"Tante, aku boleh susul, Bian?"
"Silahkan saja, mana mungkin Tante melarang kamu."
Sintia tersenyum dan berlalu meninggalkan Kania, bukankah Sintia sudah katakan jika tidak akan menyerah untuk berusaha membuat Bian balik menyukainya.
"Bian, tunggu."
Bian menoleh dan menghentikan langkahnya, kedatangan Sintia bukan yang diharapakan olehnya, dan untuk apa Bian harus menurutinya.
"Bian, aku tidak pernah meminta apa pun dari kamu, kenapa kamu tidak pernah coba untuk menghargai aku sekali saja?"
Bian tak menjawab, biarkan saja Sintia mau berkata apa sekarang, dia bebas dan berhak untuk berbicara pada Bian.
"Kenapa kamu tidak pernah mau untuk memberi aku kesempatan meski hanya satu kali saja?"
Bian berpaling, sekali Bian tidak mau maka akan tetap tidak mau, bukankah Bian sudah sering katakan tentang itu, hanya saja mereka yang tidak pernah mau mengerti.
"Bian, lihat aku."
Sintia menyentuh pipi sebelah kiri Bian untuk menghadapkannya kembali, Bian juga tidak menolak dan menurutinya.
"Apa aku harus memohon sama kamu, aku hanya ingin diberi kesempatan."
"Kesempatan untuk apa, yang akan kita jalani itu pernikahan, kalau sampai terjadi perpisahan kamu sendiri yang akan rugi, kamu yang tidak pernah mau mengerti dengan semuanya, semua resikonya."
"Resiko apa, Bian, aku yakin tidak ada yang tidak mungkin jika kamu akan bisa membalas perasaan aku, kamu hanya harus membuka hati kamu saja."
"Dan aku gak bisa melakukan itu, Sin."
"Ya kenapa, aku tidak pernah berbuat salah sama kamu, selama ini yang aku lakukan hanya untuk bisa buat kamu suka sama aku."
"Tapi apa pun itu, aku gak pernah sedikit pun bisa suka sama kamu."
"Bian."
"Sudahlah, Sintia, aku tidak suka dan tidak setuju dengan perjodohan kita, dan kalau kamu terus setuju dan ikut paksa aku untuk setuju, kamu sendiri yang akan kecewa, dan saat kamu kecewa pun aku tidak akan pernah peduli."
"Jadi sejahat itu kamu sebenarnya?"
"Aku jahat?"
"Kamu memang jahat kan, kamu merasa paling benar dalam segala hal."
"Oh jelas, aku merasa paling benar untuk hidup aku sendiri karena apa yang terjadi dalam hidup aku, hanya aku yang bisa rasakan termasuk juga tekanan perjodohan ini."
Sintia mengernyit, padahal Bian tahu apa yang menjadi alasan orang tuanya menjodohkan mereka, dan bukanlah sudah jelas jika semua itu adalah untuk masa depannya.
"Maaf, Sin, tapi aku gak bisa, dan satu lagi yang harus kamu tahu, aku sudah memiliki pilihan aku sendiri."
"Apa maksud kamu?"
Bian menggeleng dan memasuki kamarnya, biarkan saja, Sintia pasti akan mengerti apa yang dimaksud oleh Bian, bukankah wanita itu pintar jadi tidak akan sulit untuk bisa mengerti apa yang dikatakannya.
Sintia tak bergeming, setelah Bian menghilang dari padangannya, Sintia berfikir tentang apa yang didengarnya.
"### Apa Bian telah menemukan wanita untuk jadi pasangannya sekarang, tapi siapa, bukankah selama ini Bian hanya dekat dengan aku saja."
"Makan, Ra," ucap Dion.
"Terimakasih."
"Dari tadi hanya diam disitu saja?"
Zahra hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Dion, biarkan saja lagi pula itu keinginan Zahra sendiri.
"Kenapa, kamu sedang memikirkan malam nanti?"
"Aku takut, bagaimana kalau aku justru membuat keadaan jadi kacau?"
"Itu sudah pasti, Zahra, gak akan bisa dihindari kalau kamu sampai datang kesana."
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Ya jalan saja, ikuti saja seperti apa keharusannya, kamu kan sudah setuju dengan apa yang telah dijanjikan, Bian."
Zahra Diam, tapi perasaannya jadi tak karuan sekarang, Zahra pasti akan mengecewakan banyak orang dan balasan apa yang akan datang pada Zahra nantinya.
"Sudahlah, jangan terlalu khawatir, apa pun yang akan terjadi nanti, Bian pasti akan tetap bela kamu karena memang Bian yang paling butuh kamu disini."
Zahra masih saja diam, benarkah seperti itu, lalu bagaimana dengan orang tuanya nanti, apa mereka juga akan mau menerima Zahra sama seperti mereka menerima Sintia.
"Kamu mau berubah fikiran?"
Zahra menggeleng, entahlah harus seperti apa Zahra sekarang, Zahra hanya inginkan rumah itu dan lagi bukankah Zahra belum siap hidup sendiri.
Jika Zahra pergi sekarang, entah seperti apa kehidupannya nanti, tanpa siapa pun dan tanpa apa pun yang dimilikinya.
"Zahra," panggil Dion.
"Iya," ucap Zahra malas.
"Kalau Bian berhasil membatalkan perjodohannya dengan Sintia, itu artinya kamu akan memulai kehidupan baru."
"Kehidupan baru .... memangnya aku akan langsung menikah dengan Bian?"
"Tidak, tapi kehidupan baru dimana akan ada beberapa orang yang membenci mu."
Zahra kembali diam, tentu saja hal itu sudah terfikirkan oleh Zahra sejak kemarin, Zahra tahu pasti akan mengecewakan mereka dan pantas saja jika mereka akan membenci Zahra.
"Tapi ya sudahlah, biarkan saja karena ada Bian yang akan membela kamu, jangan khawatir tentang itu."
Zahra sedikit tersenyum dan mengangguk, semoga saja Bian memang akan membelanya nanti, karena jika Bian mengabaikannya sudah pasti Zahra akan sangat menderita.
"Sudah, lebih baik kamu makan sekarang, jangan sampai kamu lemas nanti saat bertemu dengan mereka."
"Iya."
"Ya sudah makan, aku mau ke kamar dulu ya."
Zahra mengangguk dan membiarkan Dion pergi dari hadapannya, Zahra melihat jam di ponselnya, kenapa sampai sekarang Bian belum juga kembali dan bahkan untuk sekedar pesan pun tidak Bian kirimkan pada Zahra.
"Dimana lelaki itu sekarang, apa yang harus aku lakukan."
Zahra memainkan asal layar ponselnya itu, kegelisahannya semakin besar sekarang, karena waktu yang terus berjalan dan semakin mendekatkannya pada pertemuan nanti malam.
Zahra tidak bisa menebak akan seperti apa kejadiannya, tapi yang jelas Zahra tahu jika semua hanya akan terjadi masalah, dan yang lebih jelas Zahra adalah pemicu permasalahan itu.
"Atau aku lari saja sekarang, aku tidak perlu menemui mereka dan tidak perlu juga membatalkan perjodohan Bian dengan Sintia."
Zahra mengusap wajahnya, tapi Zahra takut dengan hidupnya jika sendirian di luar sana, Zahra tidak siap dengan kesusahan yang akan dialaminya nanti.
Bian telah menjamin semuanya, dan Zahra akan tetap memiliki kehidupan yang layak, tapi apa harus dengan cara mengecewakan orang lain.
"Apa sejahat itu aku, aku akan menyakiti perasaan wanita lain, wanita yang jelas menginginkan Bian menjadi miliknya."
Zahra memejamkan matanya sesaat, tapi apa pun yang akan terjadi nanti, Zahra sudah setuju dengan semuanya dan Zahra hanya harus menjalaninya sekarang.
"Semoga saja tidak akan ada kekacauan, apa lagi sampai kebencian, aku tidak mau dibenci oleh siapa pun juga karena aku hanya ingin mempertahankan rumah milik ku saja."
Zahra mengangguk dan kembali berkutat dengan ponselnya, Zahra mengirim pesan pada Bian yang entah dimana sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments