Kami pamit pada perempuan tua itu. Mas Agung kelihatan sangat marah, mulutnya terkatup dan terdengar gemeletuk gigi-giginya. Kami pun berjalan menuju mobil. Di dalam mobil, mas Agung mencoba menghubungi nomor telpon mba Vita.
'Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jaringan' terdengar suara dari operator selluler yang menjawab panggilan.
"Brengsek! Mau lari kemana lagi perempuan itu?" gumam mas Agung pelan tapi penuh amarah.
"Sabar mas, nanti kita cari lagi ya?" ucapku berusaha meredakan emosi suamiku.
"Kenapa semalam tidak kamu biarkan mas membunuh perempuan itu sayang?" tanya mas Agung padaku. Aku kaget mendengar pertanyaan yang aneh itu.
"Apa dengan membunuhnya terus masalah jadi selesai mas? Kalau mas masuk penjara, terus aku dan anak-anak gimana? Jangan ngaco kamu mas" jawabku tegas.
Memang perempuan seperti mba Vita gak layak hidup, tapi gak harus di bunuh juga kan? Emang nyamuk apa? Main bunuh aja.
"Sekarang kita mau kemana lagi ini mas?" tanyaku.
"Mas belum tau sayang, pusing" jawab mas Agung. Ya pastilah. Siapa sih yang gak pusing punya mantan kayak gitu? Eh aku juga punya mantan lho, tapi mantan kekasih. Ups...kok aku jadi inget mantan. Skip...skip.
"Gimana kalau kita pulang ke rumah dulu aja mas? Kita tunggu kabar selanjutnya" usulku. Mas Agung menatapku sambil terus menyetir mobilnya. Seperti meminta penjelasan lebih lanjut.
"Mas..bagaimanapun mba Vita itu kan mamanya Risa, gak mungkin kan dia mencelakai anaknya sendiri? Kalau soal sekolahnya Risa, besok kita bisa mintakan ijin. Toh mereka udah tau permasalahannya" widiihh sok bijak banget ya aku? Padahal dalam hati kepingin tuh mbejek-mbejek mantan istri suamiku.
"Percaya deh sama aku, besok atau kapan, pasti dia akan kasih kabar ke mas, ya?" ucapku lagi sambil menatap suamiku yang paling ganteng sekampung, dari samping.
"Ok deh, kita pulang. Tapi sebelum ke rumah, kita jemput Rega dulu ya di rumah ibu?" ajak mas Agung.
"Iya mas, terserah mas aja" jawabku. Kami pun kembali tenggelam dengan pikiran masing-masing.
-----------------------------------------
Setelah hampir 3 jam, kami tiba di kampung kami. Memasuki kampung ini rasanya tenang, nyaman. Aku di lahirkan dan dibesarkan disini. Teringat masa-masa kecilku yang indah, bermain berlarian dengan teman sebaya. Jalanan masih berupa jalan tanah, belum banyak yang di aspal, kecuali jalan utama.
Rumah-rumah masih belum sepadat sekarang. Masih banyak pekarangan tempat kami main petak umpet. Menyenangkan sekali.
"Kok ngelamun, ngelamunin siapa hayo?" suara mas Agung mengagetkanku yang lagi asik mengenang masa kecilku.
"Eh, enggak ngelamunin siapa-siapa. Lagi inget masa kecilku aja dulu, lari-larian sepanjang jalan ini sama temen-temenku. Sekarang mereka udah banyak yang pindah ke kota atau kampung lain" jawabku jujur.
"Kamu asli sini kok ya sayang?" tanya mas Agung.
"Iya mas, aku dilahirkan dan di besarkan di kampung ini" jawabku. Kalau mas Agung berasal dari kampung sebelah, cuma dia punya usaha bengkel di kampungku, dan sukses. Bengkelnya semakin maju dan semakin besar. Lalu dia juga membangun rumah yang lumayan besar di sini.
Tak berapa lama kami memasuki kampung, sampailah di depan rumah kami. Ya, rumah mas Agung memang dipinggir jalan utama dan tidak terlalu jauh masuknya. Beda dengan rumah orang tuaku yang ada di tengah kampung.
"Ayo kita turun, apa masih mau melamun terus di mobil?" tanya mas Agung. Aku terdiam, seperti ada yang salah dengan kami.
"Sebentar mas, bukannya kita mau jemput Rega dulu ya? Kok malah langsung pulang?" tanyaku. Mas Agung menepuk keningnya.
"Astaghfirullah, kenapa mas jadi pikun gini ya? Kamu sih dari tadi ngelamun terus, jadi lupa deh" ucap mas Agung.
"Kok nyalahin aku sih mas? Kan mas yang bawa kendaraan?" jawabku gak mau di salahkan.
"Kalau kamu gak ngelamun terus kan bisa ngingetin mas sayaang" ucap mas Agung ngeles. Aku tepok jidat...capedeeh.
"Ya udah nanti sorean aja kita jemputnya, udah nanggung juga sampe rumah. Yuk turun sayang. Apa mau di gendong?" ajak mas Agung sambil menggodaku.
"Ih apaan sih" kataku malu-malu. Kamipun turun dan segera memasuki rumah.
Sampai di dalam rumah, kami menghempaskan badan di sofa ruang tengah. Capek tiada tara rasanya. Bi Siti yang melihat kedatangan kamipun sigap, menawari kami minuman dingin. Tentu saja kami tidak menolaknya.
Dua gelas minuman dingin dan sepiring kue bolu, di bawa ke depan kami. Lalu dia berlalu pergi ke dapur lagi.
Kakiku terasa masih kesemutan karena terlalu lama duduk di dalam mobil. Mas Agung yang tau hal itu, berinisiatif memijit kakiku. Alhamdulillah Ya Allah, aku di anugerahi suami yang sangat pengertian.
Gak rugi aku menjomblo hampir lima tahun, kalau dapetnya suami sebaik suamiku ini. Jadi makin cinta deh. Apa benar aku udah mulai mencintai suamiku? Atau hanya rasa nyaman saja? Entahlah.
Dia begitu baik, lembut, pengertian dan sabar. Makanya aku begitu kaget saat dia menunjukan kemarahannya kepada mantannya. Ingat hal itu bikin aku jadi sedih lagi. Sakit banget hatiku di katai sebagai pelakor.
"Yaa...ngelamun lagi dia" ucap mas Agung sambil terus memijit kakiku. "Ngelamunin apa lagi sih sayang, kok sampai cemberut gitu. Ntar cantiknya ilang lho" lanjut mas Agung lagi.
"Gapapa mas. Capek aja" jawabku menutupi kesedihanku.
"Mas tau kamu pasti masih kepikiran omongan Vita kan? Lupain aja sayang, dia emang gila. Jangan masukin di hati ya?" ucap mas Agung berusaha menghiburku.
Aku mengangguk. Walaupun dalam hati belum bisa melupakan kata-kata itu. Apalagi penolakan dari Risa, semakin membuat hatiku terluka. Sakitnya tuh disini.
"Mas, gimana kalau Risa benar-benar membenciku?" tanyaku pelan.
"Enggak sayang, itu cuma pengaruh dari Vita aja yang gak suka melihat kita bahagia. Nanti pelan-pelan kalau Risa udah kembali kesini, kita kasih pengertian. Mas yakin, kamu bisa meluluhkan hati Risa. Dia anak yang penurut kok. Percaya sama mas ya?" jawab mas Agung, berusaha membesarkan hatiku.
Akupun berharap demikian. Aku mau menerima mas Agung dan anak-anaknya sepenuh hatiku. Berusaha menyayangi mereka walaupun cuma anak sambungku. Aku ingin bahagia hidup diantara mereka. Aku ingin jadi istri dan ibu yang baik buat mereka.
Tiba-tiba ponsel mas Agung berbunyi. Ada pesan masuk. Dia membuka dan membaca pesan itu. Mas Agung terdiam beberapa saat.
"Ada apa mas?" tanyaku penasaran. Mas Agung memberikan ponselnya kepadaku, agar aku membacanya. Mba Vita meminta mas Agung menjemputnya dan Risa. Tapi dia maunya tanpa aku.
Deg... Akupun terdiam. Drama apalagi yang mau dimainkannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 150 Episodes
Comments