Bukan Surrogate Mother
Suasana tegang dan panas sangat terasa di ruang tengah keluarga Kailandra. Pria tampan berusia tiga puluh lima tahunan itu sampai harus berdiri dan beradu tatapan tajam dengan Kasih---sang mama.
"Tundukkan pandanganmu, Kai. Cukup sudah Mama mengalah selama ini. Cukup mama membiarkanmu hidup sesuka hati. Sekarang saatnya kamu menunjukkan baktimu pada Mama. Urus perusahaan dan berikan Mama keturunan. Bukankah kalian sudah hampir enam tahun menikah? Kenapa kalian belum memiliki keturunan juga?" Kasih melirik sinis pada Karina---istri Kailandra.
"Ma, keturunan itu tidak bisa dipaksakan. Ini hanya masalah waktu. Tuhan belum memberikan kami kepercayaan untuk mempunyai seorang anak," kilah Kailandra dengan suara yang sedikit meninggi.
"Kai, kamu hidup di jaman apa? Hingga mendapatkan keturunan pun kamu cuma bisa menunggu pasrah tanpa usaha. Banyak teknologi kedokteran yang bisa mengusahakan istrimu agar bisa hamil, Kai. Inseminasi atau bayi tabung misalnya," tegas Kasih.
"Ma, kami masih ingin lebih banyak waktu berdua. Memiliki anak belum menjadi prioritas kami saat ini, " sahut Karina.
Kasih seketika menatap menantunya dengan kekesalan yang amat kentara. Lalu perempuan tersebut berkata, "Ingat, Karina, dari awal saya tidak pernah menyetujui pernikahan kalian. Dan jangan kira Mama bodoh. Kalian memutuskan menikah karena apa? Mama tahu persis alasannya. Lakukan saran Mama untuk melakukan bayi tabung. Atau Mama akan membuat Kai menikah lagi dengan perempuan pilihan Mama." Kasih meninggalkan ruangan tersebut dengan langkah kaki yang menghentak.
Kailandra menghempaskan bokongnya di atas sofa. Dia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Kailandra seperti sedang menata hati untuk mengendalikan emosi yang sebenarnya sudah membuncah. Baru dua hari kembali ke tanah air, sang mama sudah memberikan permintaan yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikirannya.
"Sudah aku bilang, kan? Kembali ke Indonesia hanya akan menimbulkan masalah. Di sini, pernikahan dianggap sempurna kalau sudah mendapatkan anak. Menantu dianggap idaman jika sudah memberikan cucu," cerocos Karina dengan nada dan wajah yang kentara kekesalannya.
"Kita turuti saja kemauan Mama," putus Kailandra.
Karina beranjak dari duduknya dan berdiri tepat di depan Kailandra yang masih bersandar malas di sandaran sofa. "Bagaimana bisa kita mau menuruti Mama, Kai. Jika selama ini kamu ha--,"
"Kita bisa melakukan bayi tabung." Kailandra buru-buru memotong ucapan istrinya yang belum selesai.
"Bayi tabung?" raut wajah Karina yang tadinya keras seketika berubah lembut. Suara perempuan itu mendadak lirih.
"Kenapa? Tidak mau? Atau Aku memang harus menikah lagi?" Kailandra menggertak istrinya.
Karina menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Tidak, Kai. Kamu tidak boleh menikah lagi. Aku mau coba bayi tabung." Suara Karina terdengar bergetar dan ragu-ragu saat mengatakannya.
Kailandra berdiri, lalu melangkahkan kaki menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sedangkan Karina tampak sedang berpikir keras. Lama terdiam, akhirnya perempuan yang dinikahi Kailandra di luar negeri tanpa kehadiran Kasih itu keluar rumah dan meminta driver untuk mengantarnya ke suatu tempat.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya Karina sampai juga di depan sebuah rumah yang pernah di datanginya beberapa tahun yang lalu. Tepatnya sebelum dia ke luar negeri dan menikah dengan Kailandra.
"Semoga dia belum pindah dari sini." Karina turun dari mobil dan berjalan mendekati sebuah rumah sederhana tanpa pagar yang sangat asri dan bersih.
Di dalam rumah yang dituju Karina, sesosok perempuan dengan rambut tergerai sebahu sedang duduk di samping anak perempuan berusia tujuh tahun.
"kei ... kalau membaca jauhan dikit dong. Nanti mata Kei sakit." perempuan bernama Kailani itu sedikit menarik punggung sang putri ke belakang.
"Bunda, Kei mau ro--," Keiko tidak meneruskan ucapannya begitu mendengar suara pintu rumahnya diketuk beberapa kali.
"Boleh Keiko buka pintunya, Bun?" tanyanya.
"Biar Bunda saja. Kei pindah ke kamar dulu bacanya." Kailani berdiri terlebih dahulu, memastikan Keiko masuk ke dalam kamar lalu dia mulai melangkahkan kaki untuk membukakan pintu.
Mendengar suara daun pintu dibuka, Karina segera berbalik badan. Ada raut kelegaan yang tergambar jelas di wajah perempuan tersebut. Beberapa tahun berlalu, sosok yang ingin ditemuinya itu, ternyata tidak banyak berubah. Malah semakin terlihat segar dan cantik.
"Syukurlah, kamu ternyata masih di sini. Kamu tidak lupa, kan? Kamu punya hutang satu janji kepadaku. Dan sekarang aku mau menagih janjimu itu." Karina tanpa basa-basi langsung mengucapkan kata demi kata tanpa beban.
Sama halnya seperti Karina. Kailani pun tidak melupakan sosok yang sangat berjasa dalam proses kelahiran Keiko itu. Jika tidak ada Karina, mungkin putri satu-satunya itu tidak akan mungkin selamat.
"Silahkan masuk, Kak Karina." Kailani membuka daun pintunya lebih lebar. Keduanya lalu masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
"Terimakasih ... Aku di sini hanya sebentar. Jadi tolong dengar baik-baik permintaanku. Aku tidak mau ada penolakan. Karena pertolonganku, kamu tidak kehilangan nyawa anakmu, bukan? Maka sekarang, aku memintamu memberiku satu nyawa sebagai balasannya." Karina menatap Kailani yang duduk tepat di seberangnya dengan santai. Seolah ucapannya adalah hal yang biasa.
"Nyawa? Maksudnya bagaimana, Kak?"
"Suamiku ingin mempunyai anak. Sampai detik ini, dia tidak tahu jika aku memang bermasalah dengan rahim dan sel telurku. Aku ingin meminjam rahimmu, sekaligus meminta sel telurmu untuk dibuahi suamiku. Tenang saja, tidak akan ada persetubuhan antara kamu dan suamiku. Kita hanya akan melakukan proses bayi tabung." Lagi dan lagi. Karina mengatakannya dengan enteng.
"Itu artinya, saya akan mengandung anak saya sendiri dengan bapak biologisnya adalah suami Kak Karina? Lalu setelah lahir, saya harus menyerahkan pada Kak Karina?" Kailani bertanya untuk meyakinkan diri akan pemahamannya.
"Tidak salah. Persis yang aku mau. Selain itu, kamu juga harus membantuku melakukan sesuatu ...." Karina meminta Kailani untuk mendekat. Perempuan itu membisikkan sesuatu yang dijadikannya sebuah kesepakatan bersama.
Kailani sesekali menarik napas begitu berat. Janji suatu saat akan membalas budi pada Karina, haruskah dibayar dengan cara seperti ini? Sungguh Kailani masih merasa ragu. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkannya. Apalagi apa yang dibisikkan Karina barusan sungguh bertentangan dengan prinsip hidupnya selama ini.
"Kamu tidak berhak menolak. Ingat! Hutang nyawa, harus dibalas dengan nyawa. Janjimu harus ditunaikan. Jika kamu menolak, sama saja kamu masih menggadaikan anakmu sendiri padaku," tekan Karina.
Kailani masih di antara kegamangan hatinya, hanya bisa mengangguk lirih. Dalam hati, dia menyelipkan doa agar keputusannya kali ini tidaklah salah.
"Aku akan membuat kesepakatan secara tertulis dan berkekuatan hukum. Yang aku bisikkan tadi, hanya kamu dan aku yang tahu. Jangan pernah kamu membicarakannya bersama orang lain. Bebaskan dirimu dari hutang budi dengan melakukan semuanya sebaik mungkin sesuai mauku," tegas Karina sambil berdiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
Ibelmizzel
baru baca 💪💪💪
2023-05-14
0
Pina Pina
ma
2023-03-07
0
Elsi 🌻
K semua ini ya ceritanya..
2023-01-14
0