"Sampai kapan, sih, Lang, kamu tu mau nolak kalau Mama mencoba mendekatkan kamu dengan perempuan? Ingat umur, Lang. Mama juga pengen punya cucu."
"Kalau masalah cucu kan, di Gavin sama Mikha udah buat tiap hari, Ma."
"Mereka udah usaha. Kamu kapan usahanya?"
"Usaha apa? Bikin cucu?"
"Cari istri buat diajak bikin cucu buat Mama dan Papa juga."
Seperti anak kecil yang sedang memiliki sebuah keinginan, Yunita mengikuti kemanapun Gilang pergi. Bahkan saat Gilang berenang pun Yunita menunggunya di pinggir kolam renang.
"Kenalan aja dulu, Lang. Pendekatan dulu. Kalau emang nggak cocok Mama nggak akan maksa, kok," ucap Yunita.
Gilang yang tengah menggosok rambutnya dengan handuk pun menghela napas berat.
"Jihan anaknya baik, kok. Dia udah tahu masa lalu kamu dan dia dan orangtuanya nggak masalah akan hal itu."
Bukan masalah masa lalu Gilang yang menjadi alasan Gilang untuk tidak mau mengenal wanita-wanita itu lebih dekat. Namun lebih ke perasaan yang tidak mudah untuk berlabuh setelah perceraiannya dengan Mikha.
Gilang hanya takut siapa yang nantinya akan dekat dengannya akan merasa dirinya hanya sebagai pelarian saja. Gilang tak ingin lebih banyak menyakiti hati wanita.
"Mama ngapain coba ngikutin aku terus?" tanya Gilang saat Yunita membuntutinya dari belakang saat Gilang naik ke lantai dua untuk bersiap berangkat bekerja.
"Mama nggak akan berhenti ngikutin kamu sebelum kamu mau dekat dengan Jihan. Atau yang lain, deh. Sama Mella, misalnya. Atau Yasmin yang keturunan Arab itu."
Lagi-lagi Gilang hanya bisa menghembuskan napas dengan kasar. Jika seperti ini terus tentu hidup Gilang juga tidak akan pernah tenang dan selalu diusik dengan kemauan mamanya.
Apalagi kini Yunita menggunakan cara yang menurut Gilang itu kekanakan. Mengikuti kemanapun Gilang pergi.
"Oke, fine! Sama Jihan aja. Tapi kalau nggak ada kecocokan, Mama nggak boleh marah."
Senyuman lebar terukir di bibir Yunita mendengar persetujuan dari Gilang. Dia peluk tubuh Gilang yang terbalut handuk kimono. Sedikit basah, tapi tak jadi masalah.
"Makasih, sayang. Mama selalu berdoa semoga dia yang terbaik buat kamu," ucap Yunita bahagia.
"Aamiin-in, dong," protes Yunita saat Gilang diam saja.
Gilang mengangguk terpaksa. "Iya, aamiin," ucapnya setengah hati.
"Oke. Besok kalian nga-date, ya."
"Aku besok ke Surabaya lagi, Ma."
"Ya udah. Ajak Jihan ke Surabaya sekalian biar dia tahu pekerjaan kamu."
Gilang melebarkan kedua matanya. "Nggak, deh, Ma. Nggak mau bawa pergi anak gadis orang. Ada apa-apa nanti aku yang disalahin."
"Kamu tenang aja. Nggak akan ada apa-apa kalau kamu mau nurut omongan Mama. Ini nomor Jihan udah Mama kirim ke handphone kamu. Telepon dia, dan ajak dia ke Surabaya besok."
"Ma?" Gilang hendak memprotes. Tapi kedua tangan Yunita yang terangkat membuat Gilang terdiam. Tandanya memang dia harus diam. Yunita tak ingin ada protes apapun yang keluar dari bibir Gilang.
***
"Saya Gilang."
"Oh, Mas Gilang. Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
"Mama minta saya buat ngajak kamu ke Surabaya besok kalau kamu nggak sibuk."
"Besok?"
"Iya."
"Kebetulan sekali, Mas. Besok saya juga ada pekerjaan di Surabaya. Kita bisa berangkat bersama."
"Iya. Pesawat besok jam delapan pagi. Kita bertemu di bandara."
"Baik, Mas. Berapa lama di Surabaya?"
"Kalau saya mungkin sekitar tiga harian."
"Oh, baiklah. Saya akan ada di Surabaya selama satu Minggu, Mas."
"Oke."
***
Keesokan harinya, Gilang bersama Juan sudah menunggu Jihan di bandara. Tak sampai sepuluh menit menunggu, Jihan terlihat turun dari mobilnya.
Gilang akui, penampilan Jihan pagi ini cukup menawan. Rambut pirangnya tergerai indah. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Kaki jenjangnya berjalan menghampiri Gilang dan Juan.
"Cantik, bos," bisik Juan pelan.
"Semua wanita kamu bilang cantik."
"Memang wanita itu cantik, bos. Kalau tampan itu aku."
"Nanti kamu tak lempar dari atas pesawat ya, Ju."
"Jangan, bos. Aku belum nikah."
Gilang diam tak menjawab. Memilih berdiri untuk menyambut kedatangan Jihan. Ingat, ini hanya formalitas. Tidak lebih dari itu.
"Udah lama, Mas?" tanya Jihan pada Gilang.
Gilang menggelengkan kepalanya. "Baru sekitar sepuluh menit," jawab Gilang tanpa meninggalkan kesan sikapnya yang dingin.
"Oh, maaf sudah membuat Mas Gilang menunggu," ucap Jihan tak enak hati.
"Tidak apa-apa. Kita harus check in sekarang."
"Iya."
***
Selama di dalam pesawat, keduanya sama-sama diam. Sedangkan Juan lebih memilih untuk tidur saja.
Gilang sibuk dengan iPad yang ada di tangannya. Sedangkan Jihan hanya terdiam sambil menikmati pemandangan dari atas.
Ingin bersuara, ingin mengajak Gilang mengobrol ringan, namun sepertinya iPad di tangannya lebih menarik daripadanya Jihan yang cantik yang ada di sampingnya.
Jihan jadi sungkan sendiri rasanya. Dia tidak biasa untuk berdiam seperti itu jika sedang bersama seseorang. Minimal mengobrol ringan untuk mengakrabkan diri.
"Ada masalah?" tanya Gilang saat melihat Jihan terlihat gelisah.
Jihan menggelengkan kepalanya. "Enggak. Hanya sedikit bosan."
"Nonton film aja kalau bosan. Saya mau tidur sebentar."
Jihan mengerutkan keningnya. Bukan ini yang Jihan harapkan. Jihan ingin mereka mengobrol sebentar saja.
"Ah, nanti juga bisa, Jihan. Sabar!" ucapnya menenangkan diri sendiri.
***
Apa yang diharapkan Jihan ternyata tak berjalan sesuai dengan harapan.
Sesampainya di bandara Juanda, Gilang dan Juan sudah di jemput oleh sebuah mobil mewah. Jihan tak tahu apakah itu milik Gilang sendiri, atau fasilitas hotel, atau mobil sewaan. Dan Jihan juga tidak peduli akan hal itu.
"Saya langsung ke kantor rekan kerja saya, Han. Kamu mau ikut atau saya antar dulu ke hotel?"
Jihan sempat diam kebingungan sebelum akhirnya dia menganggukkan kepalanya dan berkata, "ikut kamu dulu nggak apa-apa. Sekalian jalan-jalan."
"Oke."
Sesampainya di depan kantor Darmawan, Gilang sudah di sambut dengan senyum ceria anak gadis Darmawan yang baru saja keluar dari kantor ayahnya itu.
Namun senyumnya mendadak pudar saat ada perempuan yang turun dari mobil milik ayahnya yang digunakan untuk menjemput Gilang dan Juan.
Belva menatap Jihan dengan sinis. Tak peduli jika usia Jihan jauh lebih tua darinya. "Dia siapa, kak?" tanyanya dengan sinis.
Gilang menaikan kedua alisnya. Mencium bau-bau cemburu dari gadis belia di hadapannya. Hal ini bisa Gilang manfaatkan untuk membuat Belva berhenti menggodanya, bukan? "Ada untungnya juga bawa Jihan ke kantor Darmawan," ucap Gilang dalam hati.
"Dia teman dekatku. Kenalkan! Namanya Jihan."
Belva melengos pergi saat Jihan tersenyum dan mengulurkan tangannya, berniat untuk mengajak Belva berkenalan dengannya.
Tapi sebelum Belva naik ke mobil yang semula dinaiki oleh Gilang dan Jihan, Belva menoleh dan berkata, "situ balik naik taksi online aja. Jangan pakai mobil yang biasa aku pakai buat tumpangan perempuan lain. Pak Bambang, dia ada koper di mobil nggak?" tanya Belva pada sopir ayahnya.
"Ada, Non."
"Turunin! Habis itu cuci ini mobil sampai bersih. Sampai nggak ada bekasnya mereka di sini."
"Baik, Non."
Ucapan Belva membuat Juan dan Gilang menahan tawa. Perempuan kalau cemburu memang kadang suka lucu. Mana ada orang duduk meninggalkan bekas? Kecuali jika yang duduk buang air di tempat atau muntah pasti akan meninggalkan bekas.
Berbeda dengan keduanya, Jihan justru menatap mereka secara bergantian dengan tatapan penuh tanya.
♥️♥️♥️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
Tavia Dewi
widih,,,seram....
2023-09-09
0
Asha Zhafira
lucu sekali Thor itu Belva
2023-09-06
0
Sri indrawati
bocil cemburu 😁🤭🤭
2023-07-21
0