Gilang menatap Belva yang tertidur lelap berbantal tangannya. Sedangkan tangan satunya menyingkirkan helain rambut yang menutupi sebagian wajah Belva.
"Tidur gini aja masih cantik banget ini anak," gumamnya dalam hati.
Napasnya begitu teratur menandakan lelapnya Belva tertidur. Sampai Gilang menatapnya selekat itupun Belva tidak merasa.
Gilang mendekatkan wajahnya. Jantungnya bisa berdegup begitu kencang saat hembusan napas Belva menerpa wajah Gilang.
Perlahan, Gilang menempelkan bibirnya pada bibir Belva. Begitu lembut membuat Gilang tak ingin menjauhkan bibirnya kalau saja Belva tidak bergerak.
Tapi geraknya Belva membuat Gilang buru-buru menjauhkan wajahnya.
Bisa-bisanya Gilang bisa setakut ini saat menyentuh perempuan. Padahal istrinya sendiri. Dulu dengan Viona yang bukan istrinya saja Gilang bisa menyentuhnya kapanpun dia mau.
Melihat Belva yang kembali terlelap, Gilang bisa bernapas lega. Setidaknya ulahnya tadi tidak membuat Belva terbangun. Tapi bagian lain dari dalam dirinya sendiri yang justru terbangun.
Kalau sudah seperti ini, Gilang pusing sendiri dibuatnya. Sebisa mungkin Gilang harus meredamnya sendiri sampai "dia" tenang kembali.
Gilang menghembuskan nafasnya dengan sedikit kasar. Merutuki dirinya yang menjadi pengecut begini.
Apa susahnya tinggal merayu Belva? Memancing Belva untuk melakukan kewajibannya sebagai istri. Gilang rasa tidak akan susah jika dia mau mencobanya.
***
Belva tak tahu dia harus senang atau kesal saat Gilang mengantarnya kuliah. Pasalnya, Gilang tak hanya mengantarnya sampai depan fakultas. Tapi juga sampai di depan kelasnya.
Yang membuat Belva kesal adalah, tatapan para cewek yang melihat Gilang. Ada yang terang-terangan mengumbar senyuman. Ada yang berbisik ke Belva meminta nomor handphonenya karena mengira Gilang adalah kakaknya. Dan itu membuat Belva tidak suka.
"Kakak ngapain, sih, ngantar aku sampai kelas? Pengen banget dilihat cewek-cewek di sini? Mau tebar pesona apa gimana?" Belva bersungut kesal.
"Biar nggak ada yang berani deketin kamu, Bel."
"Emang kenapa? Lumayan, kan, buat hiburan kalau Kak Gilang lagi di Jakarta."
Mendengarnya, sontak Gilang melayangkan tatapan tajamnya ke arah Belva. Sedangkan Belva hanya meliriknya dengan cuek.
"Balik pulang, yuk. Nggak usah kuliah." Gilang sudah menggenggam erat tangan Belva dan mengajaknya berputar arah.
"Eh, apaan, sih, Kak? Jangan aneh-aneh, deh."
"Kamu yang aneh-aneh, Bel. Masa istri kayak gitu?"
"Yaelah, bercanda doang. Bapak-bapak sensitif amat."
Lagi-lagi Gilang menatap Belva dengan tajam mendengar dirinya dibilang bapak-bapak oleh istrinya sendiri. Ya memang jarak usia mereka sepuluh tahun banyaknya.
"Bapak-bapak begini kamu juga cinta kan, Bel?"
"Kalau aku, sih, emang dari dulu cinta. Nggak tau, deh, kalau bapak satu ini cinta sama aku apa enggak. Udah, Kak. Aku ke kelas dulu, ya. Hati-hati di jalan. Jangan lupa turun dari pesawat kalau sudah sampai di Jakarta nanti. Bye kakak sayang."
Belva langsung masuk ke dalam kelas tanpa menunggu Gilang membalas ucapannya. Bahkan Gilang juga belum berpamitan dengan banyak wejangan pada Belva.
Gilang merasa tersindir. "Nggak tau, deh, bapak satu ini cinta sama aku apa enggak." Ucapan Belva masih terngiang. Secara tidak langsung memang meminta Gilang untuk menyatakan cinta.
Pagi ini juga Gilang harus kembali ke Jakarta. Dasar orang kaya, ke Jakarta - Surabaya - Jakarta lagi mudahnya seperti orang ke kamar mandi saja.
Tidak peduli seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk biayanya sendiri. Apalagi alasan Gilang ke Surabaya hanya karena melihat Belva berganti baju di depan kamera.
Sampai di Surabaya juga dia diam saja. Belum memiliki nyali untuk mengajak Belva membuat anak yang akan menjadikan bapak-bapak satu ini menjadi bapak betulan.
🌻🌻🌻
"Hai, anak baru, ya?"
"Tadi yang ngantar kamu itu kakak kamu, ya?"
"Posesif banget kakak kamu. Aku mau, dong, diposesifin sama dia juga."
"Aku boleh minta nomor handphone dia, kan? Boleh, dong, masa nggak boleh, sih?"
"Dia belum nikah, kan? Masih jomblo, kan?"
Belva memandang satu persatu kakak tingkatnya yang menghampirinya di kantin. Mereka berjumlah lima orang. Dan masing-masing mereka menanyakan tentang Gilang semua.
Sebenarnya bukan hanya lima gadis di hadapannya saja yang sudah menanyakan soal Gilang pada dirinya. Meminta nomor handphone, minta untuk dikenalkan.
Awalnya Belva masih bersikap biasa saja. Tapi lama-lama akhirnya Belva merasa kesal juga mendengarnya. Risih, sekaligus cemburu. "Dasar om-om kegatelan!" umpatnya dalam hati.
"Dia udah punya istri," jawab Belva membuat mereka mendesah kecewa.
"Buat kakak adik'an, deh. Gemes banget diposesifin kayak kamu tadi. Boleh, ya, bagi nomornya?" Celetuk salah satu dari mereka.
Belva rasa dia adalah ketua gengnya. Penampilannya paling mencolok di antara yang lainnya.
"Nanti istrinya marah. Enggak, deh. Aku nggak berani, Kak."
"Yaelah... Pelit amat, sih. Dimintain kakak tingkatnya juga. Nggak sopan kamu!"
Belva menaikkan satu alisnya mendengar ucapan si ketua geng. Belva dan Rania saling bertatapan. Sepertinya isi kepala mereka sama.
"Udah, yuk. Males banget sama anak baru yang sok cantik ini. Orang sombong gini, kok, pada bilang baik sama cantik. Dilihat dari mananya coba?" ucap si ketua geng yang belum Belva ketahui namanya itu. Membuat Belva bertanya-tanya, siapa pula yang membicarakan dirinya di luar sana sampai si ketua geng ini bicara seperti itu?
Si ketua geng dan pasukannya sudah pergi meninggalkan Belva dan Rania. Tentu dengan gumaman-gumaman penuh dengan kekesalan karena tak mendapatkan nomor handphon Gilang.
"Itu orang kenapa, sih?"
"Itu orang kenapa, sih?" ucap Belva dan Rania secara bersamaan.
Belva dan Rania langsung menyemburkan tawanya meskipun sebisa mungkin ditahan agar tidak terdengar oleh geng yang menghampiri mereka tadi.
"Lagian itu siapa, sih, Bel? Katanya kamu anak tunggal. Kok, punya kakak? Kakak ketemu gede, ya?" tanya Rania membuat Belva terdiam.
Belva menggelengkan kepalanya. "Emang bukan kakak, sih."
"Terus?"
Belva terdiam sejenak. Bingung akan bercerita pada Rania atau tidak. Kalau sampai Rania tahu, bisa jadi dia akan bercerita pada papanya.
Dan papanya akan cerita pada teman-teman kantornya. Akhirnya status pernikahannya tersebar begitu saja.
"Nanti, deh, aku ceritain. Belum waktunya kamu tau, Ran. Maaf, ya."
Rania tersenyum dan mengangguk paham. "It's oke, Bel. Aku nggak maksa, kok."
"Thank you."
***
"Bel, Gilang telepon katanya nggak kamu angkat, ya? Kenapa? Ada masalah?"
Belva menghembuskan napas dengan kesal. Apalagi mendengar pertanyaan dari mamanya. Sudah pasti Gilang menelepon Vita dan menanyakan keberadaan Belva. Lalu mengatakan kalau sudah ditelepon berkali-kali tapi tidak diangkat oleh Belva.
"Ngerjain tugas, Ma," jawab Belva dengan malas. Fokusnya masih pada laptop di hadapannya. Padahal aslinya belum ada tugas apapun.
"Masa kuliah dua hari udah ada tugas?"
"Ya memang gitu."
"Angkatlah sebentar. Jangan cuek gitu ke suami. Kalian itu LDR loh. Jaga pikiran masing-masing, jaga perasaan masing-masing."
"Iya."
"Ya udah. Mama keluar dulu. Telepon lagi si Gilang biar dia tenang."
"Iya, Ma...."
Tak lama setelah Vita keluar, Gilang kembali menelpon Belva. Kali ini Belva mengangkatnya, tapi tidak mengatakan apapun.
"Hallo, Bel. Kemana aja, sih, ditelepon dari tadi nggak diangkat?" Suara Gilang terdengar lega meskipun masih ada kepanikan bercampur sedikit kekesalan karena Belva mengabaikan teleponnya.
"Sibuk. Ada tugas," jawab Belva dengan ketus.
"Kok, ketus gitu, sih, ngomongnya? Jangan bohong, Bel. Kakak tahu kamu lagi nontonin Drakor."
"Suka-suka aku, dong."
"Kenapa gitu, sih, Bel?"
"Iya. Sama kayak kakak yang suka-suka tebar pesona di kampus. Kakak tau nggak seberapa banyak cewek-cewek yang pada nanyain Kak Gilang? Minta nomor Kak Gilang. Minta dikenalin. Bahkan mereka masih mau nekat waktu aku bilang Kak Gilang udah punya istri. Dasar bapak-bapak nggak tau umur! Udah punya istri sukanya tebar pesona sana-sini."
Gilang tertawa kecil di seberang sana.
"Nggak ada yang lucu!" ucap Belva menaikkan sedikit suaranya.
"Iya, maaf, ya. Maafin kakak. Kita umumin pernikahan kita aja gimana, Bel? Biar kamu nggak cemburu kayak gini."
"Aku belum siap. Aku belum pengen status pernikahan kita diumumkan. Apalagi kakak baru batal tunangan sebulan yang lalu. Apa kata orang kalau tau kita udah nikah?"
"Tuh, kan. Apa emang kamu yang mau tebar pesona? Biar dilirik sama laki-laki lain karena masih single? Ngaku, deh."
"Apaan, sih, malah nuduh aku kayak gitu? Ngeselin banget. Udah, deh. Nggak usah telepon lagi. Ganggu banget malam-malam begini."
Belva segera mematikan sambungan teleponnya. Selain itu dia juga menonaktifkan handphonenya. Malam ini dia begitu kesal dengan Gilang. Dan tidak mau Gilang mengganggunya terlebih dahulu.
♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments