Alisha sudah selesai membersihkan diri. Ia juga sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang, tak lupa hijab instan ia gunakan untuk menutupi bagian atas kepalanya. Bukan apa-apa, tapi ia ragu juga takut jika harus bersikap seperti kebiasaan di rumah pakdhenya.
Keluar dari kamar mandi Alisha justru bingung mau ke mana. Ingin istirahat tapi tidak tahu di mana ia akan istirahat malam ini. Jadilah ia terpaku menatap ranjang dan sofa dengan bergantian.
"Mau jadi patung lo, di situ?" Suara Arsya dari atas ranjang sontak membuat Alisha tersentak.
"Meskipun lo hanya numpang di sini, tapi gue bukan tuan rumah yang buruk. Lo boleh tidur di ranjang ini."
Arsya pun bangkit dan beranjak dari ranjang. Pria itu menuju kamar mandi.
Melihat pria itu sudah menghilang dari pandangan, Alisha segera naik ke atas ranjang. Ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Hanya kepala saja yang menyembul di balik selimut tebal nan halus itu.
Tatapannya mengedar, mengelilingi ruangan yang terasa asing ini. Perasaannya bercampur aduk, antara takut dan juga bingung. Ada pertanyaan dalam benaknya tentang apakah ia akan selamanya berada di tempat ini ataukah hanya sementara saja. Mengingat pernikahan yang ia jalani bukanlah pernikahan atas nama cinta.
Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti suaminya akan meninggalkannya atau mengantarkan ia kembali ke rumah Pakdhe Imran. Sikap Arsya yang dingin seolah menjadi pertanda jika pria itu sebenarnya tak pernah menginginkan pernikahan ini.
Terpaksa bertanggung jawab demi menghindari hukuman adalah alasan terkuat dari pria itu. Alisha tahu semua. Namun, harus berpura-pura tidak tahu demi alasan nama baik pakdhe dan budhenya.
Alisha tersentak. Ia memegang selimutnya erat. Jantungnya berdegup kencang dipenuhi ketakutan kala mendadak lampu dipadamkan. Ingin berteriak, tapi ia tahan. Ia gigit selimut dalam dekapannya semakin kuat. Alisha takut.
Ya ... Alisha takut akan kegelapan. Ia tidak terbiasa tidur dengan lampu dimatikan.
Beberapa kali Alisha mencoba memejamkan mata, menepis segala ketakutan yang ada. Namun, justru malam nahas itu yang terlintas dalam benaknya. Membuat pikirannya semakin berkelana. Bagaimana jika pria yang kini berstatus suaminya itu kembali menyerangnya.
Alisha tidak siap. Lebih tepatnya tidak ingin mengulang malam kelam yang sama.
Dalam hatinya Alisha terus merapal doa. Meminta perlindungan agar ia dijaga dari sikap buruk suaminya. Tanpa sadar air mata bukti ketakutannya mengalir begitu saja.
Alisha membuka mata ketika bayangan besar menghampirinya. Mulai mendekat dan berada tepat di atas tubuhnya.
Spontan Alisha menjerit. "Aargghh!"
Seketika itu juga, bayangan itu membekap mulutnya. Hingga Alisha merasakan sulit untuk bernapas saking takutnya.
"Diam! lo mau bangunin orang serumah, hah!" ujar pria itu memarahi Alisha. Tentu saja bayangan besar yang kini berada di atas tubuhnya adalah suaminya sendiri, Arsya.
Alisha semakin takut mengetahui kenyataan itu. Apakah apa yang baru saja ia takutkan akan terjadi. Apa iya, Arsya akan memaksanya untuk kedua kali.
Alisha menolak semua prasangka yang memenuhi batinnya. Tidak mau hal itu terjadi lagi. Luka batin yang dulu saja belum terobati, apakah pria ini sekejam ini dan akan kembali menorehkan luka yang sama untuk Alisha.
Melihat sorot ketakutan dan napas Alisha yang mulai berat perlahan Arsya melepaskan tangannya. "Gue lepas tangan gue, tapi janji jangan teriak," pinta Arsya.
Masih dengan raut takutnya Alisha berusaha mengangguk sebagai persetujuan.
Tangan Arsya yang membekap mulut Alisha perlahan di angkat, tapi tidak dengan pria itu. Posisi tubuhnya masih berada tepat di atas Alisha. Membuat Alisha belum bisa tenang.
"Ka-kamu, mau, apa?"
Arsya menangkap ketakutan di mata Alisha. Timbullah niat untuk membuat wanita ini semakin takut. Arsya yakin sekali jika Alisha memiliki ketakutan tersendiri terhadap dirinya.
Tidak menjawab pertanyaan Alisha, Arsya justru menanggapinya dengan semakin membungkukkan badannya. Menepis jarak yang ada. Pria itu semakin dekat untuk menyentuh Alisha.
"Tu-tunggu ... ka-kamu, mau, apa?" tanya Alisha lagi.
Arsya justru menyunggingkan senyum miring yang mengingatkan Alisha akan senyum Arsya malam itu. Ketika pria itu dengan jemawa telah menggagahinya secara paksa.
"Jangan ... aku mohon," pinta Alisha dalam ketakutannya.
Tak menggubris permohonan Alisha, Arsya semakin dekat dengan tubuh Alisha, hingga ketika tak ada jarak lagi di antara keduanya pria itu sedikit memiringkan badannya.
Di saat yang sama, Alisha menjerit. "Jangan!"
Arsya tertawa menanggapi ketakutan Alisha, karena saat itu pria itu langsung mengambil bantal yang berada tepat di samping kepala Alisha.
"Lo, mikir, apa?" tanya Arsya tanpa rasa bersalah.
Alisha baru sadar jika Arsya mempermainkannya ketika ia membuka mata dan mendapati pria itu sudah memeluk bantal di tangannya.
"Heum ... malam pertama, apa itu yang ada di otak lo sekarang?"
Alisha terdiam.
"Sayangnya, gue nggak pernah ingin lo jadi istri gue, jadi jangan ngarep hal lebih dari pernikahan ini!" imbuh Arsya. Kemudian turun dari atas ranjang. Pria ini benar-benar tidak punya hati dan perasaan. Setelah membuat Alisha ketakutan setengah mati, dengan teganya ia berkata tak pernah menginginkan Alisha sebagai istri.
Harusnya Alisha senang dengan pengakuan Arsya. Setidaknya ia bisa mengobati rasa traumanya akan sentuhan pria itu. Tapi, kenapa air matanya mengalir tanpa ijin. Ada perasaan sakit yang tak bisa ia sebut namanya.
Setelah Arsya beranjak ke sofa dan tidur di sana, Alisha justru tak bisa memejamkan mata. Dalam kesendiriannya, Alisha menahan tangis yang tak mungkin ia suarakan. Membayangkan akan nasib pernikahannya ke depan.
Hingga pagi harinya mata panda nampak menghiasi wajah berbalut hijab coklat. Tak terbiasa tanpa mekap berlebih, Alisha tetap turun dengan kantung hitam di matanya.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Sarah ketika Alisha baru saja menghampiri keluarga barunya.
"Selamat pagi, Ma," jawab Alisha malu. Rupanya semua sudah berkumpul di meja makan termasuk Arsya. Mereka bahkan sudah memulai sarapan, hanya dia seorang yang terlambat.
Ah ... bodohnya Alisha, kenapa tadi ia harus tertidur setelah salat subuh. Harusnya ia segera turun dan membantu pekerjaan rumah bukan malah tidur. Ini semua gara-gara semalam ia tak bisa tidur jadi setelah subuh kantuk begitu menguasainya.
"Ma-maaf, Ma, Alisha terlambat," ujar Alisha mengakui kesalahannya.
"Ish ... kamu ngomong apa, sih? Nggak apa kalau kamu terlambat, Mama ngerti kok." Sarah tersenyum pada Alisha juga Arsya.
"Duduklah, Nak, kita sarapan," ajak Surya.
Alisha mengambil duduk tepat di samping Arsya. Ia melihat suaminya yang sibuk dengan sendok dan garpu pada piring berisi nasi goreng.
Ini pertama kalinya ia makan dengan keluarga barunya, rasa canggung masih ia rasakan.
"Ayo, Alisha, makanlah. Sekarang, ini juga rumahmu, jadi jangan sungkan apa lagi takut," ujar Sarah.
Alisha mengangguk.
"Apa rencana kamu setelah ini?" tanya Surya pada putranya.
Sejenak Arsya mengehentikan gerakannya menyuap nasi goreng ke mulutnya. "Yang pasti, aku akan keluar dari rumah ini!"
Jawaban Arsya membuat Alisha langsung menoleh. Selain nada bicara yang ketus, perkataan Arsya membuatnya bertanya-tanya tentang maksud pria itu.
"Kenapa kamu nggak tinggal di rumah ini saja, Sayang. Mama akan senang jika ada Alisha di sini."
"Kalau Mama mau, wanita ini bisa tinggal di sini karena Arsya nggak butuh dia!"
"Arsya!" sentak Surya. "Jaga bicaramu!"
"Pa ...." Sarah memotong. Ia tak mau hari pertama menantunya sarapan sudah disuguhkan dengan perdebatan antara suami dan anaknya.
Nampaknya Arsya sudah kehilangan selera makannya. Ia pun segera bangkit dan tak lagi melanjutkan acara sarapan.
"Arsya, kamu mau ke mana?" seru Sarah, yang tak mendapat jawaban apa pun dari sang putra.
Alisha yang sejak tadi memperhatikan sikap suami dan mertuanya merasa jika ada yang tidak beres dengan hubungan antara ayah dan anak itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
maulana syarofa
masih untung mertuanya sangaat baek
2023-12-19
1
revinurinsani
gue tonjok Lo yah
2023-11-29
1
Elisa Nursanti Nursanti
anak nggak waras 😤😤😤
2023-02-19
3