara sangat sopan," ucap Arumi.
"Benar, Papa."
"Dan sepertinya dia juga seorang wanita karir, caranya berjalan sudah menunjukkan semuanya," lanjut Arumi lagi.
"Benar, Papa." Bima selalu saja menambahi ucapan neneknya dengan menganggukkan kepalanya.
Sedari tadi, mata Alvaro menatap keduanya secara bergantian. Saat Arumi membuka suara, Alvaro menatap Arumi. Dan saat Bima yang berbicara, mata Alvaro beralih kepada Bima, begitu seterusnya sampai mereka menghentikan pembicaraannya.
"Lantas mengapa jika dia cantik? Mengapa jika dia anggun? Aku tidak peduli akan hal itu," ujar Alvaro memperlihatkan reaksi yang biasa-biasa saja.
"Cucuku." Arumi menatap ke arah Bima.
"Iya, Nenekku cantik," timpal Bima.
Alvaro yang baru saja meminum air putih yang ada di hadapannya sontak tersedak karena mendengarkan ucapan anaknya itu.
"Ini tidak bisa dibiarkan. Jadikan dia mamamu," ujar Arumi.
"Siap, Nek."
"Aduh, kita lupa bertanya nama dan nomor teleponnya. Ayo kita lihat di luar, mungkin saja dia belum pergi," ucap Arumi.
"Oke."
Arumi dan Bima langsung beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan meja tersebut untuk berjalan keluar menemui wanita yang akan dijadikan kandidat selanjutnya. Baru beberapa langkah berjalan, tak lama kemudian Arumi pun langsung memanggil salah satu pelayan resto tersebut.
"Dek, tagihannya nanti dia yang bayar," ucap Arumi sembari menunjuk ke arah putranya yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik mereka.
"Baik, Nyonya." pelayan wanita itu menimpali.
Arumi dan Bima pun kembali melanjutkan langkahnya untuk melihat wanita tadi di depan.
Alvaro melihat anak dan ibunya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Jika biasanya, sefrekuensi itu hanya sebutan untuk sesama teman. Namun, tingkah Arumi dan Bima bisa dikatakan sefrekuensi. Terkadang Bima yang berlagak menjadi dewasa, dan terkadang pula Arumi lah yang bertingkah kekanak-kanakan.
Pelayan tadi menghampiri Alvaro, lalu menghitung semua tagihan yang dipesan olehnya dan kedua orang yang sudah berjalan lebih dulu menuju keluar.
Alvaro membayar semuanya dengan uang cash, lalu kemudian meninggalkan kursinya dan berjalan menyusul Arumi dan Bima yang sudah berada di luar.
"Sudah ketemu?" tanya Alvaro menghampiri Arumi dan Bima.
Kedua orang tersebut menggelengkan kepalanya serentak.
"Sudahlah! Lagi pula mama dan Bima tidak perlu mengejarnya, karena aku pasti tidak akan tertarik sama sekali," celetuk Alvaro.
"Benarkah?" tanya Arumi bersedekap. Begitu pula dengan Bima.
Alvaro menganggukkan kepalanya, mengiyakan pertanyaan ibunya itu.
"Baiklah, kalau begitu ?Mama sumpahi kamu dan dia berjodoh nantinya."
Mendengar hal tersebut, cukup membuat Alvaro tercengang.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Erina Munir
good arumii../Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2024-12-23
0
susi 2020
🥰🥰🥰😔🙄
2023-04-15
0
susi 2020
😘🥰😔🙄
2023-04-15
0