Bian mengikut saja kemana Kania melangkah, Bian tidak mengerti dengan belanjaan semacam itu, Bian biasa tahu makan dan minum saja jadi sekarang tidak ada yang bisa dimengertinya.
"Bian, kamu mau buah apa?"
"Apa sajalah Mah, aku kan semuanya suka."
Kania tersenyum dan mengangguk, ya itu memang benar dan Kania tidak pernah repot untuk mengurus makan Bian.
"Bian, kamu mending telepon Sintia, dimana dia sekarang."
"Kok dimana sih, ya pasti di rumahnya."
Kania tersenyum tanpa berkata lagi, Bian tidak tahu saja jika Kania telah membuat janji dengan Sintia untuk bertemu di tempat itu.
Tapi kenapa Sintia belum juga datang, Kania hampir selesaikan belanjanya karena sudah mendapatkan semua yang dibutuhkannya.
"Berapa banyak lagi sih, Mah?" tanya Bian kesal.
"Sabar."
"Memangnya mau berapa banyak orang yang datang, belanja sampai segitu banyak."
"Gak apa-apa dong Bian, kan nantinya bisa buat persediaan kamu di rumah baru itu."
"Bian, mana bisa masak."
Lagi pula Zahra juga gak bisa masak dan gak mau disuruh masak, jadi untuk apa ada persediaan masakan di sana.
"Tenang saja, Papah sudah siapkan ART untuk kamu disana, jadi kamu tinggal minta saja sama mbaknya nanti."
Bian mengernyit, benarkah seperti itu, dan sepertinya itu kabar sangat baik untuk Bian, dengan begitu Bian tidak perlu berdebat dengan Zahra saat akan makan.
"Bian, Tante."
Keduanya menoleh mendengar suara tersebut, Bian mendelik saat tahu jika itu adalah Sintia, sedangkan Kania justru tersenyum dan menyambut Sintia dengan hangat.
Pantas saja Kania minta Bian untuk tanyakan dimana keberadaan Sintia, karena ternyata mereka berdua janji untuk bertemu sekarang, bagus sekali Kania telah membuat Bian kesal.
"Apa kabar, Tante?"
"Baik, Sayang."
Sintia tersenyum dan melirik Bian, lelaki itu tampak menghindar untuk melihatnya, tapi biarkan saja karena Sintia sudah biasa dengan sikap seperti itu.
"Bian, kamu disini juga?"
"Kelihatannya," ucap Bian tanpa menoleh.
"Bian, kamu jangan seperti itu," ucap Kania.
Bian menoleh dan melirik keduanya bergantian, mereka memang selalu kompak membuat Bian kesal dan jengkel sendiri.
"Oke, Mamah, kan sekarang sudah ada Sintia yang menemani, jadi aku mau pulang saja."
"Bian."
"Gak apa-apa dong, Mah."
"Kamu kenapa sih, masih saja menghindar sampai seperti itu?" tanya Sintia.
Bian menoleh dan terdiam menatapnya, wanita yang selalu disebut pintar oleh Kania itu ternyata bodoh untuk Bian.
Sudah berulang kali Bian mengatakan malas berhubungan dengan dirinya, tapi Sintia masih saja tidak mengerti dan bukankah itu tidak pintar.
"Bian, aku ...."
"Aku duluan," ucap Bian seraya berlalu.
Kania dan Sintia saling lirik, kapan Bian akan beruban dan mau menerima semuanya termasuk juga menerima Sintia.
"Sabar ya, Sintia."
"Gak apa-apa, Tante."
Kania tersenyum dan mengusap tangan Sintia, Kania akan bicara nanti dengan Bian tentang kejadian saat ini.
Kania tidak akan biarkan Bian terus menerus bersikap seperti itu pada Sintia, Sintia sudah sangat baik pada Bian dan seharusnya Bian bisa bersikap demikan pada Sintia.
"Ya sudah, sekarang Tante mau beli apa lagi?"
"Tante sudah selesai sih, tapi kamu mungkin mau beli sesuatu."
"Aku mau beli baju, Tante."
"Baju?"
"Iya, aku mau beli baju, agar nanti aku bisa tampil cantik di depan Bian."
Kania tersenyum dan mengangguk setuju, bagus sekali dan Kania akan temani Sintia membeli baju itu.
"Ya sudah, Tante bayar ini dulu ya, dan nanti kita langsung ke tempat kamu beli baju."
Sintia mengangguk setuju, itu tidak masalah karena Sintia juga memiliki banyak waktu hari ini.
Keduanya berjalan bersamaan untuk membayar belanjannya, mereka melupakan Bian yang telah mengabaikan mereka begitu saja.
Bian melihat belakangnya, memastikan jika tidak ada mobil Sintia yang mengikutinya, Bian akan membawa Zahra keluar dari rumah itu sekarang saja.
"Sintia pasti akan ikut ke rumah sama Mamah sekarang, dan itu bisa bahaya, aku akan kesulitan mengeluarkan Zahra nantinya."
Bian mengangguk, itu pemikiran yang paling benar, Bian mempercepat laju mobilnya agar bisa cepat sampai ke rumah, semoga saja wanita itu tidak sedang tidur manis saat ini.
Di rumah, Zahra justru sedang lahap menikmati makanan yang dipesankan Bian, Zahra sudah menahan laparnya sejak tadi dan makanan itu memang terlambat datang.
Zahra meneguk minumannya, Bian bisa juga memilih makanan yang enak menurut Zahra, atau mungkin selera mereka memang sama sehingga makanan itu bisa sesuai dengan Zahra.
"Kalau aku nikah sama dia, pasti tiap hari aku makan enak, sama seperti saat aku tinggal sama Mamah dan Papah."
Zahra tersenyum dan mengangguk, Zahra masih berusaha menghabiskan makanan yang ada, memang banyak dan sepertinya Bian sengaja memesan banyak untuk berdua dengannya, tapi biarkan saja karena Bian juga tidak ada di sana dan sayang jika makanan itu diabaikan begitu saja.
Lama waktu berjalan, Bian akhirnya sampai di rumah, kakinya terayun cepat memasuki rumah dan menaiki tangga, Bian harus segera menemui wanita itu untuk membawanya pergi.
"Zahra," panggil Bian seraya membuka pintu.
Zahra menoleh seraya meneguk minumannya, lelaki itu datang terlambat karena makanannya telah Zahra habiskan semuanya.
Bian menghampirinya dan terdiam menatap semua wadah makanan yang telah kosong, Bian mengernyit dan melirik Zahra yang tersenyum padanya.
"Habis semua?"
Zahra mengangguk tanpa mengatakan apa pun juga, bukankah Bian telah melihat semuanya jadi untuk apa bertanya lagi.
"Sudahlah, masa bodoh, ayo sekarang kita pergi dari sini."
"Pergi .... kata kamu kita pergi sore."
"Gak bisa, ayo kita harus pergi sekarang."
"Kenapa tiba-tiba?"
"Bawel banget sih, tinggal ikut saja apa susahnya?"
Zahra mengernyit, kenapa lelaki itu sensitif sekali, hanya seperti itu saja Bian sudah memarahinya.
Bian berpaling sesaat, baiklah Bian harus sabar dengan semua itu, bukankah Zahra mengaku jika ia masih bocah jadi wajar saja kalau ia menjengkelkan.
"Sudah ayo, kamu sudah kenyang kan, ayo kita pergi sekarang, bawa semua barang kamu jangan ada yang tertinggal."
"Iya sabar ah."
Zahra kembali meneguk minumannya, dan berlalu mempersiapkan semuanya, lagi pula semua sudah dikemas saat diusir kemarin.
"Ayo berangkat, katanya cepat."
"Itu saja?"
"Ya iya memang, lalu harus apa lagi?"
Bian menggeleng dan berjalan keluar, Zahra menghembuskan nafasnya sekaligus dan mengikuti Bian.
Aneh sekali dia merubah janjinya begitu saja, padahal tadi pagi Bian yang katakan akan pergi sore, tapi sekarang tiba-tiba saja ia mengajak pergi mendadak.
Keduanya keluar dan memasuki mobil, Bian melajukannya cepat, tidak ada tujuan lagi saat ini selain dari pada rumah Dion.
Bian akan menitip Zahra di sana, dan mempersiapkan semuanya untuk nanti malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments