Cerita Alex

Anak laki-laki berusia 6 tahun sedang bermain bola bersama papahnya yang bernama Adriansyah. Anak itu seringkali tertawa lepas hingga menggelegar di angkasa, memecahkan keheningan alam di pagi hari.

Meskipun terkadang punggung Adriansyah merasa sakit karena harus mengejar anak laki-lakinya itu, ia tetap menutupi semuanya di depan Alex kecil. Sebab, ia begitu jarang bertemu dan main bersama Alex. Paling cepat 3 bulan sekali ia harus bertemu jagoan kecilnya itu.

Alex tidak seperti anak kecil pada umumnya yang setiap kali orangtuanya pergi, ia akan nangis dan merengek. Apalagi ada anak kecil yang menjadi pembangkang karena alasan tersebut. Tetapi, tidak bagi Alex, justru ia berinisiatif untuk mencari tahu, apa alasannya sampai papah dan mamahnya begitu giat bekerja. Padahal, harta kekayaan keluarga Alex sudah sangat berlimpah. Jika kedua orangtuanya tidak bekerja pun, mereka tidak akan jatuh miskin karena aset yang mereka punya begitu banyak hingga tak terhitung jumlahnya.

Cara Alex selalu berpikir positif, setiap kali ditinggal kerja oleh kedua orangtuanya. Ia hanya diurus oleh para asisten rumah tangga yang sama halnya ia perlakukan seperti kedua orangtuanya. Pernah suatu ketika saat papah dan mamahnya hendak berangkat kerja, Alex berdiri di hadapan mereka dan mengatakan sesuatu di luar dugaan kedua orangtuanya.

"Alex tau kalau papah sama mamah itu kerja buat Alex. Jadi, Alex tidak perlu nangis ataupun merasa kesepian, karena kalian akan pulang dan memeluk Alex." Dengan suara polosnya, Alex mengatakan hal yang membuat kedua orangtuanya terharu karena kecerdasan anak semata wayangnya.

Adriansyah memang lebih sibuk di bandingkan dengan Maria, istrinya. Kadangkala setiap kali Adriansyah tidak pulang selama berbulan-bulan, justru Marialah yang akan pulang lebih awal untuk menyempatkan main bersama putranya. Semua orang yang melihat akan sangat iri dengan keharmonisan rumah tangga mereka, apalagi mereka di karuniai anak laki-laki yang tampan dan cerdas, sehingga begitu sempurna keadaan mereka saat itu.

Lima bulan terakhir ini Maria memutuskan untuk tidak mengambil kerjaan di luar kota yang mengakibatkan harus meninggalkan Alex di rumah. Dan keputusannya itu membuat Alex senang. Ia melompat ke sana kemari saking bahagianya mendengar sang mamah akan pulang setiap hari bertemu dengannya. Apalagi, dalam kurun waktu yang tidak lama, Alex akan masuk ke sekolah dasar, dan Maria yang akan mengurus segala keperluan Alex untuk sekolah. Tak tanggung-tanggung, Maria mendaftarkan Alex ke sekolah dasar yang berasal dari kalangan orang-orang elite.

Menginjak usia 7 tahun Alex pun masuk ke sekolah dasar dan sebelum berangkat ke kantor Maria selalu mengantarkan Alex untuk ke sekolah terlebih dahulu. Alex juga selalu dibawakan bekal oleh Maria untuk jam istirahat sekolah.

"Anak Mamah sudah besar ya." Ucap Maria saat merapihkan seragam yang dipakai oleh Alex.

"Karena aku selalu diberi makan oleh Mamah, makanya aku semakin besar." Kata Alex memandang wajah sang Mamah.

"Hahaha, dan makin pintar juga." Balas Maria mencubit lembut hidung Alex.

"Mah, nanti pulang kerja jam berapa?" Tanya Alex.

"Emm, Mamah kurang tau sayang. Tapi, hari ini kamu dijemput oleh pak Diding dulu ya." Jawab Maria.

"Siap!" Alex memberi hormat pada Maria, sehingga membuatnya tertawa.

"Mau jadi polisi rupanya anakku ini." Ujar Maria.

Alex menggeleng cepat. "Bukan polisi mah. Tapi, aku mau jadi tentara."

"Wow, hebat! Apa alasannya mau jadi tentara?"

"Mau jaga mamah, papah, dan negara." Jawab Alex dengan suara polosnya, lalu tersenyum pada mamahnya.

"Mamah dukung kamu. Sini, peluk." Alex langsung memeluk Maria dan tidak ingin pernah ia lepaskan.

Semua kehidupan keluarga mereka terlihat baik-baik saja. Sampai suatu hari Maria mulai berubah sikap pada keluarganya, terutama pada Alex.

Maria sudah tidak lagi mengantarnya sekolah maupun menjemputnya. Alex menyadari perubahan sang mamah padanya, namun lagi-lagi ia mencari alasan positif yang masuk akal kenapa mamahnya berubah drastis. Ia mencari-cari alasan yang pas untuk membuat dirinya tenang dalam menanggapi sikap mamahnya. Tetapi, kali ini semua alasan yang ia punya tidak membuat dirinya puas. Justru Alex kecil penasaran dengan apa yang dilakukan oleh mamahnya di luar sana.

"Kenapa mamah begitu sibuk? Sampai-sampai tidak sempat lagi untuk bermain denganku? Apa yang membuat mamah lupa denganku?"

Sekarang hanya pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang berada di dalam benak seorang Alex.

Pernah ia menceritakan sikap perubahan Maria kepada Adriansyah, namun jawaban yang diberikan papahnya tidak cukup untuk membuat hatinya puas.

Sehingga sampai 5 tahun lamanya Alex membiarkan sesuatu yang telah merenggut kasih sayang Maria padanya pergi dengan waktu yang akan menjadi kenangan bagi dirinya. Sesuatu yang akan ia temukan sendiri.

Alex memang satu atap dengan Maria. Tetapi, bukan sebagai mamahnya, melainkan sebagai orang lain. Ia hanya melihat raga seorang Maria, tidak dengan jiwanya.

Kini manginjak usia 13 tahun, semua sikap Alex berubah total. Ia menjadi anak remaja yang nakal, dingin, cuek, tidak peduli pada siapa pun dan susah diatur. Ia pikir dengan perubahannya seperti itu Maria akan menggubrisnya dan memarahinya. Namun, dugaannya salah. Justru Maria tidak peduli dengan Alex, sehingga membuat Alex menjadi benci pada sosok mamahnya.

Semua sikap Alex cepat-cepat di laporkan oleh para asisten rumah tangganya kepada Adriansyah. Sehingga Adriansyah harus segera pulang cepat untuk melihat keadaan anak laki-lakinya itu.

"Alex." Panggil Adriansyah, yang sedang duduk di sofa ruang keluarga. Melihat kepulangan papahnya Alex tidak mengucapkan sepatah katapun, ia hanya memandang papahnya.

"Duduk sini!" Suruh Adriansyah.

"Ada apa?" Tanya Alex, tetap berdiri tanpa mempedulikan suruhan Adriansyah.

"Duduk dulu! papah mau bicara."

"Mau bilang kalau lusa papah akan pergi keluar kota untuk beberapa bulan, iya?" Kata Alex dengan nada ketus pada Adriansyah.

"Papah udah cancel semua kerjaan di luar kota. Sekarang papah mau di rumah bareng sama kamu." Ucap Adriansyah.

"Kenapa baru sekarang papah cancelnya? Setelah aku berubah? Atau, setelah mamah menjadi orang lain!" Ucapan Alex meninggi. Sampai-sampai para asisten rumah tangganya mengintip dari balik dinding, agar mereka tahu apa pokok permasalahannya sampai kedua majikannya itu bertengkar hebat.

"Kamu ini bicara apa!" Bentak Adriansyah tak mau kalah tinggi dari anaknya.

"Bicara apa? Lima tahun. Udah lima tahun, papah masih tanya apa yang aku bicarakan! aku bukan anak kecil lagi yang bisa kalian bohongi! Aku tersiksa berada di rumah mewah tapi di dalamnya seperti neraka!" Alex manatap wajah Adriansyah tanpa ada rasa sungkan sedikit pun.

Plak!

tamparan itu mendarat mulus dipipi kanan Alex.

"Percuma saya bicara dengan Anda!" Alex pun pergi meninggalkan Adriansyah sambil memegangi pipinya.

"Alex! Alex papah belum selesai bicara!" teriak Adriansyah. Namun, telinga Alex seakan tertutup rapat dan tidak menoleh pada panggilan papahnya.

Akhirnya Adriansyah melihat segala perubahan anak laki-lakinya. Setelah sekian tahun, Alex masih berpura-pura untuk bersikap baik padanya. Tetapi sekarang, justru Alex bagaikan singa liar yang susah sekali untuk diatur.

Kini ia hanya berharap bahwa Maria hanya pura-pura merubah sikapnya, supaya keluarganya kembali normal seperti dahulu. Namun malam itu Maria pulang jam 2 pagi, dengan bau alkohol yang menyengat. Sehingga Adriansyah berdiam diri sampai istrinya sadar untuk diajak bicara.

Keesokan paginya Alex sudah berada di meja makan untuk sarapan. Ia mendengar keributan yang terjadi pada kedua orangtuanya. Awalnya, ia biasa-biasa saja mendengarnya, namun lama kelamaan membuat dirinya geram, ia pun menyudahi sarapannya dan pergi keluar tanpa ada yang tahu ke mana Alex pergi.

"Den Alex mau ke mana?" Tanya pekerja kebun di rumahnya.

Bukannya menjawab Alex malah mempercepat langkah kakinya, supaya cepat keluar dari rumah yang dahulunya begitu harmonis kini berubah menjadi seperti neraka dengan seketika.

Alex terus berjalan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun, hingga tibalah ia di sebuah rumah yang sederhana. Di sana tampak seorang anak perempuan seusia Alex sedang bercanda dengan ibunya. Awalnya, Alex tidak mau menghampiri mereka, namun kehadirannya dari jauh sudah terlihat oleh sang ibu dan anak perempuan tersebut, dengan ramah ibu itu menyuruh Alex masuk ke dalam rumahnya.

Alex duduk di samping anak perempuan yang terlihat begitu gembira melihat kedatangan Alex, mereka memang seringkali menghabiskan satu hari penuh hanya untuk bermain hujan-hujanan atau bermain apapun yang membuat anak perempuan itu tertawa.

"Kamu sudah makan nak?" Tanya Maya, ibu dari anak perempuan itu.

Alex hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Bu, apa kita akan pergi? sedangkan ada Alex di sini?" Tanya anak itu sambil memandang wajah ibunya.

"Kalian mau pergi ke mana?" Tanya Alex.

"Ke rumah Nenek Lex." Jawab anak perempuan itu.

"Kapan kembalinya?" Tanya Alex lagi, menatap anak perempuan itu yang beradu pandang dengan ibunya.

"Belum tau. Soalnya kantor ibu lebih dekat di sana." Jawab ibu Maya.

"Oh, gitu. Ya udah, semoga kalian selamat sampai tujuan. Saya pergi dulu." Ujar Alex meninggalkan mereka.

Alex merasakan kesedihan yang teramat dalam. di saat kedua orangtuanya mulai jauh darinya, kini Sandra pun ikut pergi bersama waktu yang tidak di tentukan. Tanpa perlu tahu apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya.

Alex duduk di bawah pohon besar untuk menenangkan jiwanya, sambil memandang lurus ke depan. Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi, ia menangisi semua yang telah terjadi pada hidupnya, terutama pada keluarganya.

"Den Alex."

Alex kaget mendengar suara yang memanggil namanya. Ia langsung menoleh sambil mengusap air matanya. Ternyata itu adalah Pak Budi, tetangga Alex yang berada di belakang rumahnya, atau lebih tepatnya berada di belakang komplek rumahnya.

"Eh, pak Budi. Ada apa pak?" Tanya Alex, berusaha menormalkan sikapnya, supaya tidak terlihat bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya.

"Saya pikir tadi siapa, gak taunya den Alex." Jawab Pak Budi.

"Jangan panggil saya 'den Alex' pak, panggil Alex aja. Biar lebih akrab." Kata Alex mencoba tersenyum.

"Memangnya kalau saya panggil 'den Alex' tidak terdengar akrab gitu?" Tanya Pak Budi.

"Akrab sih, tapi terdengar seperti ada jarak pak, hehehe."

"Kamu kok gak sekolah?" Tanya Pak Budi, ikut duduk di samping Alex sambil memandang wajahnya.

"Gak jadi." Jawabnya.

"Loh, kenapa gak jadi?" Tanya Pak Budi.

"Udah gak semangat. Kalau pagi-pagi dengar papah sama mamah bertengkar." Alex mulai menceritakan keluh kesahnya pada Pak Budi. Memang hanya seorang teman yang dibutuhkan Alex saat ini.

"Kenapa mereka bertengkar? Pasti kamu nakal ya? hehehe."

Alex senyum melihat Pak Budi yang sedang mencoba untuk menggodanya. Namun, senyuman itu hanya beberapa detik saja lalu menghilang saat Alex mengingat kedua orangtuanya.

"Saya nakal cuma ingin cari perhatian mereka pak." Ucap Alex. Memandang lurus dengan tatapan kosong.

"Anak laki-laki seusia kamu itu wajar kalau nakal. Tapi, kalau udah gak peduli pada orangtua itu udah gak baik. Bagaimanapun sikap papah sama mamah ke kamu, mereka itu tetap orangtua kamu yang menginginkan Alex seperti dulu. Bapak tau dulu kamu seperti apa. Kamu anak penurut, cerdas dan kebanggaan orangtua kamu."

Pak Budi memberikan nasihat-nasihat kepada Alex, supaya rasa kecewa yang saat ini sedang ia rasakan bisa berkurang walaupun hanya sedikit.

"Pak, Alex yang dulu masih ada kok di diri saya. Tergantung orang lain memandang saya, menyikapinya, dan menilai saya seperti apa,"

"Saya gak punya teman pak." Lanjutnya.

Pak Budi langsung merangkul Alex dan memeluknya erat sekali seperti memeluk anaknya sendiri. Alex pun begitu kangen pada pelukan papahnya, sehingga Pak Budi bisa mengobati rasa rindunya akan pelukan hangat dari papahnya.

Sejak saat itu ke mana pun Alex pergi Pak Budi selalu tahu, bahkan jika Alex ada masalah, Pak Budi lah yang menasihatinya, hingga sampai Alex menginjak bangku SMA. Semua cerita tentang Alex Pak Budi tahu, dan ia simpan rapat-rapat kenangan pahit seorang Alex yang entah bisa berubah menjadi manis atau tidak, hanya Alex yang bisa menjawabnya dan mengubahnya sendiri.

Setelah melepas unek-unek pada Pak Budi, Alex pun pamit untuk pulang ke rumah.

Ia masuk ke rumahnya tanpa peduli dengan tatapan para asisten rumah tangganya yang penuh dengan keingintahuan ke mana dirinya pergi, saat kedua orangtuanya bertengkar hebat pagi tadi.

Di ruang keluarga Alex hanya melirik papahnya yang sedang baca buku tentang bisnis, lalu ia segera berlari menuju kamarnya untuk beristirahat.

Namun Alex bangun dari istirahatnya, karena mendengar kedua orangtuanya bertengkar lagi. Dan kali ini ia mencoba untuk mendengarkan baik-baik apa sebenarnya permasalahan mereka. Alex mendengar bahwa papahnya meneriaki dan memaki-maki mamahnya dengan sebutan perempuan "******" bahkan tidak tanggung-tanggung seorang Adriansyah mengatakan bahwa Maria telah hamil dengan laki-laki lain.

Betapa terkejutnya Alex mendengar semua permasalahan yang tengah di hadapi oleh keluarganya, ia duduk di atas kasur terpaku sambil berpikir bahwa, "betapa rendah seorang Mamahnya, hingga memberikan sesuatu yang bukan menjadi hak orang lain."

"Apa hanya karena uang? sehingga mamah rela menghancurkan hati Papah dan aku?"

"Apakah semua perempuan di dunia ini bisa dibeli dengan uang, ketampanan, dan rayuan?"

Tangan Alex langsung mengepal jika ia mengingat sosok perempuan. Dan sejak saat itulah Alex tidak pernah peduli bagaimana rasa sakit para perempuan yang telah ia khianati, yang telah ia sakiti, karena baginya itu balasan atas apa mamahnya lakukan, dan ia hanya ingin para perempuan merasakan perasaannya dan papahnya.

Sekitar pukul 7 malam Alex keluar dari kamarnya setelah sudah tidak ada lagi keributan yang ia dengar.

"Mau ke mana kamu?!" Suara Adriansyah terdengar sangat marah saat bertanya pada Alex yang tengah berdiri di depannya.

"Keluar." Jawab Alex santai dengan jaket yang ia pegang di tangan kirinya.

"Keluar ke mana?!"

"Bukan urusan Papah." Alex berjalan tanpa peduli bahwa Adriansyah berteriak memanggil namanya dengan sangat emosi.

Alex berjalan keluar komplek dan memasuki kawasan kampung untuk menemui Pak Budi yang sedang berjualan soto bersama istrinya. Ia datang ke warung Pak Budi sehingga disambut hangat olehnya. Alex pun memilih tempat duduk yang jauh dari para pelanggan Pak Budi supaya mereka tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi pada dirinya. Pak Budi duduk di dekat Alex sambil membawakan teh hangat, karena dia tau bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi lagi pada Alex.

"Minum dulu." Ucap pak Budi menaruh teh hangatnya di atas meja.

"Makasih pak."

"Ada apa?" Tanya Pak Budi lembut.

"Mamah hamil pak." Jawab Alex sambil menggenggam gelas minumannya.

"Wah, bagus dong! Berarti kamu punya tanggung jawab besar. Soalnya kamu akan punya adik." Ujar Pak Budi dengan cengiran kudanya yang sengaja ia tampilkan agar Alex merasakan kebahagiaannya.

"Papah saya Adriansyah, lalu siapa Papah adik saya?" Tanya Alex memandang Pak Budi yang sedang berpikir untuk menjawab pertanyaannya.

"Emm, gini-gini, kamu dengerin bapak ya, walaupun papah kamu gak mengakui bahwa yang berada di perut Mamah adalah anaknya. Ya sudah, biarin aja. Tapi kamu, suatu saat adik kamu yang akan menjadi tanggung jawab kamu nantinya." Jawab Pak Budi.

"Mamah jahat! Dia selalu menimpakan masalahnya pada saya!" Emosi Alex selalu memuncak jika mengingat tentang mamahnya.

"Jangan bilang mamah kamu jahat, biar bagaimanapun, dia adalah Mamah kamu." Pak Budi mencoba meredam emosi yang berada di dalam diri Alex.

"Saya gak tau sampai kapan harus memanggilnya Mamah. Em, ya udah, saya pamit pulang dulu pak. Makasih udah mau dengerin curhatan saya." Ucap Alex, berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan pergi. Pak Budi memandang tubuh Alex yang semakin lama menghilang di telan malam.

...*****...

Alex sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Bertambahnya usia Alex tidak merubah sikapnya, justru ia semakin menjadi anak yang nakal. Ia juga menjadi anak perokok, bahkan jarang sekali ia berada di rumah.

Waktunya ia habiskan untuk bermain bersama Dewa dan Satria yang sekarang menjadi sahabatnya di SMK. Bisa dihitung oleh jari beberapa kali Alex pulang ke rumah hanya sekedar untuk melepaskan rasa rindunya pada kamar tidurnya.

Suatu ketika Alex hendak pergi keluar rumah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Kia sedang main boneka sendirian, ia menghampirinya lalu menatap wajah adiknya sebentar.

"Wah! Kia lagi main sama kakaknya ya." Kata salah satu asisten rumah tangga yang tak sengaja datang menghampiri Kia.

Alex berdiri, "kalau saya main sama dia! Lalu tugas kalian apa!" ia segera pergi meninggalkan Kia yang menangis minta digendong oleh Alex. Namun tangisannya tidak membuat Alex berhenti.

Sebenarnya Alex tahu bagaimana rasanya jadi Kia. Adik yang terlahir beda Papah dengannya, bahkan tanpa Papah. Kehadirannya sungguh tidak di inginkan oleh siapa pun, apalagi Maria selalu mencoba untuk menggugurkan Kia saat ia masih berada di dalam kandungannya.

Dan Tuhan pun berkehendak lain, Kia lahir dengan sehat tanpa kurang apa pun. Di dalam diri Alex ada keinginan untuk berbaik dengan adiknya. Namun lagi-lagi kebenciannya terhadap Maria sudah mengelilingi hatinya, sehingga ia tidak peduli pada Kia.

Hingga suatu malam saat Alex baru pulang ke rumah, tiba-tiba pak Juki, sopir pribadi keluarganya sedang memasukkan beberapa koper ke dalam bagasi mobil dengan rapih.

"Koper siapa pak?" Tanya Alex.

"Emm, ini den, kopernya non Kia." Jawab pak Juki gugup, melihat Alex sudah berdiri di belakangnya.

"Mau ke mana dia?"

"Saya, saya disuruh ibu buat antar non Kia ke panti."

"Apa!" Alex terkejut mendengarnya.

"Iya den, lagi pula bapak juga sudah pergi dari rumah. Oh, iya, ini surat dari bapak buat den Alex."

Dengan perasaan tidak percaya Alex mengambil surat dari papahnya, dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan emosi yang menyulut pada Maria, karena mengingat bahwa adiknya akan dikirim ke panti yang ia sendiri tidak tahu apa alasannya.

"Apa-apaan ini!" Alex melempar surat dari papahnya ke wajah Maria yang sedang membereskan beberapa perlengkapan milik Kia.

"Tadi sore papah kamu pamit. Dia udah gak mau tinggal di sini lagi." Ucap Maria santai, tanpa memandang putra sulungnya itu.

"Terus sekarang dia yang mau Mamah singkirkan dari rumah? Mamah udah gak bisa jaga dia? Lalu kenapa dia Mamah lahirkan!" Alex marah-marah sambil menunjuk Kia yang sedang duduk di sofa dekat tv, dengan tangan kanannya memegangi boneka kesayangannya.

Pertanyaan Alex telah membuat Maria geram. "Kamu tuh anak kecil tau apa tentang ini semua!" Bentak Maria pada anak laki-lakinya yang dulu menjadi kebanggaannya.

"Betul. Saya emang gak tau tentang masalah kalian, karena yang saya tau Mamah hanyalah perempuan jahat yang tega membuang anaknya sendiri ke panti! Dan mamah udah gagal jadi seorang ibu! Semua masalah berawal dari mamah! Cuma itu yang saya tau!" Alex keluar dari kamar dengan membanting pintu kamar Kia dan ia pergi menuju kamarnya.

Ia melihat dari jendela kamarnya ke halaman rumahnya, di sana Kia memohon sambil menangis pada mamahnya untuk tidak menyuruhnya pergi. Kia merengek pada Maria, bahwa dia tidak mau berpisah dengan Mamah, Papah, dan kak Alex. Rengekan itulah yang masih terngiang di telinga Alex sampai sekarang.

Dengan perasaan sedih Alex membuka surat dari papahnya.

...Untuk Alex anak papah....

...Maaf, karena Papah sudah tidak bisa jadi Papah yang baik untuk kamu, Papah sudah mengubah semua keadaan di dalam rumah itu menjadi bencana bagi kamu. Bukannya Papah tidak menerima kehadiran Kia di antara kita. Akan tetapi, Papah masih merasa benci jika melihatnya, Papah masih merasa sakitnya di khianati. Tetapi mulai sekarang, perasaan itu semua akan Papah buang jauh-jauh, karena bagaimanapun Kia hanyalah anak kecil yang tidak tau apa-apa....

...Kamu tidak perlu cari Papah karena Papah yang akan mengabari ke kamu. Papah hanya butuh waktu untuk menerima semuanya. Oh, iya, di atas meja belajar kamu sudah ada kunci rumah yang akan kamu tempati bersama Kia, terserah kamu mau tempati rumah itu kapan, yang pasti di sana sudah ada beberapa pembantu dan sopir yang papah sediakan buat kamu dan Kia. Papah yakin kamu marah, kamu benci sama Papah, makanya Papah minta maaf. Dan kamu tidak perlu kesepian karena sekarang ada Kia, dia adik yang baik buat kamu, dan kamu harus janji akan selalu menjaganya. Suatu saat nanti Papah akan menemui kalian berdua....

..."Adriansyah"...

"Apa Papah lepas tanggung jawab? Pah, Kia udah nggak sama aku. Maria udah bawa dia pergi." Ucap Alex pada dirinya sendiri sambil menggenggam surat Adriansyah.

Alex berjalan mengambil kunci rumahnya dan ia taruh di dalam lemari bajunya. Ia merasa bahwa mamahnya tidak tahu sama sekali mengenai rumah yang papahnya berikan untuk dirinya dan Kia.

Sejak kepergian Adriansyah dari rumah, kelakuan Maria menjadi sewenang-wenang. Ia selalu pulang larut malam dengan bau alkohol yang menyengat, dan selalu membawa laki-laki yang dalam satu Minggu bisa Alex hitung berganti hingga 3 kali laki-laki. Dari mulai yang sudah tua, sampai anak SMA pernah Maria bawa ke dalam rumahnya. Alex tidak peduli dengan tingkah laku mamahnya, dan ia juga belum saatnya untuk pindah ke rumahnya. Ia masih menunggu batas kesabarannya agar bisa keluar dari lingkaran Maria. Dan ia juga mau tahu laki-laki mana yang menjadi ayahnya Kia.

Pagi itu Alex meminta alamat panti asuhan kepada pak Juki, ia berniat untuk menjenguk Kia di sana, atau mungkin itu pertemuannya yang pertama dan terakhir kalinya, karena Alex tidak mau melihat Kia sebelum ia benar-benar menerima Kia sebagai adiknya dengan kasih sayang, dan sampai rasa benci yang ada di dalam dirinya hilang jika memandang wajah Kia.

Sesampainya di depan gerbang panti, Alex disambut hangat oleh para pengurus panti tersebut, ia juga meminta dipertemukan oleh Kia.

Dan kedua mata Alex memandang anak kecil yang tengah duduk sendiri, tatapan kedua mata kecilnya memandang lurus ke depan tanpa ada senyuman terukir di wajah imutnya. Alex berjalan pelan lalu duduk di samping Kia.

"Nih buat kamu," Kata Alex, memberikan kotak persegi panjang yang di bungkus dengan kertas kado bermotif Barbie.

"Anggap aja itu saya, supaya kamu tidak kesepian." Lanjutnya.

Kia membuka kotak tersebut dan langsung memeluk Alex tanpa mengucapkan sepatah katapun lalu pergi meninggalkan Alex sendirian. Melihat tingkah Kia yang sangat jauh berbeda waktu berada di rumah, membuatnya sedikit khawatir akan keadaannya. Alex juga meminta tolong kepada para pengurus panti untuk selalu menjaga Kia sepenuh hati mereka.

Hari-hari Alex lalui dengan kenakalan anak remaja, ia selalu bikin rusuh di kelas, ia pembuat onar di sekolah, bahkan hampir setiap hari ia kena marah oleh para guru akibat sering bolos melalui tangga samping sekolah. Sampai-sampai Maria tidak mau lagi peduli dengan apa yang terjadi padanya karena malu dengan tingkah laku Alex.

Semua biaya sekolah Alex di tanggung oleh Adriansyah, dan surat-surat yang dikirim oleh papahnya sudah sangat menumpuk di dalam kamarnya. Sebab, sejak kepergian Adriansyah, Alex sudah tidak lagi membaca surat darinya, ia membiarkan semua surat itu berada di kamarnya.

Kehidupan Alex yang begitu sepi dengan kemewahan yang diberikan oleh papahnya terjadi entah sampai kapan. Karena, kenakalan Alex hanyalah sebuah keisengan untuk membuat dirinya senang dengan caranya sendiri, walaupun itu menyakiti orang lain. Ia tidak peduli bagaimana perasaan orang lain terhadapnya, yang terpenting dirinya bahagia itu sudah cukup. Untungnya Alex memiliki dua sahabat yang begitu setia padanya yaitu Dewa dan Satria, pertemuan mereka pun berawal dari hukuman saat berada di bangku SMP, dan persahabatan mereka sampai ke jenjang SMK. Atau bahkan selamanya, karena bagi Alex mereka melebihi kata sahabat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!