Di waktu yang bersamaan,wanita yang baru saja memberikan bingkisan kepada Alvaro tadi mengulas senyumnya. Ia melangkah masuk ke dalam, melihat anak gadisnya, bertubuh tinggi semampai, wajah yang tirus dan memiliki mata yang bulat. Gadis itu telah berpakaian rapi, hendak pergi bekerja hari ini.
"Nak, ternyata tetanggamu sangat tampan. Mama sampai terkagum-kagum melihatnya," puji wanita paruh baya tersebut.
"Lantas kenapa jika dia tampan, Ma?" tanya gadis tersebut.
"Aduh, kenapa kamu pakai nanya? Sikat lah! Siapa tahu kan dengan yang ini berjodoh," ujar Wanita paruh baya tersebut terlihat bersemangat.
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah ibunya itu. Sudah berapa kali ibunya mencoba untuk mencarikan pria untuknya, akan tetapi gadis tersebut mengabaikan pria yang dipilihkan oleh ibunya itu.
"Rania, ada baiknya jika kamu lekas mencari pasangan. Lama-lama ibu bisa karatan menunggu kamu menikah. Ibu terkadang iri melihat teman-teman arisan yang menceritakan cucu mereka sedangkan ibu hanya diam sembari mendengarkan saja," tutur wanita paruh baya itu.
Gadis yang bernama Rania itu pun membawa tas nya, lalu kemudian berjalan mendekati ibunya, lalu memberikan rangkulan pada wanita yang telah melahirkannya itu.
"Bu Isna, mohon bersabar sebentar lagi. Biarkan anakmu ini mengejar karir dulu, nanti urusan menikah kita pikirkan lagi," tutur Rania.
Bu Isna pun langsung melepaskan rangkulan anaknya itu. "Sampai kapan kamu mengatakan sebentar lagi? Sudah tiga tahun yang lewat kamu juga mengatakannya seperti itu," tukas wanita paruh baya tersebut.
Rania hanya mengulas senyumnya, lalu kemudian meraih tangan ibunya, berpamitan untuk pergi bekerja.
Saat anaknya telah membuka pintu, Bu Isna pun kembali memanggil anak gadisnya itu. "Rania, kamu tidak sarapan dulu?" tanyanya.
"Nanti aku cari sarapan di luar saja, Bu." Gadis itu pun menghilang dari balik pintu.
Bu Isna menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menggerutu, "Selalu saja melewatkan sarapan."
Rania, gadis berusia 28 tahun, berprofesi sebagai dokter gigi, membuka klinik tak jauh dari tempat Alvaro bekerja. Wanita ini merupakan wanita yang mengesampingkan masalah percintaan, karena trauma masa lalu membuatnya memilih untuk tetap melajang hingga diusianya yang seharusnya sudah memiliki anak.
Rania melangkah dengan begitu elegan. Heelsnya yang mengetuk-ngetuk lantai, memecah keheningan di tempat tersebut. Wanita itu masuk ke dalam lift, lalu kemudian memencet tombol yang ada di sana untuk menutup pintu lift tersebut.
Di waktu yang bersamaan, Alvaro menggandeng putranya. Kedua pria berbeda generasi itu menunggu pintu lift yang ada di hadapannya terbuka kembali.
Tinggg ...
Lift di depannya pun terbuka, Alvaro dan Bima langsung masuk ke dalam ruangan sempit itu.
"Papa, nanti malam kita menemui mama baru lagi?" tanya Bima.
Alvaro terdiam sejenak, ia bingung bagaimana menghadapi wanita yang dipilihkan oleh ibunya. Apalagi melihat anaknya yang begitu antusias untuk mendapatkan ibu pengganti.
"Entahlah, lihat saja nanti. Jika papa tidak sibuk," timpal Alvaro.
Drrrttt ...
Ponsel Alvaro bergetar. Pria itu pun merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel yang ia simpan di dalam saku tersebut. Pria itu kembali menghela napasnya saat melihat panggilan telepon dari ibunya itu. Alvaro sudah bisa menebak, hal yang ingin dibicarakan oleh Arumi tentunya adalah seputar kencan yang dijalaninya.
"Halo, Ma." Alvaro menerima telepon tersebut, meletakkannya di salah satu telinganya.
"Kencanmu yang kemarin bagaimana? Apakah berhasil?" tanya Arumi dari seberang telepon.
"Ya ... kami hanya sekedar menikmati makan malam saja, tidak ada yang istimewa," timpal Alvaro seadanya.
"Ya sudah, kalau begitu nanti malam kamu temui lagi gadis yang bernama Hilda. Mama sudah memasang janji untukmu jam delapan malam di tempat yang sama," ujar Arumi.
"Ma, aku ...."
"Tidak! kamu tidak boleh membantah! Ingat ini semua demi anakmu. Demi cucuku yang meminta dicarikan mama baru!" tukas Arumi, keputusannya tidak bisa diganggu gugat.
Alvaro menghembuskan napasnya dengan kasar saat Arumi mematikan panggilannya secara sepihak. Lalu kemudian Alvaro melihat tatapan mata anaknya yang sedari tadi menatapnya dengan penuh kebingungan.
Tatapan polos Bima membuat Alvaro terenyuh dan dirundung rasa bersalah karena tak mewujudkan keinginan anaknya yang satu ini.
"Papa, ... pintunya sudah terbuka. Apakah kita akan tetap berada di sini?" tanya Bima dengan wajah lugunya.
Alvaro menepuk keningnya. Benar saja, pintu lift sedari tadi telah terbuka lebar, akan tetapi mereka berdua masih berada di dalam ruangan sempit itu tanpa keluar.
"Maafkan papa ya, Boy. Papa sibuk berbicara dengan nenek di telepon sampai tidak tahu jika pintunya sudah terbuka sejak tadi," ujar Alvaro.
"Kalau begitu, ayo kita keluar sekarang."
Keduanya pun berjalan bersamaan keluar dari pintu lift tersebut. Alvaro langsung menuju ke mobilnya, kedua pria tampan itu masuk ke dalam kendaraan tersebut yang mulai berjalan melaju menuju ke jalanan.
Setelah cukup lama menempuh perjalanan, Alvaro pun tiba di sekolah Bima. Pria itu mengantarkan anaknya sampai ke dalam. Ia pun bertemu dengan wanita yang tak lain adalah guru Bima.
"Eh Bima sudah datang," ucapnya sembari mengulas senyum.
Alvaro melihat riasan wanita tersebut tampak lebih tebal dari yang kemarin. Wanita itu masih sedikit tertunduk malu dengan mengedipkan matanya mencoba untuk membuat Alvaro tertarik. Akan tetapi, Alvaro merasa sebaliknya. Ia bergidik ngeri melihat wanita itu yang terlalu agresif menurutnya.
"Bima, kalau begitu belajarlah yang rajin ya, Nak. Papa harus segera berangkat ke kantor," ucap cari seraya melirik jam tangannya.
"Masih pagi, Mas Al. Tidak usah terlalu terburu-buru," ujar wanita tersebut.
Alvaro tertegun, "Tadi dia memanggilku apa? Mas? Oh tidak! Itu panggilan sayang dari Diara, mamanya Bima dulu," batin Alvaro.
"To-tolong panggil aku Alvaro saja," ujar Alvaro.
"Bukankah lebih akrab jika dipanggil mas," bantah wanita itu.
"Saya tidak nyaman dipanggil seperti itu."
"Coba dinyamanin saja," sela wanita tersebut yang langsung membuat Alvaro terbelalak.
"Baiklah, aku akan memanggilmu Alvaro." Guru dari Bima itu pun melanjutkan ucapannya.
"Masih ingat namaku kan?" tanya wanita itu lagi.
"Maaf, tapi saya lupa."
"Kebiasaan!" wanita tersebut memukul lengan Alvaro pelan, membuat Alvaro langsung terkejut karena tingkahnya.
"Namaku Nana, panggil saja dengan sebutan Dek Nana," ujarnya yang mencoba untuk menjelaskan.
"Haha iya, kalau begitu saya harus segera pergi ke kantor dulu," ucap Alvaro yang terburu-buru hendak pergi meninggalkan wanita itu.
Alvaro kembali menoleh, ia melihat ke arah Bima yang melambaikan tangannya. Namun, wanita yang bernama Nana itu mengira bahwa Alvaro melambaikan tangan untuknya.
Alvaro segera berbalik badan, pria tersebut dengan cepat masuk ke dalam mobil untuk menghindari pandangan wanita tadi.
Saat di perjalanan menuju ke kantor, Alvaro melihat-lihat sekitar. Dalam waktu beberapa menit lagi, ia tiba di kantor. Pandangannya teralihkan dengan bangunan yang tak jauh dari kantornya. Sebuah ruko yang dulunya kosong, tampaknya kini telah ada penyewa yang mengisinya.
Alvaro melihat plang yang bertuliskan klinik yang di bawahnya terdapat gambar sebuah gigi berukuran besar.
"Oh ternyata klinik gigi," gumam Alvaro. Ia pun kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Tak lama kemudian, pria itu tiba di depan gedung perusahaan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 286 Episodes
Comments
Erina Munir
jodohnya pasti rania nih Alvaro
2024-12-23
0
Atoen Bumz Bums
sikat rania bkn gigi tp alvaro
2023-11-19
2
susi 2020
😲😲😲
2023-04-14
2