Kisah Putri Langsat
"Sakit paman, sakiit...." Rintihan seorang gadis berusia 20 Tahun saat dipukuli pamannya.
"Anak tidak tahu diuntung, dasar bodoh, jam segini baru pulang. Dari mana saja kamu ? Mana uangnya." Bentak bibi Astrid saat memarahi Liliana.
"Maafkan Liliana bi, hari ini Liliana tidak dapat uangnya. Aku sangat lapar bi, seharian ngemis dipinggir jalan dan belum makan."
Bibi Astrid semakin marah dan melototkan matanya. "Apa kamu bilang ! Masa ia, mau makan pake gratisan. Kamu fikir, rumahku penginapan apa, seenak perutmu pulang dan pergi. Sudah sukur dikasih tempat tinggal, dipelihara, eh... malah enak enakan keluyuran, mana tidak bawah uang lagi."
Hinaan demi hinaan setiap hari Liliana dapatkan, kerap melakukan penyiksaan fisik. Kata kata pedas dari bibinya sudah menjadi makanannya setiap hari.
"Hari ini kamu mencuci. Habis itu memasak sana, perutku lapar."
Sambil menghela nafas panjang Liliana menjawab. "Tapi bi, hari ini aku ingin antar persyaratan kuliahku."
"Tidak ada tapi tapian. Cepat, kamu kerjakan dan masak sana. Hari ini kamu tidak boleh keluar rumah. Ribet amat sih, pake acara kuliah segala memangnya kamu punya duit ? Untuk biaya makan saja kita harus ngutang." Gerutu bibi Astrid.
Sepanjang hari Liliana hanya bekerja mengerjakan semua tugasnya mulai dari mencuci, memasak, menyetrika pakaian, setelah itu membersihkan rumah.
Kruuuuk...Kruuuuk....
Perut Liliana berbunyi, tanda lapar. Seharian bekerja membuatnya merasa lapar, karena sudah selesai, ia memberanikan diri mengambil satu buah piring untuk nasi dan ikan goreng saos yang dibuatnya.
"Liliana... Siapa yang menyuruhmu untuk makan, hari ini tidak ada makanan untukmu. Kau tidak boleh makan makanannya sebelum aku dan suamiku makan." Teriak bi Astrid dengan geram dan menumpahkan nasi dikepalanya.
"Hahaha... Rasain tuh, ganjaran buat kamu. Punggut nasinya satu persatu dan makan saja. Awas ya, kalau kamu berani ambil nasi lagi."
Selesai membersihkan makanan yang ditumpahkan bibinya, Liliana masuk kekamarnya, ia bersedih meratapi nasib hidupnya.
"Pa, aku capek ngurusian anak bodoh itu. Utangku makin banyak dan sudah menumpuk diwarung. Tiap hari ada ada saja yang datang menagih utang, karena papa selalu saja bermain judi, menghabiskan banyak uang." Ucap Astrid dengan kesal.
"Ma, ma... Kamu jangan begitu, papa punya ide, bagaimana kalau kita tumbalkan saja Liliana. Menikahkannya dengan penguasa gaib. Kita minta bantuan Dukun Maacik, agar kita bisa cepat kaya raya."
"Tapi pa, Dukun Maacik sangat menakutkan, wajahnya sangat seram. Aku sangat takut."
"Ya, mama kok gitu, dengan kekuatan gaibnya Maacik bisa membantu kita mendapatkan uang yang banyak ma. Dulu juga Almarhum papa dan mamanya Liliana di bantu Maacik saat menikah. Mama ingat kan kejadian itu ?"
"Selagi menguntungkan aku sih setuju saja papa. Bagaimana kalau malam ini saja kita paksa dia menikah, papa cepat kabari dukun kampung itu."
"Setuju aku sangat setuju"
Plaaak...
Satu tamparan keras dari pamannya tepat mengenai pipi Liliana.
"Ampuuun paman, ampun...
Hiks... Hiks... Hiks...." Ketika Liliana masuk kedalam rumah, paman Alton memaki, menampar dan menedang seenaknya.
"Dari mana saja kamu, kepalaku pusing melihatmu tidak bawah uang Liliana, masih untung kami menampung dan menghidupimu."
"Ma... Ma... Maafkan Liliana paman. "
"Kami akan memaafkanmu jika kau mau membantu kami. Malam ini, kau harus menikah dengan seorang lelaki pilihan kami Liliana. Kau tidak boleh menolaknya karena hidupmu dirumah ini telah membawa banyak beban untuk kami."
Mendengar kata pernikahan yang di ucapkan paman Alton, gadis malang itu tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa. Ia hanya gemetaran merintih menahan rasa sakit yang kini melanda dirinya, sembari menahan ketakutannya.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan. Sekarang pergi ke kamarmu dan bersiaplah."
Takdir mempermainkan hidupnya, dimana seorang gadis sepertinya bisa memilih pasangan hidupnya. Tetapi tidak dengannya, dengan terpaksa harus menyetujui permintaan Paman dan bibinya.
Liliana hanya bisa duduk pasrah di depan sebuah cermin kecil yang sudah retak. Bulir bening kembali menghiasi wajah cantiknya. Kalung giok kuning yang dipakainya kini di peganginya.
"Ibu... Aku tidak perna melihat sosok seorang ibu. Hari ini aku akan menikah. Semoga kau tenang dan bahagia disana bersama Ayah." Kata paman dan bibinya kalung giok kuning itu adalah peninggalan berharga satu satunya milik ibunya.
Liliana kebingungan akan memakai gaun yang mana. Pakaiannya, tidak ada yang istimewa. Semuanya sudah usang, hanya bekas dan ada yang sudah sobek.
"Ini gaun nya Liliana, kamu pakai gaun kuning ini. Biar bibi yang membantumu merias wajah, bibi sudah membawa riasan wajah." Tenang dan lembut tak ada kata kata kasar dari ucapan bibinya. Liliana terharu, karena ini kali pertama ia mendengar bibi berbicara pelan dengannya.
Setelah selesai paman dan bibi juga kompak mengenakan pakaian serba hitam. Sekilas Liliana merasa ragu, namun ditepisnya. Kebahagian paman dan bibi itu lebih penting.
Drap ! Drap ! Drap !
Bunyi Langkah kaki memecah keheningan malam, saat kutatapi wajah paman dan bibi yang begitu bahagia, menyambut kedatangan orang orang pembawa kereta yang berpakaian serba hitam.
Kuda membawa kereta datang menjemput. Di sana sudah terlihat ada Dukun Maacik yang akan melaksanakan ritual upacara pernikahan.
Liliana masuk ke kereta kuda emas. Sedang paman dan bibi berada di kuda yang lain mengikuti jalannya kereta. Kembali ia mengenang nasibnya yang malang.
"Entah akan seperti apa, kehidupan seperti apakah ini ?
Siapa sesungguhnya lelaki pilihan paman dan bibinya ?
Dimana semua warga ?
Kenapa tidak ada orang yang aku kenali ?"
Tanya dan tanya hinggap menyelimuti hatinya. Sejenak ia merasa ada yang aneh. Ini bukan seperti pesta di Kotanya, layaknya mempelai pria datang ke calon mempelai wanitanya. Ini seperti pembawa keranda mayat berpakaian hitam di tengah malam buta.
Sunyi dan dingin malam membuat sekujur tubuh Liliana kedinginan. Perasaan takut mulai menghinggapi. Hanya derap langkah kaki kuda berjalan beriringan terdengar memecah keheningan malam.
Saat melewati bebatuan, jalanan yang licin dan becek, pohon pohon rindang, suara jangkrik dan burung hantu, terdengar bersahut sahutan sangat memilukan hati siapa saja yang mendengar.
Suasana semakin mencekam, di depan rombongan mulai terdengar suara Dukun Maacik yang mulutnya komat kamit seperti sedang membacakan sebuah doa mantra sihirnya.
Saat Liliana coba mengintip, wajah wajah seram samar terlihat dalam bayangan malam. Tiba tiba saja kereta terhenti di depan sebuah pegunungan tinggi.
Alunan suara dari mulut Dukun wanita mulai meninggi, mereka memasuki sebuah goa. Lilin lilin kecil yang di pajang setiap sudut mulai menerangi gelapnya goa.
Tibalah mereka disebuah tempat beralaskan dipan. Seperti tempat pemujaan. Patung patung manusia berjejer disana.
"Tempat apa ini, hanya sebuah goa." Tanya Liliana dalam hatinya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Kaka
makasih sudah kasih penumpang
2023-01-03
0
Harniah Harny
paman yang kejam..
2022-11-08
0
Maya●●●
aku mmpir kak
2022-11-08
0