Penyitaan

Sehabis pulang sekolah Rinjani langsung menuju panti asuhan untuk bertemu beberapa anak panti yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, dan yang paling spesial di hati Rinjani adalah Putri, dialah alasan Rinjani berkunjung ke panti asuhan.

Kedatangan Rinjani membuat Putri bahagia, anak perempuan itu berlari memeluknya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tetapi Rinjani yakin suatu saat nanti putri akan menjadi anak yang periang dan penuh tawa, seperti anak-anak pada umumnya.

Kebahagiaan Putri berada di panti asuhan terpancar baru beberapa bulan belakangan ini, sebelumnya ia hanya termenung sendirian.

Selama hampir 5 tahun, Putri hanya menghabiskan waktunya dengan berdiam diri, ia hanya menjawab pertanyaan orang-orang dengan kata 'iya' dan 'tidak'. Putri tidak pernah memberikan informasi mengenai keluarganya. Siapa nama ayahnya, mamahnya, atau kakaknya yang selama ini ia rindukan. Ia hanya mengatakan bahwa dirinya sangat ingin bertemu dengan kakaknya. Dan itu menjadi tugas baru bagi Rinjani, ia akan mencari tahu informasi mengenai kakak kandung Putri.

Desi selaku orangtua Rinjani lah yang menerima Putri ke panti. Saat itu Putri datang diantar oleh salah seorang tetangganya yang mengatakan bahwa kedua orangtuanya telah meninggal. Namun Desi tidak percaya dengan alasan laki-laki itu, setiap hari ia berusaha bertanya mengenai keluarga Putri, tetapi sampai sekarang tidak ada informasi apapun mengenai keberadaan keluarganya.

Perkembangan Putri sudah semakin meningkat di bandingkan saat awal pertama kali ia berada di panti. Ia sudah mau bertemu orang banyak, sudah bisa tersenyum, dan mau berbicara. Walaupun itu hanya seperlunya saja, dan Hanna yang disuruh khusus oleh Rinjani untuk merawat Putri, anak kecil yang sudah Rinjani jadikan sebagai adiknya sendiri.

"Kamu bawa apa Jan?" Tanya Hanna membuka bungkusan yang ia letakkan di atas meja.

"Makanan, buat kalian." Jawab Rinjani, mengajak putri duduk bersamanya.

"Repot-repot amat sih."

"Ah, nggak kok. Han, bisa tolong tinggalkan kita berdua?" Pinta Rinjani.

"Huh baiklah. Kalau adik dan kakak sudah bertemu, pasti tidak boleh siapa pun datang untuk mengganggunya." Ujar Hanna tersenyum lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Putri udah makan?" Tanya Rinjani.

Putri hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil memainkan bonekanya. Pertama kali Rinjani bertemu dengan Putri, ia selalu membawa boneka Barbie pangerannya ke mana pun ia pergi. Bahkan terkadang Putri meminta untuk dibuatkan jas untuk bonekanya tersebut. Putri juga tidak mau jika harus diganti dengan boneka lain. Sebab, Hanna pernah memberikan boneka beruang untuknya, namun ditolak dan sampai sekarang boneka itu masih bersih karena hanya di taruh sebagai pajangan saja.

"Lihat! Kak Jani bawa princess buat menemani pangeran ini, supaya ia tidak merasa kesepian lagi." Ucap Rinjani memberikan boneka Barbie perempuan pada Putri.

"Sekarang Putri makan ya." Ucap Rinjani lagi.

Putri langsung mengangguk dengan semangat dan menyantap makanan yang telah disediakan.

"Kak Jani mau tau siapa pangeran ini." Ujar Putri memainkan kedua bonekanya.

"Mau, memangnya siapa pangeran yang tampan ini?"

Akhirnya dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, Putri pun mulai bercerita. Bagi Rinjani itu sebuah keajaiban yang luar biasa melihat Putri sudah mau bicara panjang kepada orang lain.

"Pangeran ini simbol dari kakakku. Dia tampan seperti pangeran ini." Putri menunjukkan wajah boneka tersebut pada Rinjani.

"Oh ya?"

Putri mengangguk pelan. "Dia juga baik dan lembut kepadaku, ku rasa kalau kak Jani lihat, pasti jatuh cinta dengannya. Tapi, kakakku udah gak pernah datang ke sini lagi." Cengiran kuda yang putri tunjukkan hilang saat mengingat perpisahan dengan kakak kandungnya.

Rinjani langsung merangkul Putri dan tersenyum padanya. "Suatu saat nanti kamu akan bertemu dengan kakakmu. Dan satu hal lagi. Kamu cantik, baik, dan juga lembut. Udah pasti kakak kamu pun sama sifatnya seperti kamu."

"Aku main dulu." Ucap Putri menyudahi onrolan tentang kakaknya.

"Ya udah, kamu mainnya hati-hati ya, kakak mau bicara dulu sama kak Hanna." kata Jani.

Hanna yang baru saja datang pun langsung duduk untuk mendengar curhatan Rinjani.

"Iya." Putri pun pergi meninggalkan Rinjani dengan Hanna.

"Ada apa?" Tanya Hanna.

"Akhir-akhir ini aku gak semangat sekolah Han." Jawab Rinjani.

"Gara-gara cowok itu? Siapa namanya? Yang bikin gosip murahan."

"Alex."

"Nah iya. Gara-gara dia?"

"Bukan. Aku gak tau alasannya apa, tapi aku merasa, aku takut kali ini. Takut buat berhadapan sama teman-temanku di sekolah. Mereka jahat! tapi aku gak pernah bilang ke bunda mengenai hal ini." Rinjani menjelaskan keluh kesahnya pada Hanna, salah satu pengasuh panti miliknya.

"Ah, kamu selalu bilang kalau kamu takut, tapi besok-besok kamu akan hadapi sendiri. Kamu kan gitu Jan. Oh iya, bunda masih sakit?"

"Emang bunda gak ke sini ya?"

"Nggak. Oh ini Jan. Ada surat, katanya buat bunda, nanti tolong kasih ya."

"Iya." Rinjani menerima surat dari tangan Hanna.

Setelah bercerita panjang lebar, Rinjani pun pamit pulang. Ia menyempatkan untuk menghampiri Putri yang tengah asyik bermain dengan kedua bonekanya itu.

"Sepertinya kamu suka ya bonekanya?" Ucap Rinjani.

"Suka, karena ini adalah calon pengantin pangeran." Kata Putri dengan suara polosnya.

"Berarti aku dong calon pengantin wanitanya." Rinjani tersenyum menatap kedua mata Putri.

Putri mengangguk cepat, lalu memeluk Rinjani dengan erat "Aku kangen kakakku." Ucapnya lirih.

"Kamu akan ketemu dengan kakakmu." Ujar Rinjani menenangkannya sambil membelai lembut rambut Putri.

"Kak Jani janji ya, temui Putri sama kak putra."

"Iya." Rinjani pun mencium kening putri dengan kasih sayang sebagaimana seorang kakak kepada adiknya. Lalu ia pun bergegas pulang untuk memberitahukan kepada bunda mengenai perkembangan Putri yang sudah mau berkomunikasi dengan orang lain.

Sesampainya di rumah, Rinjani melihat bundanya sedang berada di halaman belakang rumahnya sedang duduk sambil menatap lurus ke depan. Ia hanya menarik nafas panjang melihat keadaan bundanya yang semakin lama menjadi tidak bersemangat setelah kepergian ayahnya. Kedatangan Rinjani di samping Desi membuat senyuman yang telah hilang kini kembali hadir, walaupun hanya seutas sunggingan senyum. Tetapi itu sudah mengobati rasa rindu Rinjani kepada sosok bundanya.

"Bunda." Panggil Rinjani.

"Iya."

"Tadi aku abis dari panti, terus Hanna kasih ini," Rinjani menaruh surat tersebut di atas meja. "Katanya buat bunda. Oh iya bunda, Putri udah mau bicara panjang lebar loh. Ah, senangnya bisa melihat wajah imutnya tersenyum."

"Surat apa bunda?" Tanya Rinjani penasaran, karena membuat wajah bundanya shock setelah membaca surat itu. Dan cerita tentang Putri seperti sudah tidak penting lagi bagi Desi.

"Bukan surat apa-apa. Kamu lapar kan? Bunda buatin makan ya." Jawab Desi mencoba santai di depan anak semata wayangnya. Sebab, ia tidak tahu bagaimana perasaan Rinjani jika tahu apa isi surat yang ia pegang sebenarnya.

"Tadi aku udah makan di panti bunda." Tolak Rinjani.

"Oh."

"Bunda, ada apa?" Tanya Rinjani menggenggam tangan bundanya. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan dari dirinya.

Namun saat Desi mau bicara tiba-tiba saja ada suara yang menggedor-gedor pintu dengan kerasnya, sehingga Rinjani dan bundanya saling pandang, mereka memikirkan siapa orang dibalik pintunya tersebut.

Desi langsung menuju pintu dan membukanya. Lalu di ambang pintu ada 3 orang laki-laki. Yang satu memakai jas rapih layaknya seorang pegawai kantoran, sedangkan 2 laki-laki lainnya berbadan kekar dan berwajah sangar. Desi menyuruhnya duduk di ruang tamu namun ditolak dengan mentah oleh tamunya itu. Bahkan si pria yang bersetelan jas mengatakan bahwa lusa, rumah yang Rinjani dan bundanya tinggali harus segera dikosongkan.

"Ini rumah kita pak, kenapa kita harus pindah?" Tanya Rinjani yang sejak tadi berdiri memperhatikan obrolan bundanya dengan ketiga pria tersebut.

"Tapi rumah kamu sekarang ini sudah menjadi milik bank. Setelah ayah kamu mempunyai hutang hingga 2 milyar. Bahkan panti asuhan yang kalian miliki pun terpaksa harus kami sita untuk melunasi hutang-hutangnya." Jawab pria berjas sambil memberikan beberapa dokumen yang isinya kontrak antara ayahnya dan pihak bank, jika tidak bisa melunasi maka rumah beserta panti asuhan menjadi hak milik bank.

"Saya terima kalau bapak mau sita rumah ini. Tapi kalau panti asuhan, di sana banyak anak-anak pak." Kata Rinjani lagi.

"Saya tahu, saya tidak akan membiarkan mereka menjadi gelandangan. Saya akan menjualnya kepada orang lain sehingga mereka tetap berada di sana,"

"Ada lagi yang mau di tanyakan?" Tanya pria tersebut.

Rinjani menggeleng pelan sambil melirik ke bundanya yang sudah tidak bisa berkata-kata lagi menanggapi obrolan anaknya dengan pihak bank.

"Lusa saya pastikan rumah ini akan kosong pak." Kata Rinjani.

"Terimakasih, kalau begitu saya permisi."

Kepergian pihak bank membuat suasana rumah menjadi sepi. Desi memilih untuk ke kamar, sedangkan Rinjani duduk di ayunan belakang rumahnya sambil menerima kenyataan yang baru saja ia dengar. Ia merasa seperti mimpi, karena baru beberapa hari ayahnya meninggal dan kini ia harus merasa kesedihan lagi atas tingkah laku ayahnya yang sudah di luar dugaan.

Sebuah amplop yang berada di kantong baju seragam Rinjani membuat dirinya sedikit tegar jika harus mengingatnya. Meskipun akan kembali ingat pada kenyataannya yang sekarang. Berat bagi Rinjani untuk menerima semua ini di saat ia sudah nyaman dengan keadaannya.

"Ayah kok tega sih sama aku dan bunda!" Gumam Jani menghapus air matanya.

"Rinjani." Panggil Desi lembut.

Dengan uraian air mata Rinjani langsung memeluk tubuh bundanya, ia menangisi tingkah laku ayahnya, bukan menangisi keadaan ke depannya. Ia tidak menyangka kalau ayahnya yang sangat menyayangi keluarga dengan tega memberikan beban begitu berat, beban yang harus dipikul dari awal oleh dua orang perempuan yang pastinya sangat di sayangi oleh Edi, ayah Rinjani.

"Maafkan bunda tidak sempat cerita masalah ini ke kamu." Desi membelai lembut rambut anaknya.

"Gak apa-apa kok bunda, mulai besok kita packing baju-baju ya bunda. Sekalian pulang sekolah aku yang cari rumah baru." Kata Rinjani.

"Tapi.."

"Maksud aku cari kontrakan bunda."

Desi menghela nafasnya. "Apa kamu betah?"

Rinjani melepas pelukannya. "Tenang aja bunda, aku usahain supaya betah." Jawabnya mengukir senyum untuk pertama kalinya di saat keluarganya sedang mendapat cobaan.

"Ya sudah, kamu istirahat ya!" Suruh Desi.

"Iya." Rinjani pun pergi ke lantai atas untuk masuk ke dalam kamarnya.

Dengan gesit jari jemari Rinjani mencari kontrakan yang murah melalui gadgetnya, supaya besok setelah pulang sekolah ia pergi ke sana dan memastikannya langsung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!