Bian menghentikan mobilnya di halam rumah Dion, Zahra mengernyit melihat sekitar sana.
"Kok kamu bawa aku kesini sih?"
Bian menoleh dan mengangguk, lalu mau dibawa kemana wanita itu.
"Kenapa ih?"
"Ya memangnya kenapa, kamu aman disini gak akan ada yang ganggu kamu."
Zahra berdecak tanpa mengatakan apa pun lagi, lalu Bian akan meninggalkannya di rumah itu sendirian, jahat sekali lelaki itu tega meninggalkan Zahra di tempat asing.
"Bian."
"Apa, ayo keluar."
"Aku takut, memangnya gak ada tempat lain?"
"Gak ada Zahra, sudahlah sekarang kita gak ada banyak waktu untuk memilih, lagi pula nanti malam kita akan kembali ke rumah."
"Ya tapi kan gak untuk tinggal disana."
"Ya sudah, yang penting sekarang kamu ada tempat dulu saat ini."
Zahra diam tak mengatakan apa pun lagi, terserah Bian saja, malas juga tiap bicara harus berdebat.
"Ayo keluar."
"Ya sana duluan, izin dulu, kalau sudah dapat izin baru aku keluar."
"Ngelunjak ya."
"Biar saja."
Bian mengernyit dan keluar, memang menjengkelkan sekali wanita itu, Bian berjalan dan mengetuk pintu rumah Dion.
Beberapa saat menunggu, lelaki itu membuka pintunya.
"Ada apa?"
"Aku mau titip wanita itu lagi?"
"Wanita mana?"
"Zahra."
Dion mengernyit dan melirik mobil Bian disana.
"Dia gak akan membuat kekacauan lagi sekarang, percayalah kita sudah sepakat dengan semuanya."
Dion tak menjawab, apa bisa dipercaya semua itu, tapi kenapa harus ke rumah Dion, bukankah dia ada rumah sendiri.
"Dion, sampai malam ini saja, selesai pertemuan dengan keluarga Sintia, aku akan bawa dia kembali pulang."
"Yakin?"
"Yakin."
Dion mengangkat kedua bahunya sekilas, terserahlah kalau memang seperti itu.
"Boleh ya?"
Dion mengangguk saja, malas juga berdebat, nanti saja kalau Bian tidak membawanya pulang saat malam, baru Dion akan mendebatnya.
"Thanks ya."
"Iya, sudah sana bawa masuk."
Bian mengangguk dan berjalan kembali ke mobil, Bian mengetuk kaca mobilnya dan pintu pun terbuka.
"Ayo, Dion izinkan kamu menunggu di rumahnya."
Zahra lantas keluar dengan membawa barangnya, Zahra mengikuti langkah Bian di depannya.
"Cuma sampai malam ini ya."
"Iya tenang saja, cuma sampai malam ini."
Dion mengangguk dan membiarkan keduanya memasuki rumah, lagi pula Dion akan pergi sekarang dan tidak ada salahnya jika Zahra diam di rumahnya.
"Kamu tunggu disini ya, aku mau pergi dulu."
"Pergi kemana?"
"Kemana saja, nanti aku balik lagi kesini, perginya juga cuma sebentar saja."
"Gak mau, aku mau ikut."
"Apaan sih ikut-ikut, tunggu saja disini."
"Gak mau, aku takut."
"Takut apa?"
"Takut ...."
"Jangan khawatir, aku juga mau pergi kok, jadi kamu bisa sendirian saja disini."
Dion menyela kalimat Zahra, tentu saja Dion mengerti apa yang menjadi maksud Zahra.
"Mau kemana memangnya?" tanya Bian.
"Mau ke tempat kerja sebentar."
"Bukannya lagi cuti?"
"Iya memang, tapi aku harus kesana."
"Oh, ya sudah kamu disini saja, gak ada yang bikin kamu takut lagi kan?"
Zahra mengangguk saja, baiklah mereka akan meninggalkan Zahra dengan kompak.
Bian mengeluarkan ponselnya dan memberikan pada Zahra.
"Untuk apa, aku punya ponsel sendiri."
"Catat kontak kamu disana, biar aku gampang hubungi kamu."
Zahra menghembuskan nafasnya sekaligus, benar juga jadi Zahra bisa juga bisa menghubungi Bian kapan saja.
Zahra menerimanya dan mencatat nomornya di sana, setelah itu Zahra menyambungkan ke ponselnya sendiri.
Zahra tersenyum dan mengembalikan ponsel Bian lagi, sekarang Zahra tidak akan takut lagi meski ditinggalkan sendirian.
"Ya sudah aku pergi dulu, kamu jangan kemana-mana kalau bukan aku yang ajak."
"Siap, Tuan."
Bian melirik Dion, keduanya tersenyum bersamaan, baguslah kalau memang Zahra bisa mengerti dengan semuanya.
"Pamit ya."
Dion mengangguk dan membiarkan Bian pergi, sekarang tinggal Dion dan Zahra di sana, apa yang harus dilakukan Zahra kenapa Dion hanya diam saja bukankah Dion mengatakan akan pergi.
"Kamu yakin mau nikah sama Bian?"
Zahra menoleh saja tanpa menjawab pertanyaan Dion, Dion duduk dan mengulurkan tangannya.
"Aku Dion, dan mungkin kamu sudah tahu nama aku."
Zahra mengangguk dan menjabat uluran tangan itu.
"Aku Zahra, dan kamu juga pasti sudah tahu aku."
Dion mengangguk, jabatan tangan itu dilepas, iya memang benar karena Bian telah menceritakan semuanya pada Dion.
"Kamu yakin mau ikut rencana Bian?"
"Mau bagaimana lagi, aku mau rumah itu kembali dan aku gak rela banget kalau rumah itu diberikan ke orang lain."
"Orang lain?"
"Ya, Bian akan menikah dengan wanita pilihan orang tuanya, dan hadiah pernikahan itu adalah rumah aku."
Dion mengangguk paham, baiklah kalau memang seperti itu, semoga tidak akan terjadi kekacauan nantinya antara mereka semua.
"Kamu tahu Sintia seperti apa?"
"Tahu."
"Seperti apa?"
"Dia cantik, dewasa, perhatian juga."
Zahra mengangguk, lalu kenapa Bian menolaknya dan malah memilih untuk menikahi Zahra yang jelas anak baru gede.
"Kalian bertemu dimana sih, kok bisa Bian ngebet banget buat menikah sama kamu?"
"Aku ketemu dia baru tiga kali."
"Tiga kali .... tapi Bian sudah langsung mau menikahi kamu?"
"Ya kan gara-gara rumah itu, aku diusir dari rumah aku sendiri dan Bian gak mau nikah sama Sintia, ya jadilah perjanjian itu."
"Ya aku mengerti, ya sudahlah kalau memang kamu setuju, kamu jalani saja asalkan kamu harus siap dengan resikonya nanti."
"Aku juga gak tahu, siap atau tidak, aku gak tahu apa yang akan terjadi nanti sama pernikahan aku dan Bian."
Dion diam, tapi apa pun itu bukankah mereka sudah sepakat dengan semuanya, jadi siap atau tidak siap mereka harus tetap jalani semuanya.
"Zahra, kamu baru saja ditinggal orang tua kamu kan?"
Zahra mengangguk, dan Bian pasti yang menceritakan tentang itu, kenapa berisik sekali lelaki itu sampai semuanya harus diceritakan juga.
"Turut berduka cita ya, tapi pasti ada hal manis disetiap hal pahit yang terjadi."
"Terimakasih."
Zahra tersenyum dan mengangguk, semoga saja itu benar adanya, agar Zahra juga tidak terus menerus merasakan kehancuran seperti saat ini.
"Kamu suka sama Bian?"
Zahra mengernyit, pertanyaan macam apa itu, dan apa penting mempertanyakan hal seperti itu sekarang.
"Aku tahu kok, setiap wanita yang didekati Bian pasti akan menyukainya balik."
"Masa sih?"
"Ya, buktinya Sintia, mereka juga bertemu karena dijodohkan, tapi Sintia langsung suka sama Bian."
Zahra tersenyum, dan apa bisa Zahra disamakan dengan Sintia, karena Zahra tidak menyukai Bian seperti Sintia yang menyukai Bian.
"Tapi ya sudahlah, itu kan urusan kalian berdua, lupakan saja pertanyaan itu tidak perlu dijawab."
Zahra mengangguk, lagi pula Zahra malas untuk menjawabnya, karena pertanyaan itu tidak penting.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments