"Bian, tidak ada di rumah?" tanya Kania.
"Gak ada, Bu," jawab mbak rumahnya.
Kania mengangguk, lalu kemana lelaki itu perginya karena sudah sejak tadi ia pulang.
"Ada apa, Mah?" tanya Kemal yang baru datang.
"Bian gak pulang, padahal tadi kan dia sudah pulang lebih dulu."
"Kan biasa juga Bian ke rumah temannya, jadi biarkan saja, Mamah sendiri yang bilang tadi pada akhirnya Bian akan tetap pulang ke rumah juga."
Kania mengangguk, itu memang benar, tapi Kania juga merasa ingin tahu tentang keberadaan Bian saat ini.
"Sudahlah Mah, Bi tolong buatkan teh ya."
"Baik, Pak," ucapnya seraya berlalu.
"Sudah ayo masuk."
Kania menoleh dan mengangguk, keduanya berjalan dan duduk di ruang tengah, padahal Kemal sempat mampir ke rumah temannya tapi Bian masih belum sampai ke rumah.
"Jangan memikirkan hal yang belum pasti."
"Enggak, cuma penasaran saja kemana Bian sekarang."
Kemal mengangguk dan memilih berkutat dengan ponselnya, saat malam seperti itu pun Kemal masih saja sibuk dengan pekerjaan.
"Silahkan Pak, Bu."
Keduanya menoleh dan melihat mbak rumah yang mengantarkan dua gelas teh.
"Terimakasih ya."
"Iya, Bu."
Ia lantas pergi meninggalkan keduanya, tugasnya hanya untuk mengantarkan minuman itu saja.
"Pah, diminum dulu," ucap Kania.
Kemal menoleh dan mengangguk, Kemal memang haus sekarang sehingga ia langsung meneguk tehnya.
"Mamah gak minum?"
"Nanti saja."
Kemal mengangguk dan kembali meneguk minumannya, biarkan saja yang penting sudah disediakan juga.
"Minum dulu," ucap Bian seraya memberikan gelas minumnya.
Zahra menerimanya dan meneguknya habis, Zahra sangat lelah dan haus sekali, jadi biarkan saja Zahra meneguk habis sekaligus air minumnya.
"Sudah?"
Zahra mengangguk dan membiarkan Bian mengambil gelasnya lagi, Bian menyimpannya dan duduk di samping Zahra.
Teman Bian masih kumpul di luar, meraka mengaku tidak akan meninggalkan rumah itu selama Bian dan Zahra masih ada di sana.
"Zahra, kamu sudah bisa mendengarkan aku sekarang?"
Zahra mengangguk saja tanpa menjawab, bahkan tanpa melirik Bian juga.
"Dulu, aku memiliki perusahaan sendiri, aku mengurusnya sendiri sampai akhirnya aku melakukan kesalahan dan membuat semuanya berantakan, Nenek aku mengambil alih perusahaan itu tanpa memberi aku kesempatan sedikit saja."
Zahra masih tak bergeming, efek lari malam masih cukup membuatnya tak berdaya.
"Gara-gara itu juga, saham di perusahaan Papah aku turut dicabut, dan akhirnya merugikan perusahaan Papah, dan untuk mengembalikan itu semua aku harus menikah."
Zahra menoleh, apa mereka juga meminta Bian untuk menikah kontrak.
"Nenek minta aku menikah, jika pernikahan aku bertahan sampai satu tahun lamanya, maka perusahaan itu akan dikembalikan bersama dengan saham untuk perusahaan, Papah."
"Dan syaratnya harus nikah kontrak?"
"Tidak, syaratnya harus menikah."
"Lalu kenapa harus nikah kontrak?"
"Karena aku juga belum mau menikah."
Zahra mengernyit, sampai saat ini, perihal pernikahan itu belum bisa untuk Zahra mengerti.
"Aku dijodohkan dengan satu wanita, dan wanita itu mau menikah dengan ku."
"Ya sudah, selesai dong masalahnya."
"Gak selesai, justru itu menambah masalah baru."
Zahra berdecak dan berpaling, memang ribet lelaki di sampingnya itu, harus menikah dan saat ada wanita yang mau menikah dengannya malah disebut nambah masalah.
"Zahra, aku belum siap menikah, aku belum mau menikah, dan kalau aku menikah dengan wanita pilihan orang tua aku, berarti aku harus benar-benar berumah tangga."
"Ya apa bedanya nikah sama aku, sama-sama nikah ya sama saja rumah tangga, gimana sih aneh."
Bian tersenyum dan menggeleng, jadi Zahra adalah wanita yang emosian, kenapa harus seperti itu responnya.
"Kalau aku menikah dengan wanita yang mau menikah sama aku, berarti aku harus sepenuhnya jadi suami."
"Kamu bikin pusing, sudahlah diam, gak jelas banget, yang namanya nikah ya kalau laki jadi suami kalau wanita ya jadi istri, itu takdir gak akan bisa diubah."
Zahra melirik Bian dan mendelik kembali berpaling, memang menjengkelkan lelaki satu itu, omongannya terlalu rumit lebih rumit dari rumus matematika.
Bian tersenyum dan menarik Zahra untuk menghadap padanya, sesulit itu untuk mengerti maksud Bian sekarang.
"Apa, kamu memang bikin aku pusing."
"Intinya, aku mau nikah sama kamu, udah itu saja."
"Aku gak mau."
"Harus mau, aku tahu kamu masih sangat menginginkan rumah itu."
"Enggak, siapa bilang?"
"Sudahlah, jangan pura-pura, mata bengkak kamu itu sudah cukup menjelaskan semuanya, aku mau bantu kamu mendapatkan rumah itu lagi, tapi kamu juga harus bantu aku."
"Tapi aku gak mau nikah, aku gak bisa jadi istri gak siap dan gak sanggup."
"Suutt, berisik sekali kamu ini."
"Kamu yang berisik, dari tadi dibilang gak mau masih saja maksa."
Bian tersenyum menatap Zahra, banyak bicara juga wanita itu, padahal saat berhadapan dengan orang tuanya dia hanya diam saja.
"Iya aku tahu, aku cantik gak usah tatap aku seperti itu."
Bian tertawa mendengar kalimat Zahra, percaya diri sekali wanita itu, tapi bagus, karena dengan begitu akan mudah untuk mereka bisa dekat.
"Jadi kamu mau?"
"Gak."
"Please."
"Enggak."
"Zahra," ucap Bian seraya menyatukan tangannya di dada.
Biarkan saja Bian memohon sekarang, asal permintaannya dikabulkan Zahra.
"Gak mau ah apaan sih, lagian aneh orang tuh cari istri yang dewasa bukan bocah kayak aku gini."
"Aku bukan cari istri, pernikahan kita hanya pura-pura saja, tidak akan ada apa pun termasuk juga hubungan suami istri, gak akan ada, aku pastikan kamu akan tetap gadis meski menikah sama aku."
Zahra mengernyit, Bian tersenyum dan mengusap wajah Zahra usil, jelek sekali wanita itu jika diperhatikan.
Zahra sedikit tersenyum dan memukul tangan Bian, seenaknya saja mengusap wajah Zahra seperti itu.
"Mau ya?"
"Gak."
Bian pindah duduk di hadapan Zahra, tepatnya di lantai, Bian meraih kedua tangan Zahra dan menunjukan wajah memelasnya itu.
"Aku mohon, aku gak akan pernah sentuh kamu, gak akan pernah kurang ajar sama kamu, kita hanya menikah di depan penghulu dan saksi saja, terlepas dari itu kita teman."
"Gak mau."
"Please, satu tahun saja, aku akan jaga kamu tidak akan sampai merenggut masa depan kamu."
"Enggak."
"Jaminannya rumah, aku akan kembalikan rumah itu."
Zahra diam, memang Zahra masih menginginkan rumah itu, sedikit pun Zahra tidak rela kehilangan rumah itu.
Tapi kenapa harus ada pernikahan, Zahra tidak akan lagi mendapatkan kebebasan setelah menikah nanti.
"Kamu bebas melakukan apa saja meski kita telah menikah, aku tidak akan larang kamu tidak akan membatasi kamu dalam hal apa pun juga, tapi seperti itu juga sebaliknya."
"Bagaimana dengan orang tua kamu, bagaimana dengan wanita itu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments