Setelah semalam mengusir Gilang dari kamarnya, Belva justru tak bisa terlelap sama sekali. Takut ucapannya akan benar-benar dilakukan oleh Gilang.
Dia yang menantang, dia juga yang ketakutan.
Nyeri di perutnya sudah hilang. Berganti dengan rasa haid di hari kedua. Rasanya mau bersin saja harus mencari tempat duduk dulu agar lebih nyaman.
Sayup-sayup terdengar suara kedua orangtuanya dan Gilang yang sedang mengobrol. Belva tahu mereka tengah mengobrol di kursi yang ada di dekat kolam renang. Karena hanya di tempat itu suara-suara bisa terdengar jelas dari kamar Belva.
Belva turun berniat untuk sarapan. Semalam tak sempat dia menyantap sesuap nasi saja karena tak tahan merasakan sakit pada perutnya.
Benar dugaannya. Mereka semua ada di pinggir kolam renang.
Tanpa menunggu mereka, Belva duduk di kursi meja makan dan mengambil sarapannya secukupnya.
"Loh, udah bangun, Bel? Sarapan, kok, nggak nungguin suaminya, sih?" tanya Vita yang sudah berdiri di dekatnya. Darmawan dan Gilang pun juga datang dan langsung duduk di kursi mereka masing-masing.
"Kamu kalau tidur udah kayak kebo ya, Bel? Suaminya datang sampai nggak dengar. Kamu nggak tau kan, kalau Gilang sampai mandi di kamar mandi kamar tamu karena nggak mau kamu keganggu? Dia juga ketiduran di sana."
Belva enggan untuk melirik Gilang yang sudah merekayasa kejadian semalam. Kenapa pula Gilang tak mengatakan kalau Belva tidak hamil, dan dia siap menceraikan Belva? ucap Belva dalam hati.
"Suaminya diambilkan sarapannya, dong, Bel. Makan sendiri enak banget kamu ini."
Tanpa menggubris ucapan Mamanya, Belva langsung meminum air putih yang ada di hadapannya. Beranjak dari kursinya dan mengalami kedua orangtuanya. Sedangkan Gilang dia anggap tidak ada di sana.
"Loh, loh. Malah mau kemana kamu ini? Masuk kuliah masih Minggu depan, to? Masih pagi pula ini, Bel."
"Aku ada janjian sama teman, Ma, Pa. Aku pergi dulu."
"Nggak pamit sama Gilang? Belva!!!" Darmawan menaikkan sedikit suaranya memanggil Belva yang sudah keluar dari ruang makan.
Bahkan suara mobilnya terdengar begitu cepat meninggalkan pelataran rumah mereka.
"Maaf kalau Belva nggak sopan, ya, Lang. Sifat dia masih labil. Saya jadi tidak enak sama kamu," ujar Darmawan tak enak hati.
Kekhawatirannya melepas Belva menikah akhirnya terjadi juga. Dia masih terlalu kekanakan dalam menyelesaikan masalah. Jika tidak dalam keadaan terpaksa, tentu Darmawan tak akan menikahkan putri satu-satunya itu.
"Tidak apa-apa, Pa. Nanti saya ngobrol sama dia lagi. Mungkin masih butuh waktu untuk sendiri," balas Gilang dengan senyuman di bibirnya.
Meskipun dalam hati dia tidak bisa tenang membiarkan Belva pergi sendiri dalam keadaan marah seperti itu.
Mungkin ucapannya semalam begitu lancang dan menyinggung perasaan Belva. Bisa saja Belva marah karena juga kembali teringat malam itu. Malam yang membuat Belva seperti kehilangan kepercayaan dirinya di hadapan Gilang.
***
Gilang menyusuri jalanan kota Surabaya untuk mencari keberadaan Belva. Lagi-lagi nomornya tidak bisa dihubungi sama sekali. Membuat Gilang semakin khawatir dibuatnya.
Tak banyak tempat di Surabaya yang Gilang ketahui. Apalagi tempat yang sering didatangi oleh Belva. Juga siapa saja teman Belva di sini yang mungkin saja bisa memberikan informasi tentang keberadaan Belva.
"Kamu di mana, sih, Bel?" Gumamnya lirih saat mobilnya berhenti karena lampu merah.
Saat lampu kembali hijau, tak sengaja Gilang melihat mobil Belva dari arah yang berlawanan. Gilang hafal betul warna dan plat nomornya.
Tapi Gilang masih harus mencari jalan untuk memutar arah karena tidak bisa memutar arah di sembarang jalan. Ada aturannya.
Dan hal itu membuat Gilang kehilangan jejak mobil Belva.
"Sial!!!" Hampir tiga tahun tak diributkan soal ngambeknya perempuan, kali ini Gilang harus berurusan lagi dengan hal tersebut. Dan bisa saja selamanya akan seperti ini.
Menghadapi marah dan kesalnya Belva setiap harinya nanti. Karena tak terbesit di benak Gilang untuk menceraikan Belva.
Semua masih bisa diperbaiki. Nyatanya dia menerima keadaan Belva bagaimanapun itu. Gilang hanya butuh waktu untuk meyakinkan dirinya bahwa dia benar-benar mencintai Belva.
***
Setelah melihat mobil Belva di jalan, Gilang segera kembali ke rumah Darmawan. Dengan harapan Belva sudah pulang, dan mereka bisa bicara soal masalah semalam.
Gilang tersenyum lebar saat melihat mobil Belva sudah terparkir di depan rumah. Gilang segera turun untuk menemui Belva.
"Belva sudah pulang, Budhe?" tanyanya pada budhe Puji untuk memastikannya.
"Sudah, Mas Gilang. Tadi langsung naik ke kamarnya."
"Baik. Terimakasih, Budhe."
Gilang segera menaiki tangga. Saat membuka pintu kamar Belva, terdengar suara air dari dalam kamar mandi. Gilang duduk di atas sofa menunggu sampai Belva keluar dari kamar mandi.
Mas perlu dingerteni
Tetegke atiku wis koyo ibumu
Ora tau nggersulo ngadepi polahmu
Sing nggawe atiku atiku tatu
(Mas, perlu kamu tau)
(Ketegaran hatiku sudah seperti ibumu)
(Yang tidak pernah mengeluh menghadapi tingkahmu)
(Yang membuat hatiku terluka)
Suara Belva terdengar melengking di dalam sana. Gilang tidak paham apa arti lagi yang dinyanyikan oleh Belva karena berbahasa Jawa.
Tak berapa lama, Belva sudah berganti lagu lagi. Bedanya kali ini menggunakan bahasa Indonesia. Jadi Gilang bisa mengerti lagu tersebut.
Jika memang ini tak ada harapan
Mengapa aku yang harus jadi tujuan
Saat hatimu terluka
Aku yang jadi obatnya
Tanpa pernah kau hargai
Cinta dan kasih yang setulus ini
Mengapa sulit...
Untukku bisa miliki hatimu...
Bahkan selama ini, hadirku tak berharga untukmu
Yang terjadi kini, ku hanya rumah persinggahanmu
Di saat kau terluka..
Dan di saat semuanya reda
Kau menghilang begitu saja
Memang sedikit banyak ada yang nyambung dengan kisah mereka. Gilang tau pasti Belva menyanyikan lagu itu benar-benar dari hatinya. Gilang rasa lagu yang berbahasa Jawa tadi pun artinya tak jauh berbeda dengan lagu milik Fabio Asher itu.
Setelah sepuluh menit menunggu, ditemani dengan suara pas-pasan yang dipaksakan untuk bernyanyi dengan nada tinggi, akhirnya Belva pun keluar juga dari kamar mandi.
Gilang segera mengalihkan pandangannya. Sedangkan Belva berteriak kencang melihat ada Gilang di sana.
Bagaimana mungkin tidak terkejut? Tubuh putih mulus Belva hanya terlilit selembar handuk saja tanpa penutup yang lain. Gilang yang sempat melihatnya pun pasti menelan ludahnya. Wajar, dia lelaki normal. Apalagi wanita di hadapannya itu sudah sah menjadi miliknya. Tak masalah sebenarnya jika dia ingin berlama-lama melihatnya.
Belva segera masuk kembali ke kamar mandi. "Kak Gilang ngapain di sini?" teriaknya dari dalam kamar mandi.
"Suaramu bagus, Bel. Besok kita rekaman aja gimana?" Gilang tertawa kecil.
"Kak Gilang menghina aku, ya?"
"Enggak ada. Keluar, Bel, kita perlu bicara!"
"Nggak mau. Kak Gilang keluar dari kamar aku dulu."
"Ya sudah. Saya keluar dulu. Jangan lama-lama. Nanti panggil saya kalau sudah selesai."
"Iya!!!"
Gilang memutuskan untuk segera keluar dari kamar Belva. Meredakan apa yang sempat dia rasakan saat melihat Belva hanya mengenakan handuk seperti itu.
"Tahan, Gilang," ucapnya berkali-kali. Memberi afirmasi pada dirinya sendiri agar tak teringat terus akan bahu mulus milik Belva. Apalagi tetesan air dari rambut yang keluar dari lilitan handuk di kepalanya membuat Belva semakin sek*i di matanya.
Ah, lama-lama Gilang bisa gila sendiri jika seperti ini.
***
Belva duduk di kursi yang ada di pinggir kolam renang, menunggu Gilang selesai berenang.
Karena reaksi ilmiah dari dalam tubuh Gilang tadi membuat Gilang memutuskan untuk berenang sambil menunggu Belva selesai memakai bajunya.
Tapi sekarang malah Belva yang dibuat menunggu.
Demi bisa mengimbangi Gilang yang pemikirannya jauh lebih dewasa ketimbang Belva, Belva memilih untuk memenuhi permintaan Gilang untuk bicara.
Karena kebiasaan Belva adalah lari dari masalah. Haduh!
Belva tak bisa berkedip saat melihat Gilang yang sudah naik ke atas, memperlihatkan tubuh tegapnya, perut yang kotak-kotak. Serta sesuatu yang menonjol jelas di bagian bawah perut.
Belva langsung mengalihkan pandangannya saat Gilang menghampirinya. Kedua tangannya mengusap rambut dengan handuk. Terlihat begitu... Ah, sudahlah. Belva tak mau membahas hal itu.
"Maaf, jadi nunggu lama."
"Enggak apa-apa," jawab Belva tanpa menatap Gilang.
"Perutnya udah sembuh."
Belva menganggukkan kepalanya. "Udah."
"Masuk kuliah kapan?"
"Minggu depan."
"Kita ke Jakarta, ya. Mama sama Papa juga pengen ketemu. Dua hari aja, kok. Nggak lama."
Belva diam tak menjawab apapun. Diam yang Gilang anggap adalah sebuah persetujuan.
♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Runik Runma
sabar
2024-02-15
0
Yati Xty123
sabar bel akan indah pada waktunya,
2023-08-29
1
Norfadilah
Sabar Neng....😣
2023-06-17
0