"Kamu harus berterimakasih karena aku sudah bawa kamu kembali ke rumah ini."
"Terimakasih, sudah kan selesai."
Zahra berbalik dan melangkah pergi, seperti itu saja sampai harus teriak-teriak.
"Tunggu," ucap Bian.
Zahra menghembuskan nafasnya sekaligus seraya menghentikan langkahnya, Zahra diam tanpa kembali melihat Bian disana.
Bian bangkit dan berjalan menghampiri Zahra, apa benar sepolos itu, tidak tahukah Zahra bagaimana caranya berterimaksih dan membalas budi.
Bian berdiri di hadapan Zahra dan menatap wanita di hadapannya itu.
"Apa lagi?" tanya Zahra.
"Kamu harus berterimakasih."
"Terimakasih, sudah kan?"
"Kamu harus siapkan makanan untuk aku."
"Ih .... memangnya aku pembantu?"
"Memangnya yang masak cuma pembantu doang?"
"Ya sudah kamu saja masak."
Zahra kembali melangkah melewati Bian, hal itu membuat Bian kesal, kenapa wanita itu tidak ada perhatiannya sama sekali.
"Zahra."
Zahra berbalik dan terdiam dengan wajah kesalnya, Bian kembali mendekatinya.
"Apa, suka sama aku, panggil-panggil terus."
"Kamu gak ngerti cara balas budi ya?"
Zahra tak menjawab, sepertinya Zahra tahu apa yang menjadi maksud Bian saat ini.
"Jawab, gak tahu cara balas budi?"
"Tahu, tapi aku gak mau masak buat kamu, jadi silahkan saja masak sendiri, dan kalau gak mau masak ya sudah tinggal beli di depan kan."
Bian mengangkat kedua alisnya, tak mengerti dengan jalan fikir Zahra saat ini, kenapa wanita itu menyebalkan sekali.
"Permisi, aku mau rapi-rapi."
Zahra kembali melangkah, tapi kali ini Bian menahannya dengan cepat.
Zahra diam dan melihat tangan yang melingkar di perutnya, Zahra teringat dengan pelukan Bian kemarin malam yang begitu kuat.
"Buatkan aku sarapan sekarang, aku sudah sangat lapar."
Zahra mengerjap dan menjauhkan tangan Bian dari perutnya, Zahra berbalik menatap Bian.
"Kamu bawa aku kesini untuk jadikan aku pembantu kan, oh iya aku mengerti sekarang, kamu mau nikahi aku agar aku bisa diperintah sama kamu kan, kenapa karena aku anak kecil makanya kamu berfikir seperti itu?"
"Apaan sih?"
"Iya kan?"
Zahra menggeleng tanpa melepaskan tatapannya dari Bian, jahat sekali lelaki itu, bisa-bisanya berfikir seperti itu terhadap Zahra.
"Jaga fikiran kamu," ucap Bian mengusap wajah Zahra.
Zahra berdecak dan memukul Bian begitu saja, seenaknya sekali lelaki itu.
"Buatkan aku masakan."
"Gak mau."
"Membantah ya."
"Iya, kenapa memangnya?"
Bian mengeraskan rahangnya dan mengepalkan kedua tangannya, Zahra melihat dua tangan itu dan kembali menatap Bian.
"Aku gak mau, bye."
Zahra berlalu dengan melambaikan tangannya sekilas, Bian masih diam di tempatnya, tidak salah lagi jika wanita itu memang menjengkelkan.
"Bocah," ucap Bian seraya menyusulnya.
"Zahra."
Zahra menoleh sekilas, dengan sengaja Zahra mempercepat langkahnya dan keluar.
"Zahra, sss euh cuma masak doang kenapa gak mau sih, itu kan tugasnya cewek."
Bian turut keluar dan terus mengikuti Zahra, panggilan Bian tak cukup untuk bisa menghentikan langkah Zahra saat ini.
Bian melihat ke luar dan melihat mobil Kania yang melaju menuju ke rumahnya, Bian membulatkan matanya dan langsung menarik tangan Zahra.
"Lepas ih, apaan sih, lepas gak, lepas."
Bian tak peduli dengan itu, Bian menggendong Zahra dan membawanya kembali masuk rumah.
"Lepas ih apaan sih, jangan kurang ajar ya aku bisa jalan sendiri, turun ih."
"Diam."
"Enggak, lepas, ayo turunkan turun aku bisa jalan sendiri."
Bian tak peduli dengan itu, Bian menaiki tangga rumahnya dan membawa Zahra ke kamarnya.
"Enggak mau, tolong."
Bian menurunkan Zahra dan membekap mulutnya, Bian menutup dan mengunci pintu kamarnya.
"Ngapain sih, buka gak?"
"Enggak, sudah kamu diam disini saja jangan kemana-mana."
"Kenapa kayak gitu?"
"Mamah, aku ada di luar sekarang?"
"Apa?"
Bian mengangguk, Zahra berpaling, lalu apa yang harus dilakukannya sekarang, sepagi ini sudah ada yang datang.
"Tenang saja jangan panik, kamu nurut saja sama aku dan aku pastikan kamu aman ada disini."
Zahra berdecak dan menatap Bian dengan kesal, enteng sekali dia berkata seperti itu tanpa tahu rasa takut Zahra saat ini.
"Apa?"
"Kamu itu sok hebat, kalau ketahuan bisa apa kamu?"
"Suttt, jangan berisik sudah diam."
"Gak bisa dong, diam saja gimana, terus ngapain kamu kunci pintu seperti itu, buka gak pintunya?"
Bian memejamkan matanya seraya berpaling, kenapa susah sekali membuat wanita di hadapannya ini mengerti.
"Zahra."
"Apa, aku bilang buka pintunya."
"Bian," panggil Kania.
Keduanya terdiam dan melirik pintu, suara Kania sudah semakin dekat, itu artinya Kania sudah ada di lantas atas.
"Gimana ini?"
"Suutt, diam eh, kamu diam gak sih berisik, aku bilang nurut saja."
"Sss ih."
Zahra mengepalkan tangannya dengan gemas, Bian memang menyebalkan sekali baginya.
"Bian, kamu belum bangun?"
Zahra membulatkan matanya, suara Kania sudah ada di depan pintu kamarnya saat ini, bagaimana bisa Kania tahu kalau Bian ada di kamar itu.
"Bian," panggil Kania lagi.
Keduanya mulai panik saat ini, Bian melihat sekitar mencari tempat untuk Zahra bersembunyi.
"Bawah tempat tidur."
"Apa .... enggak enggak, aku gak mau."
"Suuttt ih, sudah sana ah."
Bian mendorong Zahra mendekati tempat tidur, Zahra berbalik menatapnya yang benar saja kenapa harus di bawah tempat tidur.
"Di dalam lemari saja."
"Mana bisa Zahra, lemari masih kosong, sudah ayo masuk."
Bian menekan kedua pundak Zahra agar jongkok, lama sekali wanita itu mengerti, padahal Bian sudah katakan kalau Zahra hanya harus nurut saja.
"Bian," panggil Kania.
Bian menoleh sekilas dan memaksa Zahra untuk berbaring, bukannya nurut Zahra malah memukulinya.
"Aw .... aw apaan sih, ah sakit."
Bian menahan kedua tangan Zahra, Bian menatapnya jengkel karena apa yang telah dilakukannya.
"Jangan kurang ajar kamu ya."
"Otak kamu tuh jaga."
Bian menoyor kepala Zahra, buruk sekali fikirannya itu, lagi pula apa yang akan dilakukan Bian saat genting seperti saat ini.
"Bian, buka," ucap Kania seraya mengetuk pintunya.
"Masuk cepat masuk, jangan bandel kamu mau diusir?"
"Ya gak maulah."
"Ya sudah masuk, masuk ih masuk."
Bian membaringkan Zahra dan mendorong tubuh itu ke bawah tempat tidur, Zahra sedikit tertawa dengan ulah Bian, ingin marah tapi sedikit konyol.
"Berisik," ucap Bian yang mengintipnya.
Zahra memukul asal hingga mengenai hidungnya, Bian seketika bangkit dan mengusap wajahnya.
"Bocah."
"Apa, apa kamu bilang?"
Zahra kembali nongol dan itu membuat Bian semakin jengkel, Bian menjitak dan mendorong kepala itu asal, biarkan saja salah Zahra sendiri keras kepala.
"Diam, bodoh."
Zahra diam di dalam sana dengan mengusap kepalanya, kurang ajar memang lelaki itu, lihat saja Zahra akan membalasnya nanti.
Bian lantas berjalan dan membuka pintu, semoga saja Kania tidak curiga tentang apa pun juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments