"Bian, kenapa kamu lama sekali buka pintunya, Mamah sudah panggil kamu sejak tadi?"
Bian tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tak gatal, lagi pula kenapa Kania datang di waktu sepagi ini.
"Bian, kamu kenapa?"
"Kenapa .... enggak, aku gak apa-apa memangnya kenapa?"
"Ya kamu kenapa, kenapa lama buka pintunya padahal Mamah sudah sejak tadi disini."
"Iya maaf, tadi aku lagi di kamar mandi, lagian Mamah ngapain kesini sekarang, gak kabari aku dulu."
"Iya, Mamah sengaja langsung datang kesini, agar kamu tidak kabur lagi."
"Kabur?"
"Iya, Mamah tahu kamu memilih tidur disini agar tidak ketemu dengan Sintia dan orang tuanya kan?"
Bian mengangkat sebelah alisnya, mana ada orang kabur bilang dulu, lagi pula kemarin malam Bian sudah katakan pada Kemal kalau akan tidur di rumah itu.
"Kamu gak boleh lari Bian, kamu harus temui mereka, kamu jangan permalukan Mamah sama Papah."
"Apa sih Mah, memangnya Bian melakukan apa, Bian kan ada disini gak kemana-mana, lagi pula kemarin aku bilang ke Papah kalau mau tidur disini."
Kania menggeleng, terserah saja Bian mau bicara apa sekarang, yang kelas Kania tidak akan berikan jalan untuk Bian lari dari pertemuan nanti malam.
"Mamah, sendiri kesini?"
"Iya, Papah kamu kan harus kerja."
Bian mengangguk, baguslah karena dengan begitu Bian tidak akan terlalu repot untuk menutupi keberadaan Zahra.
"Ya sudahlah, nanti juga Bian pulang, Mamah jangan khawatir."
"Gak perlu, kamu disini saja sudah jangan kemana-mana."
"Kok jangan kemana-mana, katanya harus temui mereka kalau aku disini terus gimana caranya untuk temui mereka."
Kania tersenyum dan mengangguk, itu memang benar tapi untuk rencana sebelumnya, dan sekarang semua telah berubah karena tempat pertemuan itu telah diganti.
"Sudahlah Mah, tunggu di rumah saja."
"Enggak Bian, Mamah akan disini sampai nanti malam."
"Maksud Mamah?"
"Ya iya, Mamah akan disini sampai nanti malam atau kalau perlu sampai besok, karena pertemuannya akan disini juga."
"Apa?"
Kania mengangguk pasti, itulah yang terbaiknya agar Bian tidak merasa direpotkan oleh pertemuan nanti malam.
"Mamah apaan sih, kenapa harus disini?"
"Memangnya kenapa, biarkan saja nantinya kan rumah ini juga buat kamu sama Sintia."
Bian berpaling seraya menghembuskan nafasnya perlahan, malas sekali Bian kalau sudah harus bahas seperti itu lagi, Bian sudah malas mendengar nama itu terus menerus.
Zahra mengerucutkan bibirnya, enak sekali jadi Sintia, baru kenal sudah langsung dapat rumah mewah seperti itu.
Sedangkan Zahra yang sudah di sana sejak dalam kandungan, harus terusir begitu saja akibat hal yang tak Zahra ketahui pasti.
Tidak bisa, Zahra tidak bisa terima itu, rumah mewah miliknya akan tetap jadi miliknya, bahkan meski telah berganti nama pemiliknya.
Zahra mengangguk, Zahra akan pertahankan rumah itu, bukankah Bian sudah janji kalau akan mengembalikan rumah itu lagi.
Zahra mengernyit dan memejamkan matanya sesaat, kalau Zahra mengikuti sesuai yang dijanjikan Bian, berarti Zahra harus menikah dengan Bian.
"Masa sih, aku harus nikah diumur 19 tahun seperti ini," ucap Zahra pelan.
Zahra masih ingin bebas dan mencari suami idaman, bukan Bian, lelaki itu terlalu aneh dan menyebalkan bagi Zahra.
"Ya sudah, kamu mandi dan siap-siap."
"Siap-siap kemana?"
"Ya kita belanja, kita beli makanan untuk nanti menjamu mereka."
"Aduh Mamah, kenapa harus merepotkan diri sendiri sih, makanya acaranya di rumah saja sudah jadi ada Bibi yang bisa kerjakan."
"Bian, sekali saja kamu mau membela Sintia, kamu hanya perlu antar Mamah saja kok."
Bian diam, kalau Bian pergi dengan Kania sekarang, itu berarti Zahra akan sendirian di rumah.
Bagaimana kalau mendadak Kemal juga datang ke rumah itu, bisa bahaya karena jika Kemal melihat Zahra masih ada di sana, pasti akan diusir saat itu juga.
"Bian, kamu kenapa sih?"
"Enggak, gak apa-apa."
"Ya sudah ayo."
"Ya nantilah, aku juga belum mandi."
Kania menggeleng, sudah siang seperti ini Bian masih saja belum mandi, akan jadi apa anak itu kenapa semakin kesini Bian justru semakin malas saja.
"Ya sudah, Mamah, tunggu di bawah ya, aku mau mandi dulu dan nanti kita berangkat untuk belanja."
"Benar ya?"
"Iya, ya sudah aku mandi dulu sekarang."
Kania mengangguk dan berlalu meninggalkan Bian, Bian masih memperhatikan kepergian Kania, Bian ingin memastikan jika Kania memang benar-benar turun.
"Baiklah," ucap Bian pelan.
Kania telah menghilang ke bawah sana, berarti sekarang Bian telah aman dan begitu juga dengan Zahra.
Bian menutup dan mengunci pintunya lagi, dengan cepat Bian melihat Zahra di sana, memintanya untuk keluar saja karena Kania sudah tidak ada.
Zahra keluar dengan hati-hati, dan tentu saja Bian membantunya untuk bangkit, Zhara menatap Bian tanpa celah.
"Apa, mau ribut lagi?" tanya Bian.
"Aku mau nikah sama kamu."
Bian diam, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya itu, Zahra mau menikah dengannya dan jawaban itu terdengar diwaktu yang tepat.
"Kamu serius?"
"Serius, aku mau nikah sama kamu, tapi tidak boleh ada hubungan suami istri, gak ada larangan apa pun yang akan menghalangi kebebasan aku, dan kalau pun aku jatuh cinta sama lelaki lain, itu di-per-bo-leh-kan."
Zahra tersenyum seraya menaik turunkan alisnya pada Bian, Bian mengusap dagunya mencerna setiap kata yang diucapkan Zahra.
"Satu lagi, kalau aku bertahan sampai satu tahun menjadi istri kontrak kamu, rumah ini akan kembali menjadi milik aku dan aku mau mengalihan namanya itu satu bulan sebelum kita bercerai."
Bian menyipitkan matanya, apa sekarang Zahra sedang membuat perjanjian yang sebenarnya, kenapa jadi Zahra yang mengatur semuanya.
"Satu lagi, aku gak mau disuruh masak karena aku gak bisa masak, dan aku gak mau kita tidur satu kamar dan lagi aku tidak mau ada larangan kalau aku mau jalan."
Bian seketika mengusap wajah Zahra, apa yang dikatakan wanita itu, jika seperti itu maka bukan satu lagi tapi masih banyak lagi.
"Dan aku gak mau ...."
"Tutup mulut kamu," ucap Bian seraya membungkam Zahra.
"Pada intinya, sekarang kamu setuju menikah sama aku, perihal poin-poin perjanjiannya kita selesaikan nanti saja."
"Oh gak bisa," ucap Zahra menyingkirkan tangan Bian.
"Tidak bisa seperti itu, kamu harus ...."
"Bocah, diam."
Bian kembali membungkam Zahra, lama-lama Bian bisa sakit kepala mendengarkan ocehannya itu, terlalu banyak permintaan sehingga Bian kehabisan kata untuk meminta.
"Kita selesaikan itu nanti, sekarang deal kita akan menikah selama satu tahun, tidak boleh ada cinta yang tumbuh."
Zahra membulatkan matanya dan kembali menyingkirkan tangan Bian.
"Gak ada wanita yang mau sama lelaki menyebalkan seperti kamu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments