"Permisi saya harus menerima panggilan ini," ucap Dee dengan wajah pucat pasi.
Pak Jhon sepertinya curiga dengan penelfon itu ketika melihat gestur tubuh Dee.
"Silahkan, tetapi jika ada Tuan, matikan handphone Anda dan sebisa mungkin jangan berhubungan dengan orang luar jika tidak penting. Satu lagi, putuskan hubungan Anda dengan pria manapun selama kontrak ini masih berjalan," peringat keras Pak Jhon membuat Dee gemetar.
"Iya, saya mengerti," balasnya dengan suara tercekat karena saking takutnya.
Pria itu meninggalkan Dee, yang masih termangu. Bila anak buahnya saja segalak itu bagaimana dengan majikannya?
Suara handphone yang masih berbunyi membuat Dee tersentak. Dia langsung menerima panggilan itu.
"Hallo, Kak," kata Dee.
"Dee, aku mendengar jika panti asuhan kita terbakar? Kenapa kau tidak memberitahuku?"
"Aku tidak ingin membuat kau cemas." Dee mengatakan dengan lemas.
"Lalu bagaimana dengan semuanya? Adakah yang menjadi korban?"
"Semua hanya terkena luka bakar ringan, hanya Ibu panti saja yang sedikit parah." Dee tidak ingin membuat Rizki khawatir karena dia bekerja di tempat jauh yang butuh ketenangan.
Terdengar helaan nafas berat. "Bagaimana dengan biaya rumah sakit?"
"Ada donatur yang mengcover semua biaya rumah sakit dan kehidupan anak-anak panti ke depannya."
"Syukurlah. Nanti aku akan juga mengirimkan uang untuk membantu pengeluaran kalian."
"Tidak usah, Kak. Uang kakak simpan dulu saja. Kakak baru bekerja sebulan ini, tabung untuk masa depan kakak," kata Dee.
"Dee, kakak tidak bisa tenang ingin tahu apa saja yang sebenarnya terjadi."
"Semua sudah teratasi jadi Kakak jangan terlalu cemas. Oh ya Kak, aku akan berangkat ke luar negeri jadi nomor ini tidak akan aktif sampai aku kembali. Pesawat akan lepas landas, telepon aku matikan dulu. Maaf." Untuk pertama kalinya, Dee berbohong.
"Dee tunggu, kau belum menjelaskan… ." Dee mematikan panggilan itu dan handphonenya. Kakinya menjadi lemas seperti tak bertulang. Air matanya terus mengalir deras.
"Maafkan aku, maafkan aku… ."
***
Dua jam kemudian Dee menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia mengenakan gaun kebaya putih sederhana yang cantik. Namun, tidak ada riasan di wajahnya. Matanya masih sedikit bengkak karena menangis lama di kamar mandi.
Seseorang mulai mengetuk pintu.
"Nona apakah Anda sudah siap, Tuan sudah menunggu Anda di bawah," seru Pak Jhon.
Dee mulai berjalan keluar membuka pintu. Dia tersenyum kaku. "Mari, Pak."
Dengan punggung tegak dia melangkah terlebih dahulu, berjalan menuruni tangga. Tampak di bawah ada beberapa orang yang sedang duduk mengelilingi meja. Mereka melihat ke arah calon mempelai wanita yang tampil sangat sederhana.
Rambutnya yang panjang tergerai rapi di punggungnya. Wajahnya sehalus dan seputih porselen dengan mata yang besar dihiasi oleh bulu mata lentik yang lebat. Tidak perlu kosmetik untuk membuatnya cantik, semua sudah terlihat alami.
"Nona, duduk dulu, Tuan sedang menelfon di depan," ucap Pak Jhon. Dee menurut. Dia duduk dengan gelisah di depan penghulu. Sambil menunduk.
"Bagaimana sudah siap?" Suara pria yang enak didengar, rendah dan ber magnet, suara yang serak dan maskulin sepertinya masih muda. Jantung Dee langsung berdetak keras. Tangannya mendadak berkeringat dan terasa dingin.
Pria itu lantas duduk disebelah Dee. Menoleh ke arah Dee dan menghela nafas panjang.
Dee tidak berani melihat ke arah samping namun dia bisa melihat jika tubuh pria di sampingnya nampak atlentis. Tidak seperti bayangannya.
Ijab dilakukan. Pikiran Dee hilang kemana untuk sesaat teringat akan Rizki. Pria itu yang seharusnya duduk di sampingnya bukan lelaki lain. Namun, nasib tidak bisa kita tentukan semua sudah garis Tuhan.
Dee tersentak ketika seseorang memanggilnya. Pria itu mengulurkan tangan. Dengan gemetar Dee meraih tangan itu dan mencium punggung tangannya. Aroma kayu manis yang berpadu dengan wangi hutan pinus terasa di indera penciumannya. Dee masih menunduk ketika pria itu mengecup keningnya dengan lembut, hampir tidak tersentuh.
Menahan tangis yang ingin meledak sedari tadi. Dia bahkan tidak sanggup menatap wajah pria yang kini menjadi suaminya sementara.
Setelahnya, Dee hanya duduk diam dengan wajah menunduk sedih.
Setengah jam kemudian, semua orang sudah pergi dari rumah itu. Detak jantung Dee mulai terdengar keras, dia tiba-tiba merasa pusing dan hampir jatuh.
Mata elang pria itu menatap tajam ke arah gadis yang panik itu. Lalu membuka mulut. "Nama kamu HoneyDee, aku harus memanggilmu apa? Honey atau Dee?"
Pria itu melangkah maju. Dengan panik Dee mundur selangkah.
"Apa yang pun yang Tuan suka," ucap lirih Dee masih dengan menundukkan wajah.
"Kalau begitu aku panggil Honey saja terdengar manis. Kau bisa memanggilku Kane," kata pria itu menatap Dee dengan seksama. Dia merasa menemukan mainan baru yang menarik.
"Tuan Kane," ulang Dee. Masih mundur hingga tersudut ke sisi ranjang.
"Kane saja (Ken)."
"Kane." Dee akhirnya terjatuh, duduk di bibir sofa. Di depannya nampak menjulang tinggi tubuh pria yang kini sedang mengamatinya. Dee menelan saliva dengan sulit.
"Kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan?"
Dee terkejut dengan pertanyaan yang langsung itu, tidak tahu harus menjawab apa. Dia berpikir pria itu pasti orangnya sangat serius.
"Angkat wajahmu!" Dengan satu jarinya dia mengangkat dagu Dee. " Kenapa? Malu?" suaranya nampak menyindir Dee.
Dee menelan ludahnya dengan sulit dan gugup. Terpaksa bertatap muka dengan dia. Wajah pria itu tampan hanya saja nampak sinis dan dingin.
"Apa kamu sudah mandi dengan bersih, memakai sampho?"
"Sudah," cicitnya.
"Tidak buruk, lebih baik dari yang pernah kulihat." Dee terkejut dengan kalimat pria itu, dimana mereka pernah bertemu? Tapi tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Ayo kita ke kamar," perintah pria itu.
"Baik," jawab Dee menurut.
"Takutkah?" tanya tajam pria itu.
"..... " Dee terdiam tidak tahu harus menjawab apa.
Detik kemudian pria itu menunduk dan langsung mengangkat tubuh Dee. Kedua kakinya sudah beranjak dari lantai.
Dee merasa kegelapan akan menyelimuti hidupnya mulai kini. Wajahnya mulai memerah.
"Tuan Kane, aku bisa jalan sendiri."
Pria itu tidak berbicara hanya menatap ke depan membawanya ke lantai dua. Membuat Dee tambah ketakutan.
Pintu kamar dibuka. "Honey, kontrak telah dimulai, jika kau keberatan pintu masih terbuka lebar. Kau bisa pergi sekarang?" tanya pria itu sekali lagi.
"Aku akan memberimu waktu beberapa menit ke depan," lanjutnya menatap Dee intens.
"Aku tidak menyesal," jawab Dee ragu namun dengan suara tegas. Dia tidak ingin mundur demi kesembuhan Ibu panti yang telah membesarkannya selama ini. Dia rela berkorban. Dia hanya akan berkorban selama sembilan bulan saja sedangkan Ibu panti telah banyak berkorban untuknya selama delapan belas tahun ini, tanpa mengeluh sedikit pun.
"Kamu yakin dengan apa yang akan kamu lakukan?" suara pria itu terdengar melembut. Tatapannya terasa dingin. Dee mengangguk mantap.
Pria itu lantas meletakkan Dee diatas ranjang dan mulai melepaskan jas putihnya dan meletakkan di atas sofa.
Tiba-tiba badannya dipegang oleh dua tangan besar dengan keras. Terasa sakit. Matanya menjadi buram, ingin menangis.
Dia melihat wajah pria itu membesi. "Kamu tidak tahu malu, menjual dirimu. Apakah kau tidak punya harga diri? Atau berpikir jika melakukan ini hidupmu akan terasa mudah dan berada dalam kemewahan?"
Mata Dee membelalak besar mendengar hinaan pria di depannya. Emosi pria itu berubah mendadak, membuatnya semakin ngeri dan takut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Erlinda
ternyata orang kaya ga menjamin utk ber atitude baik kebanyakan di novel ini lelaki kaya seorang CEO .selalu ber otak bodoh dan ujung ujung nya menyesal .
2023-08-05
0
Enies Amtan
hadir
2022-12-28
0
Sarini Sadjam
orang kaya..mulut bebas ya...kane
2022-11-06
1