Ketika mengintai seseorang, tak ada yang lebih membahagiakan selain cinta itu mendapatkan balasan.
Ada yang pernah berkata, "aku bahagia melihat kamu bahagia meskipun bukan dengan aku." Itu bohong.
Tidak ada kebahagiaan yang berasal dari kata melepaskan. Apalagi melepaskan dia untuk orang lain yang ternyata lebih dia cintai.
Belva tentu bahagia saat cintanya pada Gilang sudah terbalaskan. Tidak ada lagi yang bisa dia katakan untuk mengungkapkan kebahagiaannya saat pertama kali mendengar ucapan cinta dari bibir Gilang.
Bibir yang sudah menciumnya lekat beberapa menit yang lalu.
Dan ketika Gilang ingin mengulang adegan tadi, Belva justru menghindar dengan cara membenamkan kepalanya ke dalam air. Lalu berenang memutari tubuh Gilang dan keluar dari dalam air di belakang tubuh Gilang.
Gilang dibuat gemas oleh ulah Belva. Sedangkan Belva tertawa puas melihatnya.
Waktu sudah hampir Maghrib, tapi keduanya masih asyik berada di dalam kolam renang. Bahkan keduanya saling beradu kehebatan berenang memutari kolam yang bisa dibilang cukup luas jika hanya untuk pribadi saja.
***
"Aku pakai baju apa coba? Udah basah gini, nggak ada baju aku di sini, Kak," ucap Belva beberapa saat setelah keluar dari kolam.
Jangankan baju, handuk untuk mengeringkan tubuhnya saat ini pun tidak ada.
"Nggak usah pakai baju aja gimana, Bel?"
Belva melirik Gilang dengan sinis. "Itu, sih, maunya Kak Gilang."
"Tau aja kamu, Bel." Gilang tertawa renyah. Memberikan kode tersebut kepada Belva, barangkali dia peka dan malam ini benar-benar tidak memakai baju. Aish! Pikirannya sudah sampai sana saja om-om satu ini.
"Nggak ada handuk juga ini, Kak? Ya ampun, rumah kosong melompong gini, kok, udah mau ditempati aja. Minimal ada baju dululah biar nggak basah-basahan gini." Belva menggerutu kesal.
"Kamu bisa tenang dulu nggak, sih, Bel. Handuk ada di kamar atas. Baju kamu sebagian juga udah di sana."
"Kapan mindahinnya?"
"Tadi sianglah."
"Yang packing siapa?"
"Kakaklah."
"Berarti kakak lihat semua baju-baju aku, dong? Underwear dan lain sebagainya."
Gilang mengangguk tanpa sungkan. "Emangnya kenapa? Gantinya pakai yang warnanya sama, ya? Merah atau hitam gitu. Itu yang kemarin dibeliin sama Mikha juga udah kakak masukin semua ke sana. Dipakai, ya? Mubadzir udah dibeli, kok, nggak dipakai."
Belva membelalakkan kedua matanya. Sepertinya Belva sudah mulai paham kemana arah pembicaraan Gilang yang orangnya saja sudah masuk ke dalam rumah, dengan santainya menaiki tangga padahal baju basah kuyup dan air berceceran di lantai.
Tak punya pilihan lain, Belva segera menyusul Gilang. Tak peduli bahwa air yang berceceran semakin bertambah dari baju yang dia pakai.
***
"Ini semua gara-gara kakak."
"Kok, kakak, sih? Tadi siapa yang suruh larinya ke kolam? Kayak nggak pernah mandi aja."
"Ihhh!"
Belva tak bisa menutupi kekesalannya. Apalagi saat dia harus mengepel lantai yang dia injak bersama Gilang tadi saat bajunya masih basah kuyup.
Dimulai dari pintu masuk di dekat kolam renang, sampai di kamar mereka yang ada di lantai tiga. Sedikit kesal kenapa Gilang memilih lantai tiga untuk kamar utama mereka.
Rumah tersebut belum ada rencana untuk ditempati. Jadi belum ada asisten yang bisa membantu membersihkan rumah.
Hanya memanggil petugas home cleaning setiap tiga hari sekali sampai nanti rumah ini akan mereka tempati.
"Capek banget," keluh Belva setelah mereka selesai membereskan semua kekacauan akibat ulah mereka sendiri.
Seperti anak orang kaya lainnya, Belva juga tidak pernah memegang pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel. Apalagi memasak. Tau nama bumbu saja tidak. Tau bedanya kangkung sama bayam saja tidak karena memang Belva kurang menyukai sayuran.
"Kita jalan aja mau nggak?" Usul Gilang.
"Kemana? Capek tau."
"Kalau ini pasti bikin kamu nggak capek lagi."
"Mau kemana, sih, memangnya?"
"Belanja alat-alat rumah tangga. Furniture dan lain-lainnya. Rumahnya masih kosong begini cuma ada sofa satu set. Tempat tidur sama lemari juga baru di kamar kita aja."
"Ayo aja, sih, walaupun aku belum banyak ngerti alat rumah tangga apa yang dibutuhkan. Tapi kalau ada kakak yang lebih berpengalaman, aku nggak perlu takut salah beli, dong."
Keduanya lalu bersiap untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan terlengkap di Surabaya.
Jika soal belanja, tentu Belva merasa senang. Walaupun apa yang akan mereka beli kali ini adalah barang-barang yang belum pernah Belva beli sama sekali.
Dari mulai alat masak, tempat bumbu, kontainer penyimpanan makanan. Belva sama sekali tidak paham akan seperti itu.
Tapi Gilang tak masalah. Dia paham betul istrinya itu anak satu-satunya dari orang kaya. Segala sesuatu yang Belva inginkan bisa ada di depan mata dengan cepat tanpa Belva bersusah-payah mencarinya sendiri.
"Yang maroon, atau yang coklat muda. Kayaknya lebih cocok sama warna dindingnya, Kak," ucap Belva saat mereka tengah memilih sofa untuk ruang tamu rumah mereka.
"Nggak biru muda aja, Bel?"
"Nggak nyambung sama dindingnya."
"Oke. Bungkus yang ini," ucap Gilang.
Mereka beralih menuju ke bagian tempat tidur. "Yang di kamar kita mau diganti nggak, Bel?"
"Diganti yang kayak gimana?"
"Diganti yang lebih pas."
"Memang yang itu kurang pas, ya?"
"Kurang tinggi yang itu."
"Oh... Ya udah ganti aja. Kakak cari yang menurut kakak pas," balas Belva dengan polos. Sedangkan Gilang berusaha kuat untuk menahan senyum dan tawanya.
Belva masih belum paham "pas" di sini artinya apa. ( Yang paham tentu para readers )
Setelah selesai di bagian tempat tidur, lemari, elektronik dan alat-alat masak dan semua sudah dibayar lunas oleh Gilang, mereka berpindah tempat untuk belanja keperluan dapur dan kamar mandi.
Tidak banyak yang mereka beli. Secukupnya saja untuk stok mereka berdua selama tiga hari karena mereka akan tinggal di rumah itu sampai Gilang kembali lagi ke Jakarta.
"Belanja bahan begini yang mau masak siapa, Kak?"
"Kamu, dong."
"Ih, kok, aku? Kan, aku nggak bisa masak. Bedain garam sama micin aja aku nggak bisa."
"Terus kita makannya gimana?"
"Beli aja, sih, ngapain stok bahan segini banyak? Nggak dimasak malah sayang kalau busuk."
"Ya udah, deh. Terserah Tuan Putri aja gimana enaknya."
"Nah, gitu, dong. Balikin aja sayurannya. Beli buah aja. Makannya nanti kita go food. Orang kakak juga kerja, akunya kuliah. Gampanglah kalau soal makan."
Gilang mengangguk setuju. Dia kembalikan beberapa sayuran segar yang sudah sempat dia ambil. Lalu mengambil beberapa jenis buah yang diinginkan oleh Belva.
Hampir dua jam lamanya mereka berbelanja. Sebenarnya masih ada beberapa yang kurang. Tapi bisa diselesaikan besok-besok lagi. Kaki Belva sudah lelah. Perutnya juga sudah lapar. Lupa bahwa mereka berdua belum sempat makan malam.
"Kak, ini kita bisa makan dulu enggak? Aku lapar."
Mendengar ucapan Belva, Gilang teringat akan sesuatu. "Ya ampun, Bel!" ucap Gilang panik.
"Kenapa?"
"Kakak tadi udah nyiapin makanan di roof top. Semacam untuk ngedate berdua gitulah di roof top rumah sendiri. Kakak jadi lupa, kan, gara-gara nyebur ke kolam."
"Ya ampun... Kakak gimana, sih, bisa lupa? Dasar bapak-bapak tua, pelupa banget! Mana habis hujan lagi. Itu makanan gimana nasibnya?"
"Ya, jadi steak berkuah, dong. Lagian kenapa pakai bawa-bawa tua segala, sih?"
"Ya emang kak Gilang udah tua."
"Iya, deh, yang masih muda."
Mereka terdiam sesaat. Lalu secara bersamaan tawa keduanya berderai. Menertawakan kekonyolan mereka hari ini.
Tambah lagi pekerjaan mereka setelah ini. Membersihkan roof top dari meja, kursi dan makanan yang sudah diguyur hujan malam ini.
♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sukma Wati
mana ada orang bahagia melihat orang yg dicintai bahagia dgn orang lain yg ada itu sessek tp bukan asmah
2023-10-05
2
HIATUS
pas di anu🤭
2023-07-02
1
HIATUS
betulll itu kata kata munafikk,di awal akan merasa nyesekk tapi lama lama dah biasaa walau sedikit hekkkkk
2023-07-02
2