Bel masuk sekolah telah berbunyi, Rinjani lari sekuat tenaga supaya tidak telat masuk ke kelasnya, karena jam pelajaran pertama adalah matematika. pak Wawan bukanlah guru killer seperti guru matematika lainnya, namun ia adalah guru yang setiap penjelasannya jarang ada murid yang memahaminya. Sehingga untuk tidak terjadi hal seperti itu, para murid harus datang tepat waktu daripada telat 5 menit dan tidak akan bisa mengerjakan soal yang ia berikan.
Namun saat di tangga Rinjani jatuh karena pergelangan kaki kanannya terkilir. Membuat dirinya meringis kesakitan, apalagi sudah tidak ada siapa pun di luar kelas. Para siswa-siswi sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Rinjani duduk sebentar untuk menghilangkan rasa nyeri yang ia rasakan sebelum melanjutkannya lagi ke lantai tiga. Di depan toilet lantai dua, ia mendengar suara kerumunan cowok yang sedang mengobrol. Dan saat Rinjani lihat, mereka adalah kelas XI Marketing A, bahkan kakak kelas itu ada di sana sedang memandangi dirinya.
"Sini aku bantu." Ucap cowok itu, meraih tangan Rinjani untuk berada di pundaknya, tetapi Rinjani langsung menolaknya.
"Pak Wawan udah masuk ke kelas, kalau mau cepat sampai biar aku bantu." Ucapnya.
Rinjani langsung menoleh ke cowok tersebut dan di balas dengan senyuman.
"Kenapa kamu baik sama aku?" Tanya Rinjani.
"Kenapa? Berarti harus di jawab pake alasan ya. Emm, karena kamu penurut." Jawab cowok itu.
"Penurut?" Rinjani mengulanginya.
Cowok itu mengangguk membenarkannya. "Kamu gak tanya ke siapa pun, siapa namaku. Dan menunggu aku yang mengatakannya."
"Oh, ya udah sampai sini aja deh, aku bisa sendiri." Kata Rinjani mencoba untuk melepaskan rangkulannya.
"Siapa yang akan jadi saksi kalau pak Wawan tanya kamu telat pelajarannya?"
Rinjani menghela nafasnya, "oke." Ucapnya menuruti apa yang dikatakan oleh kakak kelasnya tersebut.
Cowok itu membuka pintu kelas Rinjani dan mengajaknya masuk. Semua teman-teman kelasnya menatapnya terkejut karena bisa berduaan dengan cowok yang banyak di gandrungi oleh siswi satu sekolahnya. Dari tatapan mata teman-temannya, Rinjani tahu bahwa di antara mereka tidak menyukainya, apalagi Luna yang semakin membenci dirinya.
"Kakinya terkilir pak waktu lari." Kata cowok itu.
"Oh, ya sudah sekarang kamu balik ke kelasmu." Ujar pak Wawan.
"Iya pak." Ucapnya. Lalu pergi keluar kelas Rinjani dengan siulan yang kencang bahkan sampai terdengar dari dalam kelas.
Jam mata pelajaran pak Wawan telah selesai, kini giliran Bu Juju selaku guru bahasa Indonesia akan datang mengajar di kelas Rinjani. Namun saat mereka sedang menunggu, justru Yahya yang datang dari kantor dan mengatakan bahwa Bu Juju tidak bisa masuk, dan hanya memberikan tugas yang harus dikerjakan. Satu kelas bersorak-sorai, ada yang menaruh kepalanya di meja, ada yang curhat, bahkan sampai ada yang nyanyi-nyanyi sambil memukul-mukul meja. Kebisingan itu biasa dilihat saat tidak ada gurunya, di mana pun sekolahnya akan seperti itu jika tidak ada guru di kelas. Sedangkan Rinjani mengerjakan tugasnya sambil mengurut kakinya yang masih sakit.
Hari itu Indah tidak masuk sekolah karena izin ada urusan keluarga, sehingga Rinjani merasa sendirian lagi. Walaupun sudah biasa, tetapi sekarang ini lain halnya. Teman-temannya membenci Rinjani karena dirinya dekat dengan kakak kelas yang mereka sukai.
"gue gak peduli ya, Kaki lo itu sakit beneran atau nggak! tapi yang jelas gue gak suka liat lo berdua sama cowok yang gue suka!" kata Luna berdiri di samping meja Rinjani.
"Heh! Anak gunung! kalau lo gak mau gue ganggu, jangan pernah deketin sesuatu yang gue suka, ngerti lo!" Ucapnya lagi.
Rinjani hanya menarik nafas tanpa mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas perkataan Luna.
"Kalau orang ngomong tuh jawab!" Bentak Mira salah satu temannya Luna.
Teman? Lebih tepatnya seperti jongos, karena ke mana pun Luna pergi dia selalu ikut dan dengan senang hati disuruh-suruh oleh Luna.
Rinjani mengangkat wajahnya untuk memandang kedua cewek yang tengah melihat dirinya.
"Iya." Rinjani selalu mengiyakan apapun yang dikatakan oleh Luna. Supaya dia cepat pergi dari pandangannya.
Tenggorokan Rinjani merasakan haus, biasanya ia selalu membawa air minum dari rumah, tetapi karena kesiangan ia pun lupa untuk membawanya. Ingin membeli ke koperasi, namun ia harus bersusah payah menahan sakit kakinya lagi. Jadi Rinjani hanya menaruh kepalanya di atas meja dengan beralaskan tas ranselnya sambil menahan haus sampai jam pulang tiba.
Hmmm, susah juga gak ada Indah. Gak ada yang bisa di minta tolong buat beli air minum!
Satu botol air minum kini berdiri tegak di depan wajah Rinjani. Membuat dirinya mengangkat kepala dan melihat siapa orang yang sudah mengerti keadaannya saat ini.
"Tadi pak Joko gak ada kembaliannya, jadi aku ambilin air minum itu." Ucap cowok itu duduk di samping Rinjani.
"Nggak mungkin pak Joko gak ada kembaliannya, harga botol minumnya kan 4 ribu bukan gope." Ujar Rinjani di dalam hatinya.
"Siapa nama kamu?" Tanya Rinjani.
"Adri." Jawabnya.
"Oh."
"Kaki kamu masih sakit?" Tanyanya. Melihat ke bawah meja dan mendapati Rinjani melepas sepatunya.
Adri berdiri menggeser kursi tempat duduk Indah, lalu jongkok memegang kaki Rinjani dan menyuruhnya untuk menghadapkan kedua kakinya ke arah dirinya.
"Eh, jangan-jangan, gak usah." Tolak Rinjani.
"Di Jam pelajaran siapa kamu buka sepatu?" Tanya Adri mengeluarkan minyak kayu putih dari kantong celananya.
"Jangan! udah mau masuk nanti dilihat sama teman-temanku." Cegah Rinjani lagi sambil melihat ke pintu kelasnya.
"Bu Juju gak masuk karena sakit, dan pak Rio ada rapat. Jadi kelas kita sama-sama kosong." Adri mulai mengurut kaki Rinjani dengan lembut.
Dan tak lama satu persatu teman-teman Rinjani masuk ke kelas dengan pandangan mengarah ke Rinjani dan Adri. Mereka menyinyir Rinjani dengan berbagai perkataan yang cukup pedas, mereka mengira bahwa kakak kelasnya itu di pelet oleh temannya yang bernama gunung, bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa Rinjani merayunya dengan tubuh mungilnya itu, sehingga cowok tampan itu rela mengurut kaki Rinjani.
"Udah selesai, gimana? Udah enakan?" Adri berdiri lalu melihat ke sekelilingnya yang sudah ramai dengan teman-teman Rinjani.
Yang di tanya hanya mengangguk tanpa menatap wajah Adri.
"Aku balik ke kelas ya, gak tau kalau udah rame gini." Bisik Adri sambil tersenyum.
Lagi-lagi Rinjani mengangguk dan lupa bahwa dirinya belum mengucapkan terimakasih. Setelah Adri keluar, Luna langsung menggebrak meja. Sampai-sampai ruang kelas menjadi hening dan pandangannya beralih pada Luna.
"Selain anak gunung ternyata lo cewek penggoda juga ya! sakit lo jadi alasan buat deketin cowok!" Teriak Luna.
Semua orang tahu yang di maksud Luna adalah Rinjani, namun Rinjani tidak pernah menanggapi apapun yang dikatakan olehnya sehingga tidak terjadi ribut antar perempuan.
"Dasar cewek murahan!"
Wajah Rinjani menatap tajam kepada Luna, ia tidak terima jika dirinya di bilang murahan. Maksudnya, Rinjani belum pernah sekali pun pacaran, lalu kenapa bisa di bilang murahan oleh teman sekelasnya ini.
"lo mau natap gue sampe mata lo copot juga gue gak takut! Karena gue yang berkuasa di sekolah ini! Ngerti lo!" Luna menunjuk wajah Rinjani, "Kalau sampai gue lihat lo berduaan lagi sama dia, gue akan buat diri lo menderita!" Ancam Luna.
Namun sayang, ancaman atau gertakan yang Luna berikan tidak membuat rinjani takut. Justru Rinjani tidak meladeni setiap apa yang dikatakan oleh anak pemilik sekolahnya itu. Ia lebih milih menulis surat di kertas yang seperti biasa ia lakukan lalu memasukkannya ke dalam amplop dan mengirimnya melalui pos. Padahal sudah zaman canggih, ada ponsel jika mau menghubungi seseorang, tetapi tidak dengan Rinjani, ia lebih memilih melakukan hal seperti zaman dulu lagi. Dan itu membuatnya terkesan.
Semua siswa merasa bahagia jika mendengar bel pulang sekolah. Walaupun ada guru di kelas pasti sekitar 10 menit sebelum waktunya pulang sudah ada yang membereskan perlengkapan tulisnya, bahkan saking senangnya sampai ada yang memendamnya di hati mereka dan terpancar melalui wajah yang berseri-seri.
Kelas sudah kosong, jam sudah menunjukkan pukul 2 siang sedangkan Rinjani masih berada di dalam kelas sendirian, ia sengaja melakukan itu supaya saat ia turun sudah tidak ada lagi siswa-siswi yang hilir mudik. Perlahan Rinjani memakai sepatunya untuk bisa pulang ke rumah karena Adri pun tidak ada di depan kelasnya yang berencana mau membantu.
Saat sudah di depan kelas kedua mata Rinjani melihat ada saung yang berada di halaman belakang sekolah. Akhirnya dengan jalan terpincang-pincang ia memutuskan untuk pergi ke sana sebelum ia pulang ke rumah.
Sesampainya di saung, ia melihat ada pot bunga Anggrek yang begitu indah. Rinjani duduk dan memegang pot tersebut, lalu mencium aroma dari bunga mawar itu. siapa yang menaruh bunga ini di dalam saung? Siapa dia?. Pikiran Rinjani langsung bermain untuk mengira bahwa ada seseorang yang sudah lebih dulu mengetahui tempat ini, atau memang orang itulah yang membangun saungnya. Tiba-tiba suara langkah kaki semakin dekat dan itu adalah Adri yang datang berdiri memandang Rinjani.
"Saung ini udah ada dari dulu cuma terbengkalai. Jadinya aku yang benerin. Yah, lumayanlah bisa buat istirahat." Kata Adri.
Pandangan Rinjani masih tertuju pot bunga Anggrek di dalam saung sehingga Adri harus menjelaskannya lagi.
"Itu punya seseorang."
Perkataan dari Adri sukses membuat pandangan Rinjani berpaling pada dirinya.
"Seseorang?" Rinjani memastikan siapa seseorang yang di maksud oleh lawan bicaranya itu.
"Dia begitu cerewet ingin bunga dariku, jadi aku belikan beserta potnya biar dia puas." Jawabnya.
"Kenapa gak dikasih?" Tanya Rinjani.
"Udah banyak bunga Anggrek yang ia punya. Jadi kalau kamu mau, bawa pulang aja. Aku tau kamu suka bunga." Ucap Adri mengeluarkan seputung rokok dan menyelipkan di bibirnya.
"Itu buat orang, kenapa harus aku yang bawa, Gak mau!" Tolak Rinjani dengan tegas.
Adri tersenyum melihat ekspresi adik kelasnya itu. "Kamu juga orang 'kan?"
"Gak mau! Bunga itu pasti buat cewek yang kamu suka kan? Kamu mau bilang bahwa kamu cinta sama dia, tapi sayang kamu terlambat. Karena dia udah jadi milik orang lain."
"Jangan jadi paranormal." Adri memicingkan matanya, ia tidak menyangka kalau Rinjani bisa bicara sepanjang itu.
"Aku gak jadi paranormal. Tapi aku tau maksud ucapan kamu, Adri." Rinjani menekankan suaranya saat mengucapkan nama kakak kelasnya.
"Aku mau balik pulang. Ternyata kamu lebih cerewet dari yang ku kira." Ujarnya.
"Oh, iya, satu lagi. kalau kamu manggilku dengan nama Adri, aku yakin satu sekolah tidak akan tau bahwa yang kamu maksud adalah diriku. Dan, ku pastikan bunga Anggrek itu layu karena di biarkan di saung seperti ini tanpa ada orang lain yang merawatnya." Setelah bicara panjang lebar Adri pun berjalan meninggalkan Rinjani berdua dengan bunga Anggrek tersebut.
"Dan kamu tidaklah setampan yang mereka kira, karena sudah beraninya bilang aku cerewet." Gerutu Rinjani berdiri. Namun matanya menatap bunga Anggrek lagi. Akhirnya ia pun membawa bunga itu pulang daripada harus layu.
Sepertinya saung ini akan menjadi tempat persembunyian Rinjani kalau sewaktu-waktu ia di kerjai oleh Luna dan teman-temannya. Bahkan saung ini juga nantinya yang akan di jadikan oleh Rinjani untuk menulis surat demi surat yang akan ia kirim ke Jogja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments