Permainan Hati

"A-pa?" Noura merasa aneh dengan pendengarannya, atau ia telah mendengarnya dengan benar?

"Kau dengar kata-kataku dengan jelas 'kan?"

Pria itu terlihat serius, dan Noura, ia tidak mengerti. "Apa artinya ini?"

"Artinya?" Ian menarik napas dengan cepat. "Aku tidak sungguh-sungguh denganmu. Maaf tapi aku harus katakan, kamu hanya bagian dari sebuah taruhan."

"Taruhan?" Apalagi ini? Setelah ia melambungkan hatiku jauh tinggi di awan, kini ia meminta hatiku itu untuk terjun bebas ke dasar lautan yang paling dalam, begitukah maksud dari perkataannya ini? Ini bercanda atau apa, sebab aku benar-benar tak mengerti.

"Iya, taruhan dan aku memenangkannya. Sekarang kau mau apa terserah padamu saja, tapi aku minta kau jangan ganggu aku lagi."

"Ganggu? Apa maksudnya ganggu ...." Noura benar-benar tercengang dengan sikap Ian yang berubah tak peduli.

"Mmh? Aku 'kan sudah katakan, aku menang taruhan yang intinya aku sudah tidak memerlukanmu lagi jadi mulai sekarang kita hidup sendiri-sendiri saja."

"Sendiri-sendiri?" Noura menautkan alisnya.

"Ya. Aku sudah siapkan kamar terpisah, jadi mulai sekarang kita tidak usah saling menganggu privasi masing-masing, ok?"

"Apa maksudnya ini?"

Ian menghela napas panjang dan diam sejenak. "Apa kau benar-benar tidak mengerti apa yang aku maksudkan? Atau kau ...."

"Ian, kita menikah ... kita menikah Ian. Apa yang kau lakukan?" Noura tercengang dengan sikap pria itu yang menganggap enteng sebuah lembaga pernikahan.

Ian pun tertampar hebat. Ia sedikit merasa bersalah.

"Apa kau menganggap pernikahan hanya sebuah permainan? Ian, pernikahan adalah penyatuan dua orang dengan hatinya dan kau ... apa kau tak punya hati?"

Baru kali ini ia diceramahi perkara hati, lalu hatinya yang sudah patah dari awal? "Bisa tidak, kau tidak mempertanyakan keputusanku. Kau tidak tahu apa-apa, jadi sekarang ini terima saja apa yang sudah kuputuskan. Lagipula, aku tidak menceraikanmu kan?!!" teriak Ian marah.

"Cerai?" Noura saat itu hendak menangis. Kenapa semudah itu ia percaya mulut manis pria itu? Kenapa? Betapa bodohnya dirinya.

Noura berbalik dan membuka pintu. Pria itu pun turun bersama wanita itu. Saat Ian membuka bagasi dan mengambil koper Noura, wanita itu merebutnya dengan kesal.

Ian tak bicara. Pun ketika satpam rumahnya menawarkan diri membawakan koper itu untuk Noura, wanita itu bersikukuh ingin membawanya sendiri.

Noura membawa koper itu menaiki tangga dengan wajah tertunduk. Ian setengah hati. Setengah hatinya ingin menolongnya tapi setengahnya lagi ingin bertahan untuk menatapnya saja dengan penderitaan yang harus dilewati wanita itu.

Noura benar-benar kesulitan menaiki tangga dan menarik kopernya hingga pria itu sudah tak tahan lagi dan mengambil alih koper itu. "Sini, biar aku yang bawa."

"Tidak usah!"

"Jangan keras kepala, aku bilang!" Ian merebut paksa dan pada akhirnya Noura menyerah dengan kesal. Pria itu membawakan koper itu menaiki tangga hingga ke kamar.

Sebuah kamar yang luas dengan tempat tidur dan meja rias yang besar, juga lemari. Kamarnya terlihat mewah.

"Ini kamarmu," ujar Ian seraya meletakkan koper itu di situ. "Kamarku di samping dan juga ada ruang kerja. Sisanya hanya kamar tamu," ucapnya sambil lalu. "Tapi kau tak boleh masuk kamarku dan ruang kerja ok? Selamat malam." Ia keluar dan menutup pintu.

Ian kemudian memasuki kamarnya. Kamu pikir hanya kamu saja yang merasakan ini berat, heh! Pria itu menelan salivanya. Aku juga, karena mulai malam ini semuanya kelabu. Pria itu menghela napas pelan.

Noura terduduk di tepian tempat tidur. Ia berpikir dalam. Yang paling bisa disalahkan atas semua ini adalah dirinya sendiri, kenapa dengan mudahnya ia jatuh ke tangan pria itu padahal ia tahu pria itu sangat tampan, penuh pesona, sopan, dan punya segalanya. Tak mungkin 'kan, pria sesempurna itu jatuh cinta kepadanya, tak mungkin!

Wanita itu mulai tertunduk, dan menangis pelan. Apa memang benar-benar tak ada cinta yang tulus untuknya? Pria yang ia sangka berbeda ternyata juga sama saja. Malah mempermainkannya. Apa memang sudah takdirnya takkan pernah menemukan cinta sejati ke manapun ia pergi?

Ah, pria itu kini telah jadi suaminya. Ia harus menjalankan kewajibannya sebagai istri walau pria itu tak menginginkannya, karena, ia sudah menikah dengannya. Menikah itu adalah menjalankan perintah agama. Mungkin saja dengan menjalankannya dengan benar, Allah meridhoi. Ridho Allah mungkin bisa mencairkan hatinya.

Noura menghapus air mata setelah berusaha membesarkan hatinya sendiri. Ia pun pergi tidur.

Sedang Ian, ia tak bisa tidur semalaman.

-----------+++---------

Ian bangun sedikit siang. Baru saja ia ke dapur hendak meminta pembantu membuatkan kopi, ia terkejut melihat Noura yang sedang memasak. "Kau sedang apa di sini?"

"Memasak, kamu tidak lihat?"

"Aku sudah bilang, kau tak perlu melakukan apa-apa untukku," omel pria itu.

"Kau mau kopi ya?"

"Noura."

"Akan aku buatkan."

Pria itu kesal. "Ke mana para pembantu di sini?"

Noura mengambil cangkir dan bubuk kopi.

"Hei, aku bicara padamu!"

"Aku meminta mereka mengerjakan yang lain selagi aku di sini. Kau suka kopi instan atau kopi bubuk ini?" Noura memperlihatkan di tangan.

"Noura, aku bilang, kau tak usah mengurusiku!" Pria itu terdiam dan melihat kopinya. "Aku tak suka pakai creamer."

" Ok."

"Noura!"

Namun akhirnya Ian duduk dan menunggu di meja makan. Noura membawakannya kopi. "Ini."

Pria itu menerima dengan muka masam.

"Nanti siang aku akan bikin apple pie."

Ian melirik dengan gemas, tapi ia berusaha menahan emosi. Bisa-bisanya wanita itu membuatkan makanan kesukaannya. "Aku mau pergi golf. Jangan menungguku. Aku lama," ujarnya dengan wajah datar. Ia kemudian mencoba menyeruput kopinya.

Wanita itu tersenyum melihatnya.

Pria itu kini menyadari telah meminum kopi istrinya. Setengah malu, ia berdehem. "Terima kasih."

Wanita itu masih tersenyum.

"Apalagi?"

"Tidak." Wanita itu masih tersenyum seraya melangkah ke dapur.

Noura, kenapa kau genit sekali sih? Kamu pikir dengan senyummu itu, dinding pertahananku bisa runtuh, mmh? Huh! Ian kembali meminum kopinya. Pintar juga dia buat kopinya. Manisnya pas.

Tak lama, Ian mandi dan berganti pakaian. Ia kembali turun. Dilihatnya Noura sibuk menata meja.

Ian kembali mendekatinya. "Aku sudah bilang, kau tak usah mengurus rumah, mengurusiku ...."

"Ini enak lho, nasi gorengnya. Tidak pedas. Ada sandwich telur juga."

"Noura aku bilang, urus dirimu sendiri, jangan urus orang lain!"

"Kamu kan suamiku, bukan orang lain."

"Oh my God," Ian mengangkat tangannya ke atas. "Terserah kamu saja. Aku akan lama jadi jangan menungguku." Ia melangkah ke pintu utama.

Noura kembali tersenyum. Kenapa dia harus lapor? Apa dia peduli? "Nanti siang, aku akan buat pie." Noura mengingatkan.

Pria itu terus melangkah.

"Oh ya, sore aku ke rumah orang tuaku!" teriak wanita itu.

Pria itu masih belum berpaling.

Terpopuler

Comments

Novi Ana

Novi Ana

semangat noura tundukkan suamimu

2022-10-11

1

Ratna Dadank

Ratna Dadank

buat si ian kaselaaaaaa...itu tunduk padamu noorin...
setelah itu cueki dan buat dia menyesal😆😆😆😆

2022-10-11

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!