Deburan ombak, langit yang berwarna jingga, membuat Belva semakin enggan meninggalkan pantai meskipun waktu sudah hampir malam.
Belva mengunjungi sebuah pantai yang masih sepi pengunjung. Tak banyak yang tau ada pantai seindah itu di pinggiran Jawa timur.
Tempat yang selalu Belva datangi setiap dia merasa ingin sendiri. Lima bulan yang lalu, Belva menemukan pantai ini saat mobil yang Belva dan teman-temannya naiki mengalami mogok di daerah pantai tersebut.
Karena bosan menunggu mobil yang sedang diperbaiki, Belva dan teman-temannya berjalan-jalan dan akhirnya melihat pantai yang indah itu.
Belva dibuat jatuh cinta dengan keindahannya. Hingga dia begitu rindu dengan pantai tersebut. Lalu menjadikannya tempat untuk menenangkan dirinya.
Terkadang, Belva merasa ingin sendiri. Menghindar sejenak dari kehidupannya di kota. Dan pantai itu menjadi tempat tujuannya.
Andai tak memikirkan kekhawatiran Budhe di rumah dan kedua orangtuanya yang pasti akan ditelepon oleh budhe jika Belva tak kunjung pulang, Belva ingin camping saja di pantai itu.
Sayang, suasana masih sangat sepi. Jalanannya pun kanan kiri masih hutan lebat. Jika terlalu malam sedikit saja, sudah jarang mobil yang lewat sana. Belva akan semakin takut nantinya.
[Kamu dimana, Bel? Budhe bilang ke Papa dan Mama kalau kamu belum pulang. Papa sama Mama telepon saya nanyain kamu.]
Entah harus senang atau sedih membaca pesan dari Gilang. Juga pesan dan panggilan dari kedua orangtuanya yang baru saja masuk pemberitahuannya karena handphone Belva baru mendapatkan sinyal saat mulai masuk pedesaaan.
Apa harus menghilang dulu agar Gilang mencarinya?
^^^[Aku baik-baik saja, Kak. Sudah di jalan mau pulang.]^^^
[Baiklah. Hati-hati di jalan. Kabari saya kalau sudah sampai rumah.]
"Buat apa? Kamu sendiri melupakan hal itu, Kak. Buat apa aku harus ngabarin kamu?" Belva bermonolog.
Belva tau masih panjang perjuangannya untuk mendapatkan hati Gilang. Tapi Belva masih bingung harus memulai dari mana untuk memperjuangkan cintanya. Sedangkan Gilang sendiri saja tak berniat untuk membuka hatinya.
Kata orang, cinta akan datang karena terbiasa. Terbiasa apa? Terbiasa bersama? Lalu kalau Gilang saja tidak ingin Belva ada di sampingnya, bagaimana bisa cinta yang datang karena terbiasa itu benar-benar ada di antara Belva dan Gilang?
***
Keputusan Belva untuk berkuliah disambut dengan bahagia oleh kedua orangtuanya. Itu yang mereka mau sebenarnya. Tapi kalau pada akhirnya harus menikah terlebih dahulu, tak masalah asalkan Belva bisa menjalani kedua peran tersebut dengan baik.
Pagi ini, Vita begitu antusias membantu Belva menyiapkan segala keperluan Belva untuk kuliah. Hari pertama Belva masuk kampus untuk melakukan PKKMB. Yaitu Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru.
Belva pastinya akan bertemu dengan orang-orang baru yang nantinya akan menjadi temannya di kampus nanti.
"Kamu sudah telepon Gilang belum kalau hari ini hari pertama kamu kuliah?" tanya Vita.
"Kak Gilang udah tau, kok, Ma."
"Dia pulangnya kapan, ya, Bel? Mama udah nggak sabar nungguinnya. Soalnya kemarin nitip tas baru dari sana."
"Tas baru dari Jakarta, Ma?"
"Kok, Jakarta, sih, Bel? Gilang kan, lagi ada di Sidney sekarang."
"Apa?" Belva tentu saja sangat terkejut. Gilang tak pernah mengatakan kalau dia akan keluar negeri. Dia hanya berkata bahwa dia akan datang ke Surabaya dua Minggu lagi. Walaupun sampai lebih dari dua Minggu pun Gilang belum juga datang ke Surabaya.
Ternyata Gilang ada di luar negeri. Dan Belva tidak tahu akan hal tersebut. Begitu tidak pentingnya Belva di kehidupan Gilang. Statusnya sebagai istri hanya berada di atas kertas saja.
"Kamu nggak tau, ya? Padahal udah sejak seminggu yang lalu dia di sana."
Belva menggeleng sedih. "Kak Gilang nggak ngomong apa-apa sama aku, Ma."
"Dia nggak pengen kamu khawatir aja mungkin. Biar kamu fokus juga sama persiapan kuliah kamu."
Belva tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Iyakan saja ucapan mamanya. Belva tak ingin melihat Vita sedih jika tahu bagaimana hubungannya dengan Gilang.
***
Belva mencoba untuk tetap memberikan senyuman terbaiknya saat berkenalan dengan teman barunya di kampus. Sejenak melupakan apa yang menjadi beban pikirannya.
Sebisa mungkin Belva bersikap profesional. Masalahnya dengan Gilang tidak perlu dibawa sampai ke kampus.
"Belva, kan, anaknya Pak Darmawan?"
Belva mengerutkan keningnya. Mengingat gadis seumurannya yang mengenali dirinya, namun Belva sama sekali tak mengenal gadis tersebut.
"Siapa, ya? Kok, tau aku anaknya Pak Darmawan?"
Gadis itu tersenyum lebar. "Jelas aku tau. Ayahku karyawan di kantor Pak Darmawan."
"Oh, ya ampun. Bagian apa?"
"Ayahku HR manager."
"Oh, kamu anaknya Pak Ridwan? Harusnya kita pernah ketemu, ya, waktu gathering keluarga satu tahun yang lalu?"
"Iya, seharusnya. Tapi kamu malah di kamar terus kata Bu Vita. Ngambek karena tempatnya terlalu dekat."
Belva tertawa kecil mengingat kejadian setahun yang lalu. Belva pikir akan diajak gathering ke Bali atau Lombok. Tapi ternyata hanya di Malang saja. Walaupun tempatnya bagus, tapi waktu itu Belva tetap ingin ke Bali atau ke Lombok.
"Oh, ya ampun bikin malu aja waktu itu, ya."
Keduanya kembali tertawa mengingat hal itu.
"Kenalin, aku Rania. Kamu ngambil hukum juga?"
"Ah, iya. Kamu juga, kan?"
Rania mengangguk membenarkan. "Alhamdulillah, udah ketemu satu temen kalau gitu."
Rania dan Belva kembali tertawa. Sejenak Belva lupa nama Gilang dan sekelumit tentangnya yang pergi ke luar negeri tanpa mengatakan apapun padanya.
Bahkan Gilang tak mengatakan apapun saat waktu dua Minggu dia akan datang lagi tidak dia tepati.
Gilang dan Belva pun masih jarang berkomunikasi. Apalagi jika tidak ada hal penting yang ingin ditanyakan. Handphone Belva masih sepi notifikasi pesan dari Gilang.
🌻🌻🌻
"Kamu nggak pengen ngajak Belva untuk sekalian honeymoon, Lang?"
"Enggak, Ma. Sebentar lagi dia mau masuk kuliah."
"Lagian kenapa, sih, nggak diajak ke sini aja si Belva? Kuliah di sini, kan, juga bisa."
"Belva udah terlanjur keterima di sana, Ma. Lagipula aku kan, juga sering ke Surabaya."
Begitulah kira-kira percakapannya bersama Yunita, sehari sebelum Gilang berangkat ke Sidney sekitar dua puluh hari yang lalu.
Ya, sebagai pengantin baru, harusnya dia mengajak Belva sekalian untuk berbulan madu. Tapi jangankan berbulan madu, mencintainya saja Gilang belum bisa.
Bahkan dengan teganya Gilang tak mengatakan apapun kalau dia akan pergi keluar negeri. Gilang akui memang dia setega itu pada Belva.
Besok dia akan kembali ke Indonesia. Gilang pun juga berencana akan mendarat di bandara Juanda dan akan langsung mendatangi rumah Belva.
***
"Oalah, Mas Gilang, to? Masuk, Mas." Asisten rumah tangga Gilang tersenyum lebar saat membukakan pintu untuk Gilang.
"Budhe bawa apa?" Tanya Gilang melihat budhe membawa baskom kecil berisi air hangat dan juga handuk kecil di pundak budhe.
"Oh, ini air hangat untuk mengompres perut Mbak Belva. Biasa, Mas, hari pertama datang bulan. Mbak Belva selalu minta tolong buat dikompres perutnya."
"Oh. Biar saya saja kalau gitu." Gilang mengambil alih baskom dan handuk tersebut.
Dengan senang hati Budhe Puji memberikannya kepada Gilang. Kalau dulu biasanya dia yang melakukannya, sekarang ada Gilang sebagai suami yang akan memberikannya.
Gilang segera menaiki tangga menuju kamar Belva. Dengan pelan membuka pintu kamarnya, lalu melihat Belva yang tidur meringkuk membelakangi pintu.
"Lama banget, sih, Budhe. Belva udah nggak tahan," ucap Belva tanpa menoleh. Dia mengira kalau yang masuk ke kamarnya adalah budhe-nya.
"Hadap sini, Bel. Biar_"
"Kak Gilang?" Belva langsung terperanjat. Untuk sesaat nyerinya hilang. Namun Belva kembali mendesis pelan saat nyeri itu kembali terasa.
"Tiduran aja. Biar saya yang kompres perutnya."
Belva menggeleng. "Sama budhe aja."
"Budhe-nya biar istirahat dulu. Ini udah malam."
"Ya sudah aku sendiri aja, Kak."
"Udah. Nurut sama saya."
Belva akhirnya menuruti perintah Gilang.
Dengan sigap Gilang membasahi handuk kecil lalu memerasnya. Setelahnya Gilang menaikkan sedikit kaos yang dipakai Belva. "Maaf, ya," ucapnya sebelum Gilang melakukannya.
Jantung Belva berdegup kencang. Meskipun hanya mengompres perutnya, tapi Gilang sudah melihat sebagian tubuh yang dia tutupi selama ini.
Bulu kuduknya juga berdiri saat kulit perutnya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Gilang.
"Berarti malam itu nggak meninggalkan apapun di dalam sini, ya, Bel?"
"Maksud Kak Gilang apa?"
"Yang lelaki itu lakukan tidak sampai membuat kamu hamil."
Belva menatap kedua mata Gilang. Jantungnya berdegup semakin kencang. Kembali teringat akan malam itu. Malam yang membuat Gilang harus menikahinya padahal Gilang tidak salah apa-apa.
"Lalu kakak mau menceraikan aku?"
"Kenapa berpikir seperti itu?"
Belva bangun dan duduk. Berhadapan dengan Gilang. "Terus maksud kakak apa ngomong kayak gitu?"
"Maksud saya_"
"Aku tau kak Gilang nggak cinta sama aku. Nikahin aku juga karena kasian buat nutupin aib aku kalau aku beneran hamil. Sekarang udah tau kan, aku nggak hamil? Kak Gilang bisa ceraikan aku. Kak Gilang nggak harus berpura-pura peduli kayak gini ke aku. Kak Gilang nggak perlu lagi terbebani dengan adanya aku. Makasih udah nolongin aku dan keluargaku, Kak. Aku siap kalau kakak mau ceraikan aku."
"Bel, saya belum selesai bicara. Kamu_"
"Dan aku nggak mau dengar apa-apa lagi, Kak. Maaf kalau aku nggak sopan. Makasih udah bantu aku buat kompres perut aku. Kakak bisa keluar dari kamar aku dan bisa tidur di kamar tamu. Jadi kakak nggak harus tidur di sofa lagi."
"Bel_"
Belum selesai bicara, Belva sudah kembali merebahkan dirinya. Membelakangi Gilang dan menutut seluruh tubuhnya, bahkan kepalanya pun dia tutupi dengan selimut tebalnya.
♥️♥️♥️
Jangan mancing perkara sama cewek pms, Gilang!! cewek pms kalau tabrakan sama macan, macannya yang minta maaf 😴😴
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Sukma Wati
benar.. perempuan klo lagi pms gak ada lawan
2023-10-04
3
Anita noer
itu mah macanx ga punya gigi kali thor🤣🤣🤣🤣🤣🤣aq gagal fokus lo....org udah ikut merasa emosi pas belva marah2...eh authorx malah guyon😆😆😆😆😆
2023-08-30
0
Aviqa Zahrah Aviqa
aq jd tambah mewek bacanya
2023-08-01
0