Pabrik terbakar sekitar 98%, hampir tak ada yang bisa di selamatkan. Pemadam kebakaran pun sudah pulang sejam yang lalu, orang-orang yang tadi berkerumun untuk melihat si jago merah yang melahap habis pabriknya, juga sudah mulai bubar satu persatu, hanya tinggal menyisakan beberapa orang saja yang sibuk merekam untuk dijadikan konten. Gavin tak memperdulikannya, mungkin nasib sialnya bisa menjadi keburuntungan untuk mereka, untuk menghasilkan pundi-pundi uang buat mereka.
Para karyawan pabrik, juga sudah banyak yang pulang, tetap di sana juga buat apa. Toh gak ada yang bisa di pekerjakan. Polisi yang hadir di sana juga sudah memberikan garis pembatas agar tidak terlalu mendekat. Polisi juga akan mencari tahu, penyebab kebakaran itu terjadi, untuk itu, Polisi mulai menjalankan tugasnya untuk mengumpulkan para saksi dan mencari bukti yang kuat untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. Apakah karena konsleting listrik, atau karena ada hal lainnya.
"Sarah kamu ke kantor naik taxi ya," ucap Gavin dengan suara lemahnya.
"Iya, Pak." jawab Sarah. Ia tak akan mungkin meminta Gavin mengantarkannya, terlebih Gavin adalah atasannya apalagi sekarang dia lagi banyak masalah. Sarah tau, Gavi mengalami kerugian yang tidak sedikit, walaupun ia memakai asuransi tetap saja, kerugiannya cukup banyak.
Gavin langsung pulang ke rumah diantar oleh Pak Arman. Sepanjang jalan, Gavin hanya bisa diam aja, Pak Arman pun tak mau buka suara. Ia hanya bisa mendoakan semoga masalah Gavin segera bisa di atasi. Bagaimanapun jika Gavin bangkrut, otomatis dirinya juga akan kehilangan pekerjaan. Begitupun dengan karyawan buruk pabrik.
Sesampai di rumah, Gavin langsung masuk kamarnya dan merebahkan tubuhnya di sana. Ia sendirian, kepalanya terasa pusing dan berat. Ia hanya memejamkan matanya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Sedangkan Hpnya terus saja berbunyi dari tadi. Namun tetap saja tak dia hiraukan. Ia butuh waktu sendiri untuk menenangkan hatinya yang kini sedang di landa banyak masalah.
Dua jam kemudian, Gavin mendengar suara mamanya yang memangil-manggil dirinya. Dengan rasa malas, ia beranjak dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar.
"Gavin, Ya Allah, Nak. Kamu gak papa?" tanya Vina-Mamanya Gavin, ia langsung memeluk Gavin yang sudah seperti orang tak bertenaga. Sedangkan papanya hanya bisa diam, ia juga ikut sedih atas apa yang menimpa putranya itu.
"Aku gak papa, Ma. Mama sama Papa kok bisa ada di sini?" tanya Gavin setelah Vina melepas pelukannya.
"Ya, setelah Papa dapat kabar pabrik kamu kebakaran, Mama dan Papa langsung ke sini. Papa juga sudah nelfon kamu, tapi gak di angkat," jawab Galang-Papanya Gavin.
"Iya, Pa. Dari tadi emang banyak yang nelfon, aku malas ngangkatnya," sahut Gavin, lalu mereka berjalan ke ruang tamu, agar enak ngobrolnya. Tak lupa Gavin meminta Bibi Ani buat membuatkan minuman dan camilan.
"Itu kenapa bisa kebakaran pabriknya?" tanya Galang, yang sudah duduk di kursi begitupun dengan Vina dan Gavin.
"Aku juga gak tau, Pa. Tadi aku ada rapat, terus aku dapat telfon, kalau pabrik kebakaran. Saat aku ke sana, apinya sudah membesar bahkan semuanya di lahap sampai tak tersisa." jawabnya lesu.
"Bagas kemana? Dia gak bantu kamu?" tanya Galang lagi sedangkan Vina memilih diam memperhatikan putranya itu yang seperti banyak beban.
"Bagas sudah resign, Pa," sahutnya membuat Galang melongo.
"Kenapa, bukannya dia sangat bertanggung jawab di siplin. Susah loh cari orang seperti Bagas yang jujur dan setia. Kamu juga sudah akrab dengannya sudah seperti sahabat. Kenapa dia tiba-tiba resign?" tanya Galang, yang merasa ada yang tidak beres di sini.
"Ada masalah antara aku dan Bagas, Pa."
"Masalah apa, pasti kamu kan yang memulai. Karena setau Papa, Bagas bukan tipe orang yang cari masalah," tuduh Galang.
"Pa, kok malah bela anak orang. Jangan nuduh gitu dong, anak kita lagi di landa masalah loh, malah di tuduh-tuduh kayak gitu," ucap Vina tak terima, putranya di salahkan. Bagaimanapun sebagai seorang Ibu, dia akan terus membela putranya itu.
"Siapa yang nuduh, Ma. Papa yang ngomong sesuai fakta. Bagas itu anaknya sholeh, penurut, pekerja keras, di sipilin, bertanggung jawab, setia. Jadi gak mungkin tiba-tiba di resign, tanpa ada alasan yang jelas. Kalau masalahnya sepele, tak mungkin Bagas memilih resign, kecuali dia sudah kehilangan kesabarannya dan merasa tak nyaman dengan pekerjaan yang dia lakukan," ujar Galang, ia mengenal Bagas sudah lama, jadi tentu sedikit banyak, ia tau sikap Bagas. Apalagi Gavin, putranya sendiri. Ia pasti lebih tau.
Saat mereka berdebat Bibi Ani datang membawakan minuman dan makanan ringan. Lalu Bibi Ani menaruhnya di atas meja di hadapan mereka.
"Makasih, Bi," tutur Vina. Bibi Ani pun menganggukkan kepala dan segera pergi dari sana karena ia gak mau ikut campur permasalahan majikannya itu.
"Minum dulu, Ma, Pa. Biar rileks," ucap Gavin sambil mencoba mengalihkan perhatian. Galang dan Viina pun meminum jus buatan Bibi, lumayan untuk mendinginkan otak mereka yang sudah panas karena ulah Gavin.
"Oh ya, Anabelle mana. Kok dari tadi Mama gak lihat?" tanya Vina menanyakan pembantunya.
"Iya, kok perasaan dari tadi Anabelle gak keluar-keluar. Dia ada di mana, Gav?" tanya Galang, yang lagi-lagi merasa aneh, apalagi saat melihat Gavin semakin gugup.
"Jawab Gav. Istrimu di mana?" tanya Galang naik satu oktav.
"Anu Pa, istriku lagi liburan," jawabnya kaku.
Namun Galanga tak percaya begitu saja. Ia tau jika putranya kini tengah berbohong.
"Liburan kemana? Sudah berapa lama? Emang dia gak tau, kalau suaminya lagi kena musibah? Kenapa dia gak pulang?" tanya Galang dengan pertanyaan beruntun membuat Gavin benar-benar di landa kebingungan. Ia bingung harus menjawab gimana.
Vina menatap putranya yang sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Liburan ke rumah orang tuanya, Pa," jawabnya keceplosan.
"Okay, Papa akan telfon mertua kamu sekarang," ujarnya, namun Gavin langsung mencegahnya.
"Jangan, Pa," cegah Gavin.
"Kenapa?"
"Aku gak ingin mereka tau masalah aku."
"Tanpa Papa kasih taupun, mereka pastinya sudah tau, kalau pabrik kamu kebarakan, beritanya aja ada di tivi dan di semua sosial media. Sudahlah, jangan kamu halang-halangi," ujar Galang yang langsung menelfon besannya. Ia yakin, jika Gavin kini tengah berbohong padanya. Apalagi Gavin semakin terlihat gugup dan takut.
Gavin menatap papanya yang tengah menelfon mertuanya itu, ia merasa panas dingin di sekujur tubuhnya. Sedangkan Vina terus menatap ke arah putranya.
"Sebenarnya ada apa, Gav. Cerita sama Mama, biar Mama bantu kamu," tutur Vina lembut. Gavin gak bisa di kasarin, karena ia semakin takut. Berbeda jika di tanya secara lembut.
"Gak ada apa-apa, Ma," jawabnya masih berusaha untuk menyembunyikan apa yang terjadi.
Sedangkan Galang ia terus menelfon besannya itu, ia tak akan memaafkan Gavin, jika dirinya sudah berbohong padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments