Pelarian

"Seorang gadis?" Tanya seorang wanita.

Wanita itu mengenakan gaun mewah berwarna merah, dengan renda hitam di bagian dada dan juga serpihan emas di ujung roknya, serta jubah berwarna emas, terletak di bahunya dan memanjang sejauh 3 meter. Dia juga mengenakan mantel bulu di bagian lengannya dan topeng hitam yang menutupi seluruh wajahnya. Orang-orang menyebutnya Ratu Selatan.

"Benar, Yang Mulia" jawab seorang pria.

Pria itu berusia 50 tahun. Memiliki kumis dan janggut. Menggunakan baju Zirah. Dia adalah salah satu Ksatria.

"Bawa gadis itu padaku, dan bersihkan sisanya" ucap sang Ratu.

"Baik, Yang Mulia"

...***...

Malam yang semakin dingin. Bulan yang sesekali tertutupi awan tebal yang lewat. Arcilla merasa sedih. Dia teringat kedua orangtuanya, mereka pasti menghawatirkannya. Tapi, dia hanya diam, berdiri di pinggir hutan yang lebat. Tidak bisa melakukan apapun.

Carl yang menunggu jawaban dari wanita di hadapannya juga merasa cemas. Dia melihat kesedihan di mata gadis itu, tapi tidak bisa berbuat apapun.

Di saat keheningan melingkari keduanya. Suara kaki kuda mulai terdengar, bukan hanya satu, tetapi puluhan suara kaki kuda. Mendekat ke arah perkampungan.

Carl memegang tangan Arcilla. "Kita harus pergi! Mereka pasti sudah mengetahui keberadaanmu!"

Arcilla merasa bingung sekaligus panik. Dia juga mendengar suara yang semakin keras. Dia mengikuti Carl menaiki kuda.

"Ada apa? Apa yang terjadi?" Tanya Arcilla.

"Ksatria Selatan! Mereka sedang mencarimu!"

"Bagaimana mereka tahu tentangku?"

"Pasti ada salah satu mata-mata di kampung ini. Kita harus segera pergi" jawab Carl.

Saat Carl hendak memacu kudanya.

"Tunggu!" ucap Arcilla.

"Ada apa?"

"Apa mereka semua akan mati?"

"Kita tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain" jawab Carl.

"Tidak! Bagaimana dengan Bibi Edhna dan Seli??" Tanya Arcilla dengan cemas.

Carl melihat sekelompok orang yang datang mendekat. Walaupun orang itu belum melihat keberadaan mereka.

"Kita harus pergi!" Ucap Carl. Dia menarik Cemeti dan kuda pun langsung setengah berlari memasuki hutan.

Arcilla sempat ingin menahannya, tapi tenaga pria itu jauh lebih besar. Hingga akhirnya dia menyerah dan mereka berjalan masuk ke dalam hutan.

"Wanita tua itu dan anaknya bukanlah orang biasa. Mereka pasti bisa menghindari kekacauan itu dengan mudah" ucap Carl.

Arcilla hanya diam. Dia memandangi jalanan di tengah hutan dengan tatapan kosong, lagi pula, hutan itu sangat gelap dan tidak terlihat apapun. Mereka seperti meraba di tengah kegelapan dan hanya menggunakan insting dari kuda yang di tunggangi.

"Apa kamu tidak punya senter?" Tanya Arcilla.

"Senter? Apa itu?"

"Benda yang bisa mengeluarkan cahaya. Masa kamu tidak tahu? Walaupun sudah jarang, karena biasanya orang-orang menggunakan senter dari ponsel, tapi benda itu masih ada"

"Oh, maksudmu batu kristal? Sepertinya aku membawanya satu" ucap Carl sambil mengambil sesuatu di balik bajunya.

"Batu kristal?"

"Iya. Aku tidak tahu kalau di tempatmu namanya senter. Atau apa tadi, ah! Pansel?"

Arcilla mengernyitkan alisnya. Dia lupa kalau saat ini dia berada di dunia yang berbeda.

"Cepat keluarkan benda itu. Gelap sekali disini. Mata ku lelah melotot terus"

Saat Carl mengeluarkan sesuatu dari sebuah kain yang membungkusnya, batu itu bercahaya terang berwarna putih keemasan, menyinari sekitar hutan dengan cahaya lembut.

Arcilla terpesona dengan cahaya yang di keluarkan batu itu.

"Sebenarnya, kita akan lebih menarik perhatian jika menggunakan batu ini" ucap Carl.

Arcilla kaget. Dia langsung mengambil kain di tangan Carl dan kembali membungkus batu itu.

"Kenapa tidak bilang?" Tanya Arcilla kesal.

"Kamu tidak bertanya"

Benar saja. Tak lama kemudian, terdengar suara keras di sekitar mereka.

"Apa itu?!?" Tanya Arcilla kaget.

"Entahlah. Mungkin seekor hewan besar yang tertarik dengan cahaya, namun kehilangan kendali karena gelap, lalu dia menabrak pohon besar di hadapannya atau hewan lain yang lewat" jawab Carl seadanya.

Carl pun mengeluarkan batu kristal itu lagi. Menerangi sekitar.

"Kenapa di keluarkan lagi?" Arcilla mencoba untuk meraih batu itu.

"Tidak apa. Kita gunakan ini untuk menemukan jalan keluar"

"Tapi, bagaimana kalau hewan-hewan itu menyerang kita?" Tanya Arcilla.

"Lebih baik saat kita bisa melihat hewan yang ingin menyerang, daripada di terkam mereka secara tiba-tiba. Karena ada sebagian binatang yang bisa melihat di kegelapan" jawab Carl.

"Ohh... yaaa, kamu benar" Arcilla memukul kepalanya sendiri. Dia merasa bodoh. Padahal hewan-hewan di dunia ini tidak jauh berbeda dengan hewan di dunia sebelumnya.

Kuda yang mereka tunggangi berjalan pelan menelusuri jalan hutan. Melewati tanaman liar dan pohon-pohon besar. Berusaha untuk mencari jalan keluar. Walaupun, cahaya dari lampu terus bersinar, tidak ada seekor hewan pun yang mendekati, apalagi menyerang mereka. Suasana terasa sunyi dan tenang.

Arcilla merasa sangat lelah dan tertidur di dalam perjalanan. Sementara itu, Carl terus memperhatikan jalan dan menahan tubuh Arcilla agar tidak terjatuh.

"Aneh. Tidak biasanya setenang ini. Pasti ada saja hewan yang menyerang, tapi kali ini tidak. Apa karena wanita ini?" Pikir Carl.

"Tidak mungkin. Ini pasti karena mereka takut padaku. Selama ini aku sudah menghabisi banyak hewan buas di daerah ini. Mereka tidak berani keluar karena takut ku bunuh, hehe" ucap Carl.

...***...

Perkampungan yang tenang menjadi hancur.

Laki-laki dan wanita berlarian ke sembarang arah, mencari perlindungan. Jeritan dan tangis terdengar menyakitkan. Anak-anak kecil mencari orangtuanya, orangtua mencari anaknya, semua berada dalam perasaan takut. Mencekam.

Prajurit berkuda. Berjumlah lebih dari lima puluh orang memporak-porandakan permukiman itu. Mereka menghancurkan setiap rumah lalu membakarnya. Juga membunuh setiap penghuninya. Pembataian di tengah malam.

"Jangan ada yang tersisa. Mereka telah melihat sebuah kutukan. Mereka sudah di kutuk. Semua harus mati!!!" Teriak salah seorang dari prajurit.

Pembantaian malam itu tidak di ketahui siapa pun. Mereka yang melihat semburat api dari kejauhan hanya mengira bahwa kampung itu telah di kutuk. Tidak ada yang berani mendekati kampung yang sedang mengalami pembasmian. Tidak ada pertolongan dari pihak mana pun.

Carl yang melihat cahaya terang dan asap hitam dari kejauhan, hanya bisa menghela napas. Dia merasa sedih karena tidak bisa melakukan apapun. Dia merasa egois karena hanya menyelamatkan dirinya sendiri.

"Ratusan orang mati dalam semalam. Jika terus begini, tidak akan ada kehidupan lagi di dunia"

Carl berhasil keluar dari hutan. Dia berjalan menuju suatu tempat. Arcilla masih tertidur dan Carl terus memperhatikannya, memastikan agar wanita itu nyaman. Tapi, tak lama kemudian Arcilla tersadar.

"Kita dimana?" Tanya Arcilla.

"Yang penting kita sudah keluar dari hutan"

Arcilla menegakkan badannya dan memperhatikan jalan di depannya.

"Kamu tukang tidur ya? Tanganku sakit sekali. Bisa-bisanya kamu tidur di saat begini? Apa kamu tidak tahu sudah berapa banyak hewan buas yang ingin menyerangmu?!?" Tanya Carl dengan kesal.

"Maaf. Aku ketiduran. Apa kamu baik-baik saja?"

"Ya, aku cukup mudah menanganinya"

"Tapi, bagaimana kamu melawan hewan-hewan itu?" Tanya Arcilla.

"Kamu tidak perlu tahu. Lagipula, kamu tidak akan mengerti"

"Aku tidak akan bertanya lagi" ucap Arcilla dengan rasa bersalah.

"Bagus. Sekarang kita sedang di perjalanan menuju kawasan gurun, menuju desa Purpulian" ucap Carl.

Bulan purnama seolah mengikuti kemana pun mereka pergi, menyinari sekitar jalan yang di lewati.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!