Sepanjang perjalanan, Tama merasa sangat bersyukur. Semoga saja untuk kali ini, anaknya Dokter Tendean bisa menjadi Ibu Susu untuk Tama. Perihal upah atau gaji, bukan menjadi masalah bagi Tama. Sebab, gajinya sendiri sebagai staf IT di perusahan besar tentu membuatnya mendapatkan penghasilan dua digit setiap bulannya. Untuk memberikan nutrisi melalui ASI yang terbaik bagi Citra, Tama akan berupaya melakukan apa pun yang dia bisa.
Perjalan dari rumah menuju kediaman Dokter Tendean pun ditempuh Tama tanpa ada kendala. Terlebih memang jarak tempat tinggal mereka yang tidak terlampau jauh, sehingga hanya membutuhkan waktu belasan menit bagi Tama untuk tiba di lokasi itu.
“Permisi,” salam dari Tama begitu tiba di kediaman mewah milik Dokter Tendean. Sebenarnya, Tama merasa grogi karena dia belum pernah bertemu dengan Dokter Tendean sebelumnya. Hanya dua kali berbicara melalui panggilan telepon saja.
“Ya, silakan masuk.” Terdengar sahutan suara dari dalam rumah. Seorang pria berusia paruh baya dengan menggunakan kacamata yang membukakan pintu bagi Tama.
“Selamat pagi, perkenalkan saya Tama,” ucap Tama memperkenalkan dirinya.
“Oh, ya kerabatnya Dokter Bisma yah? Mari masuk, Tama.”
Tama pun memasuki rumah mewah dengan ukuran yang begitu besar dan didominasi warna putih itu. Rumah yang indah dan luas tentunya. Tama kemudian mengikuti Dokter Tendean untuk duduk di sofa yang berada di ruang tamu.
“Jadi, kenapa Tama ini kok membutuhkan Ibu ASI?” tanya Dokter Tendean.
“Iya, Dok … semua itu karena istri saya yang berpulang ke Rahmatullah beberapa jam setelah dirinya melahirkan putri saya. Pendarahan post partum yang sangat hebat kala itu,” jelas Tama.
Ya Tuhan, kembali menceritakan bagaimana kepergian Cellia membuat hati Tama terasa begitu sesak. Akan tetapi, Tama memang harus memberikan jawaban kenapa putrinya membutuhkan Ibu Susu. Selain tidak memiliki seorang Ibu yang merupakan sumber penghasil ASI, Citra juga intoleransi terhadap susu sapi. Sehingga, memang Citra membutuhkan ASI.
“Sudah berapa lama?” tanya Dokter Tendean lagi.
“Mungkin sudah 17 hari ini, Dok,” balas Tama. Wajahnya tiba-tiba saja terlihat sendu. Tidak mengira sudah 17 hari lamanya, Cellia meninggalkannya dan juga Citra.
“Hampir berdekatan dengan putri saya. Ini 10 hari bayinya tiada. Sindrom Kematian Bayi Mendadak, membuat putri saya kehilangan bayinya,” jelas Dokter Tendean.
Sindrom kematian bayi mendadak atau Sudden Infant Death Syndrome biasanya terjadi pada bayi yang berusia kurang dari satu tahun dan dalam kondisi sehat, tiba-tiba meninggal saat dia tidur tanpa diketahui penyebabnya.
"Saya turut berdukacita dan bersimpati, Dok," ucap Tama dengan tulus.
Dokter Tendean pun menganggukkan kepalanya, "Iya ... kala itu memang si baby lahir dengan berat badan rendah, selain itu Dokter sebelumnya mengatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan rendah cenderung memiliki otak yang belum matang, sehingga bayi kurang memiliki kendali atas pernapasan dan detak jantungnya. Ya, karena kehilangan tanpa sebab dan mendadak itulah, putri saya merasa terluka," jelas Dokter Tendean.
Setidaknya sang Ayah menjelaskan terlebih dahulu kondisi apa yang dialami oleh putrinya. Kehilangan buah hati seolah membuat hari-hari yang dijalani putrinya berselimut mendung, hari-harinya penuh duka, senyuman pun hilang dari wajah cantik putrinya.
"Baiklah, itu cerita dari putri saya ... biar saya panggilkan putri saya dulu. Tama tunggu di sini saja ya," ucap Dokter Tendean yang berlalu dari ruang tamu. Pria paruh baya itu sedikit mengucek matanya dan mengenakan kembali kacamatanya.
Selang beberapa menit, dari anak tangga turunlah Dokter Tendean bersama putrinya. Wanita muda yang saat itu mengenakan kemeja berwarna hitam dan celana jeans hitam. Wanita berparas ayu, tetapi terlihat sayu. Keduanya berjalan menuruni anak tangga dan menghampiri Tama.
“Tama, kenalkan … ini putri saya, Anaya,” ucap Dokter Tendean.
Tama terkejut. Kedua matanya membelalak, menunjukkan raut wajah yang seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Sebab, Tama mengenal Anaya.
“Ttt … Tama,” ucapnya dengan mengulurkan tangannya kepada Anaya.
Pun sama dengan Anaya, yang tak mengira akan kembali bertemu dengan Tama. Setelah kurang lebih waktu empat tahun berlalu. Kini, dia justru kembali dipertemukan dengan Tama. Rasanya seakan tak terpercaya, tetapi ini nyata adanya.
“Anaya,” balasnya dengan menjabat tangan Tama.
“Ya sudah, kalian boleh berangkat. Saya juga akan bersiap-siap ke Rumah Sakit. Aya, nanti kalau ingin pulang telepon Ayah saja yah … Ayah yang akan menjemput kamu nanti malam,” pesan dari Dokter Tendean kepada putrinya.
“Iya Ayah … Aya berangkat dulu,” ucapnya dengan berpamitan kepada sang Ayah.
Tama pun juga berpamitan, dia menghela nafas panjang begitu sudah sampai di mobil bersama dengan Anaya. Tidak mengira bahwa Anaya pun mengalami kisah yang pahit dalam hidupnya.
Sepanjang perjalanan pun keduanya sama-sama diam. Lebih tepatnya canggung, bertemu kembali dengan orang dari masa lalu, dan juga dengan situasi pedih yang kini sama-sama dirasakan keduanya memang tidaklah mudah.
Sehingga dari kediaman Anaya sampai ke rumah Tama, keduanya sama-sama diam. Barulah ketika mobil berhenti, Tama bersuara kepada Anaya.
“Ini rumahku, Ay … mari masuk,” ucapnya.
Anaya menganggukkan kepalanya dan mengekori Tama untuk masuk ke dalam rumahnya. Mungkin karena hari juga masih pagi, sehingga Mama Rina sedang menjemur Citra di luar. Kebetulan hari ini Citra bangun lebih siang. Mungkin karena obat yang harus diminumnya sehingga membuatnya tertidur karena pengaruh obat, atau kembali mendapatkan ASIP sehingga saluran cernanya menjadi lebih baik.
“Mama, kenalin … dia Anaya,” ucap Tama yang memperkenalkan wanita muda yang begitu cantik itu kepada Mama Rina.
“Kenalin, saya Mamanya Tama,” sapa Mama Rina.
Anaya pun berjabat tangan kepada Mama Rina, kemudian wanita itu menundukkan kepalanya dan tersenyum, “Saya Anaya, Tante,” balasnya.
Pandangan mata Anaya kini berpindah kepada Citra yang kala itu sedang dijemur. Rasanya terasa haru melihat bayi kecil dengan kulitnya yang terdapat beberapa ruam di sana. Bayi mungil dan cantik.
“Babynya cantik banget … siapa namanya?” tanya Anaya dengan lembut.
“Namanya Citra,” sahut Mama Rina.
“Namanya juga bagus,” balas Anaya.
Ya Tuhan, hanya sebatas melihat bayi saja dada Anaya rasanya begitu sesak. Teringat dengan malaikat kecilnya yang kini sudah berada di surga bersama Yang Kuasa. Sepuluh hari yang lalu, usai dilahirkan Anaya masih sempat menggendong dan menciumnya. Namun, sudah sepuluh hari dia menjalani hari yang sangat berat. Hari-hari berselimut mendung yang membuat hancur, benar-benar patah hati.
“Nanti kenalan sama Onty Anaya ya Citra,” balas Mama Rina.
Rupanya Anaya pun mengulurkan tangannya, dan berinisiatif untuk menggendong Citra. “Boleh saya gendong?” tanyanya dengan sopan.
“Iya boleh … cuma ini Citra belum mandi loh, baru selesai dijemur,” balas Mama Rina.
“Tidak apa-apa Tante … bayi selalu wangi dengan aromanya yang khas,” balas Anaya.
Wanita muda yang usia baru menginjak 26 tahun itu terlihat padu saat menggendong Citra dengan tangannya. Mama Rina pun berharap kali ini Anaya akan menjadi Ibu Susu yang baik untuk cucunya, Citra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 302 Episodes
Comments
Ibnu Rizqi
senengnya dalam hati....oye..dapat ibu susuan ...itu kata Citra loh...he...he
2025-01-04
1
Banu Tyroni
wah.. makin asyik saja alur ceritanya
2024-09-25
0
Farida Wahyuni
belum diceritain suami anaya kemana
2023-04-11
0