Sekarang Fahmi sudah tidur, apa lagi yang kamu tunggu", kata Sulastri setelah memastikan Fahmi benar-benar telah tidur.
Bagas mengatur nafasnya. Ia menatap wajah Sulastri dalam. Ia memberi isyarat dengan gerakan kepalanya agar Sulastri mengikutinya ke ruang tamu.
"Ada yang harus aku bicarakan denganmu. Ini mungkin akan menyakitimu," kata Bagas memulai pembicaraan begitu keduanya telah duduk di kursi ruang tamu. Sulastri mendesah. Ia sama sekali tak tertarik bertanya. Ia hanya diam menunggu kata-kata Bagas selanjutnya.
"Aku minta maaf jika selama ini aku mentelantarkan kalian." Bagas terdiam sejenak. Ia menundukkan wajahnya sembari melirik ke arah Sulastri. Dia tahu Sulastri akan marah setelah mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Tapi hanya Sulastri yang bisa menyelamatkannya hari ini. Bagas mengangkat pelan wajahnya.
" Setelah semua proyekku gagal dan aku harus mengembalikan kerugian kepada perusahaan, hidupku hancur dan terpaksa aku terjerat judi yang panjang dan hutang yang menumpuk. Aku ingin bertaubat dan memperbaiki hidupku, namun aku tak bisa karna hutang yang menjeratku memaksaku berbuat yang tidak aku inginkan," Bagas menghentikan pembicaraannya. Ia terlihat mengusap air matanya. Sulastri memandangnya. Mendengar cerita Bagas, ia mulai terpengaruh. Selama ia menikah dengan Bagas, ia tak pernah melihat Bagas semenyesal itu. Ia berpikir mungkin kali ini ia benar-benar menyesali perbuatannya.
"Sekarang aku tak tahu lagi sampai kapan aku bisa bertahan. Mereka akan membunuhku jika aku tak segera melunasi hutangku. Aku tidak punya daya lagi untuk mencari uang sebanyak itu,"
"Berapapun hutangmu, aku tidak bisa membantumu. Untuk memberi makan anak-anakmu saja aku tak bisa,"kata Sulastri. Bagas mengangguk kecil. Agak lama ia terdiam. Matanya sesekali menatap wajah Sulastri yang masih terlihat penasaran dengan apa yang akan ia katakan. Bagas menunduk. Ditelannya ludah dalam-dalam sebab kerongkongannya terasa kering.
"Aku terpaksa mengorbankanmu Lastri, maafkan aku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kumohon maafkan aku." Bagas bersimpuh di hadapan Sulastri. Sulastri keheranan, apalagi saat Bagas mencium kakinya. Apa gerangan yang telah dilakukan Bagas sampai-sampai bersujud seperti itu kepadanya? Batinnya. Ia berusaha menyingkirkan kepala Bagas dari kakinya, tapi Bagas erat memegang kakinya. Bagas terus menangis. Sulastri mulai curiga.
"Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak akan berhenti bersujud di kakimu sebelum kamu berjanji tidak akan marah kepadaku,"kata Bagas.
"Tapi aku tidak mengerti apa maksudmu. Apa yang telah kamu lakukan sehingga aku harus marah, singkirkan kepalamu dari kakiku,"
Tangis Bagas semakin menjadi-jadi. Air matanya membasahi kaki Sulastri.
"Maafkan aku karna telah menjadikanmu jaminan hutangku." Sulastri kaget, spontan ia mendorong tubuh Bagas dengan kakinya.
Sulastri berdiri dan menatap tajam ke arah Bagas yang tertunduk, masih dengan posisi bersimpuh.
"Jaminan apa yang kamu maksudkan. Jaminan apa!" kata Sulastri berteriak. Ia mendekat ke arah Bagas dan menarik bajunya.
"Katakan, aku kamu jadikan jaminan apa," Sulastri kini mulai menjambak rambut Bagas karna masih saja tak memberinya jawaban. Sesekali di tempelengnya wajah Bagas.
"Maafkan aku. Aku menjualmu karna aku tidak bisa melunasi hutangku. Dia akan membunuhku," kata Bagas.
Mendengar itu, amarah Sulastri semakin memuncak. Kali ini ditendangnya wajah Bagas sehingga terkapar di lantai. Ia meringis dan menggelepar di lantai. Puih! Sulastri meludahi muka Bagas.
Sulastri meninggalkan Bagas yang masih terkapar di lantai. Ia memilih menangis di sisi ranjang. Menatap satu persatu wajah anak-anaknya.
Ujian demi ujian tak henti menghampiri hidupnya. Disaat ia ingin tetap menjaga keimanannya agar tidak goyah ditengah kemiskinannya, kini ia akan melakukan sesuatu yang tak pernah terpikir dalam hidupnya. Parahnya lagi, sesuatu itu bukan keinginannya. Mantan suaminya tak henti-henti menimpakan kesusahan untuknya. Beberapa jam yang lalu, ia menyangka mantan suaminya akan berubah. Ia mengira ia akan minta rujuk dan memperbaiki rumah tangga mereka dari awal. Namun kenyataannya, ia datang menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Lantas apa maksud Tuhan mengujinya dengan masalah seperti itu? Apakah ia akan menolak walaupun nyawa ayah anak-anaknya akan melayang. Tapi apa pedulinya ia seandainya laki-laki itu mati. Tak ada manfaatnya sama sekali untuk dirinya. Anak-anaknya nanti akan ia carikan ayah pengganti yang lebih baik, toh, ia datang malam ini bukan untuk mereka, tapi untuk memberitahunya bahwa ia akan dijadikan pelacur.
Sulastri bangkit. Ketika ia menengok ke arah Bagas, laki-laki itu terlihat sudah duduk di kursi, masih dengan meringis memegang kepalanya.
Sulastri melangkah menuju cermin buram di samping ranjang. Di atas kursi kayu ia duduk dan mulai memperhatikan wajahnya. Sisa air mata diusapnya dan mencoba terlihat tegar di hadapan dirinya sendiri.
Mungkin inilah petunjuk untuk dirinya. Kesusahan yang panjang yang telah ia jalani selama ini dirasanya cukup sampai malam ini. Anak-anaknya butuh makan dan sekolah mereka harus dilanjutkan. Usianya kini masih 30 tahun, masih segar dan cantik. Body nyapun tak jelek-jelek amat. Dia hanya belum punya pakaian yang pas untuk membungkus liuk tubuhnya. Payu daranya pun enggak kendor-kendor amat. Ia yakin masih laku jika harus menjadi kupu-kupu di jalanan.
Sulastri mendesah. Keputusannya sudah bulat. Dia harus mengambil resiko itu untuk melanjutkan kembali kehidupannya bersama anak-anaknya. Tak perlu mewah-mewah, anak-anaknya tak perlu menangis lagi jika melihat makanan dan mainan anak-anak lainnya. Sulastri bangkit dan mengangguk mantap di depan cermin. Tatapan matanya yang tajam ke arah cermin seakan-akan memberi semangat untuk dirinya sendiri.
Sulastri melangkah menemui bagas di tempatnya duduk. Melihat Sulastri sudah berdiri di sampingnya, Bagas tak berani menoleh.
"Katakan, dimana dan jam berapa aku harus menemui orang itu," kata Sulastri, masih berdiri bersedekap di depan Raka. Dengan tangan gemetaran, Bagas meraih secarik kertas dari dalam saku bajunya dan memberikannya pada Sulastri. Tanpa menoleh dan ia tetap menunduk.
Sulastri memeriksa tulisan dalam secarik kertas. Agak kusut, tapi ia masih bisa membacanya.
"Besok malam, mulai maghrib kamu sudah harus di di sini menemani anak-anak. Jika sampai kamu tak datang, jangan harap aku mau membantumu,"
Bagas mengangguk.
"Sekarang keluarlah, aku tidak mau melihatmu di sini. Cepat, kemasi barang-barangmu dan segera pergi," kata Sulastri sambil menarik kerah baju Bagas. Bagas bangkit. Setelah mengemasi barang-barangnya, ia lantas keluar dari rumah.
Brak!
Terdengar pintu dibanting dengan keras. Bagas kaget tapi berusaha tak menoleh. Dengan langkah gontai, ia berjalan menyusuri gang.
Suara tokek terdengar membelah hening malam. Mengeruhkan pikiran Sulastri yang masih bimbang untuk memutuskan sesuatu yang pilihannya ada di tangannya. Dia sudah mengobarkan api dan ia tak mau memadamkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments