Bian merapikan pakaian dan rambutnya, Zahra masih ada di kamar itu memperhatikan Bian, jadi benar Zahra akan ditinggalkan sendirian padahal Bian sendiri yang khawatir jika saja papahnya datang.
"Nanti sore kita pergi," ucap Bian.
"Pergi kemana?"
"Ya kamu tidak bisa ada disini, kamu harus aku bawa dari luar saat mereka ada disini semua."
"Ya sudah terserah kamu."
Bian berbalik dan menghampiri Zahra yang sedang duduk di sana.
"Apa pun penolakan yang akan dikatakan Papah aku atau mereka semua nanti, kamu hanya harus mengikuti aku saja."
Zahra mengangguk, semoga saja Zahra memang bisa menahan diri untuk tidak bicara nanti.
"Kamu harus tahu kalau mereka akan menolak kamu, tapi dibalik itu kamu harus percaya sama aku dan hanya harus menuruti aku."
"Iya ih berisik, kenapa sih."
"Ya aku ingatkan kamu dari sekarang, agar nanti saat ada di depan mereka kamu bisa lebih tenang."
"Iya iya, iya aku tahu iya sudah."
Bian mengangguk, baguslah dan semoga apa yang akan terjadi nanti tidak akan membuat Zahra berubah fikiran untuk mau menikah dengan Bian.
"Ya sudah sana pergi, kamu mau tunggu Mamah kamu jemput kamu?"
"Enggak, kalau nanti ada yang datang kesini, kamu jangan keluar dari kamar ini."
"Iya."
"Aku akan pesankan makanan untuk kamu disini, saat makanan datang kamu harus pastikan dulu semuanya aman, jangan asal keluar saja."
"Iya."
"Jangan iya iya saja."
"Apa sih, kamu kenapa sih ngajak ribut terus, heran."
Bian tersenyum seraya mengacak rambut Zahra, kasihan juga jika terus mengomelinya seperti itu, tapi mau bagaimana lagi karena Bian memang harus melakukannya agar semua bisa sesuai harapan.
"Aku pergi ya."
"Iya, kalau sudah selesai langsung pulang."
"Kenapa, gak mau kan lama-lama jauh dari aku, ya kan?"
Zahra mengernyit dan memukul Bian dengan kasar, memang tidak akan ada tenangnya jika berdekatan dengan lelaki itu, bagaimana kalau nanti mereka menikah.
"Bye."
Zahra mendelik tak peduli dengan apa yang dikatakan Bian, biarkan saja agar lelaki itu cepat pergi darinya.
Bian lantas berlalu meninggalkannya, semua pasti aman dan sesuai dengan rencana Bian.
Zahra menghembuskan nafasnya sekaligus, ahirnya lelaki itu hilang juga sekarang, Zahra bisa sesak nafas harus terus berdebat dengan Bian.
"Bagaimana nanti kalau sudah menikah, aku harus setiap hari bahkan setiap waktu bertemu dengannya, setiap saat juga aku harus mendengar ocehannya."
Zahra bergidik ngeri, pasti akan sangat menjengkelkan setiap hari Zahra, karena harus terus berurusan dengan Bian, dan setiap saat juga Zahra harus merasakan kekesalan terhadap lelaki itu.
"Ayolah Zahra, jangan seperti ini, biasa saja karena pernikahan itu hanya sementara dan kalian tidak perlu melakukan apa pun sebagai suami istri."
Zahra bicara sendiri, Zahra harus bisa menyakinkan dirinya sendiri, sekarang Zahra tidak akan bisa melihat dan bersama dengan orang tuanya lagi, jadi biarkan Zahra mempertahankan rumahnya itu.
Hanya itu satu-satunya kenangan mereka selama hidup, dan tentu saja Zahra akan menjaga kenangan itu dengan baik.
Semoga saja Bian bisa menepati janjinya, dan semoga saja Zahra juga sanggup bertahan bersama dengan lelaki menyebalkan itu.
"Aku akan tetap disini Mah, Pah, aku akan bertahan di rumah ini dan aku akan dapatkan rumah ini lagi, kita akan tetap sama-sama disini meski kalian hanya tinggal kenangan saja."
Bian menghampiri Kania yang terlihat sedang berkutat dengan ponselnya, sabar sekali wanita itu menunggu sampai Bian selesai, padahal Bian telah dengan sengaja melambatkan pergerakannya.
"Mamah, ayo."
Kania menoleh dan mengagguk, setelah menyimpan ponselnya ke dalam tas, Kania lantas bangkit.
"Chatting sama siapa?"
"Sama Sintia, Mamah tanya dia mau disiapkan apa nanti malam."
Bian berdecak seraya berpaling, sudah seperti tuan putri saja sampai harus ditanya seperti itu.
"Kenapa sih Bian, kamu jangan seperti itu kasihan, lagi pula Sintia kan selalu baik sama kamu jadi kamu juga harus baik sama dia."
"Sudahlah, malas jam segini sudah harus bahas dia."
Bian berlalu lebih dulu, sikap Bian membuat Kania menggeleng, heran dengan putranya itu yang selalu saja menolak Sintia.
"Maaf ya Bian, Mamah harus paksa kamu seperti ini, tapi ini paksaan Mamah yang pertama dan yang terakhir, semoga kamu bisa mengerti dengan semua ini."
Kania mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya sendiri tentang akhir indah untuk Bian dan Sintia nantinya.
Kania lantas berjalan menyusul kepergian Bian tadi, tidak ada waktu lagi untuk bersantai karena waktu berjalan cepat, dan Kania harus segera selesaikan semuanya.
Jauh diatas sana, ternyata Zahra memperhatikan mereka berdua, Zahra berbalik dan bersandar pada besi di belakangnya itu.
"Bian terlihat malas sekali jika membahas Sintia, padahal Mamahnya begitu antusias untuk membahas wanita itu."
Zahra mengusap keningnya, jujur saja Zahra jadi penasaran dengan sosok Sintia itu, dia pasti cantik makanya Kania setuju untuk dinikahkan dengan Bian.
"Bagaimana nanti kalau mereka tahu bahwa Bian mau mengganti Sintia dengan bocah kayak aku, mana mau mereka setuju."
Zahra memejamkan matanya sesaat, mendadak hatinya jadi ragu untuk meneruskan perjanjian itu dengan Bian.
"Bagaimana kalau hidup aku malah semakin
susah setelah menikah dengan Bian."
Zahra kembali melihat ke bawah sana, Zahra memang telah susah karena kehilangan orang tua dan rumahnya, tapi apa benar kesusahan itu akan hilang setelah menikah dengan Bian, atau bisa saja kesusahannya justru bertambah setelah menikah.
"Bagaimana kalau mereka semua justru kompak membenci aku, mana bisa aku hidup tenang jika banyak yang benci sama aku."
Zahra menggaruk kepalanya asal, kenapa fikirannya malah jadi berantakan seperti itu, padahal Zahra sudah yakin untuk setuju menikah dengan Bian.
"Aku ingin mendapatkan rumah ini lagi, dan caranya adalah dengan menikahi Bian, tapi kenapa rasanya jadi tak karuan seperti ini."
Zahra menggeleng dan kembali masuk ke kamarnya, mungkin Zahra harus memikirkan ulang semuanya.
Zahra tidak boleh asal memutuskan, karena semua itu demi masa depannya juga, Zahra tidak ingin hidupnya susah dan dibenci banyak orang nantinya.
Bian menyetir mobilnya dengan santai, Bian sedang memikirkan celah untuk nanti Bian bisa membawa Zahra ke hadapan mereka.
Bian harus memikirkan kalimat apa yang akan dikatakannya pada mereka, orang tuanya telah tahu siapa Zahra dan mereka tidak akan percaya begitu saja jika Zahra adalah kekasihnya.
Dan Sintia, juga kedua orang tuanya pasti akan merasa kecewa dengan Bian, dan Bian harus siapkan penjelasan untuk itu semua agar saat berhadapan dengan mereka, Bian tidak perlu salah bicara lagi.
Bian mengusap wajahnya, pusing juga tapi Bian harus bisa demi mempertahankan kebebasan hidupnya, meski Bian harus berbohong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments