Saat malam tiba, Zahra terduduk di ayunan belakang rumahnya, Zahra memang sedang menunggu kedatangan mereka yang akan mengusirnya.
Zahra harap mereka berubah fikiran dan tidak akan datang malam ini, dengan begitu Zahra bisa tetap tinggal di rumah tersebut.
Tapi sekali pun mereka datang, Zahra juga tidak akan melawannya, Zahra sudah mengemas barangnya dengan rapi tadi siang.
Zahra akan pergi tanpa harus ada keributan terlebih dahulu, biarkan saja mereka mengambil semuanya asalkan Zahra bisa bertahan melewati semuanya.
"Zahra akan pergi Mah, Pah, Zahra akan menjauh dari Kota ini."
Zahra melihat langit diatas sana, gelap sama seperti perasaan Zahra saat ini, Zahra tidak bisa melihat keindahan kerlip bintang dan terangnya cahaya bulan.
Entah kerena memang tidak ada, atau mungkin karena matanya yang bengkak sehingga menutupi penglihatannya.
Zahra sedikit tersenyum dan kembali menunduk, biarlah akan seperti apa hidup Zahra ke depannya, Zahra akan jalani sebisanya.
Bukankah memang sudah seharusnya seperti itu, Zahra hanya harus menerima dan menjalani semuanya, meski Zahra tak bisa menerima dan tak tahu akan mampu atau tidaknya.
"Zahra tahu, kalian akan tetap menjaga Zahra di sini, tapi Zahra tidak ingin seperti ini, Zahra ingin tetap bisa melihat kalian di sini."
Zahra memainkan jemarinya, matanya mulai berembun, Zahra sempat ingin jika air matanya itu habis saja agar tak perlu ada tangisan lagi.
"Zahra bukan anak lemah kan Pah, Zahra anak kuat kan, Mah?"
Zahra bersandar, terdiam mengingat kebersamaannya dengan kedua orang tuanya semasa hidup, Zahra tidak bisa melupakannya tapi Zahra juga tidak ingin terus mengingatnya.
Kenangan itu hanya membuat Zahra semakin lemah saja, Zahra semakin tak berdaya untuk menghadapi hidupnya yang kini hanya seorang diri.
"Jika saja Zahra tahu jika waktu kalian hanya tinggal sebentar, Zahra tidak akan mau pergi liburan seperti apa yang kalian hadiahkan."
Ya .... liburan 2 minggu itu memang hadiah ulang tahun dari papahnya, Zahra pergi setelah semuanya dipersiapkan papahnya.
Zahra menikmati liburannya sendirian tanpa ditemani mereka, tapi Zahra senang dengan itu, tidak ada sedikit pun terlintas di fikirannya jika orang tuanya akan pergi untuk selamanya.
Kriing .... Suara bel telah terdengar nyaring di telinga Zahra, Zahra tersenyum karena ternyata mereka datang juga, dan itu artinya Zahra memang harus meninggalkan rumah tersebut.
Kriingg .... Suara itu terdengar lagi, Zahra lantas bangkit dan berjalan memasuki rumahnya, Zahra mengusap matanya sempai akhirnya membuka pintu rumahnya.
Zahra melihat kembali tiga orang itu, mereka sangat rapi dan wangi, layaknya keluarga berkelas mereka sangat elegan terlihatnya.
"Bagaimana?" tanya Kemal.
Zahra menunduk sesaat dan tersenyum pada Kemal, bagaimana apanya, memangnya Zahra bisa meminta saat ini untuk keinginannya sendiri.
"Kenapa kamu belum juga pergi, apa kamu menunggu saya mengusir kamu dengan tidak hormat?"
Zahra kembali tersenyum dan menggeleng, ditatapnya tiga orang itu bergantian, Zahra merasa mereka memang orang baik tapi mungkin ada hal yang memang tidak Zahra ketahui tentang mereka.
"Apa aku tidak ada waktu lagi disini?"
"Waktu kamu sudah habis, saya minta kamu pergi sejak kemarin tapi kamu masih ada sampai sekarang, itu sudah waktu untuk mu."
"Tapi aku masih mau berada disini."
"Tidak bisa, kamu jangan menguji kesabaran saya sekarang."
Zahra mengangguk dan kembali tersenyum, hari sudah malam, dan tidak enak rasanya jika harus ribut saat malam seperti ini.
"Tunggu apa lagi?"
"Aku akan bawa barang ku dulu."
"Silahkan."
Zahra lantas berlalu meninggalkan ketiganya, bukankah sudah sejak tadi Zahra setuju untuk meninggalkan rumah itu, jadi untuk apa berdebat lagi.
Jika rumah itu memang masih untuknya, suatu hari rumah itu pasti akan kembali padanya, Zahra yakin dengan hal itu.
"Kasihan sekali, Pah," ucap Kania.
"Sudahlah, kalau memikirkan kasihan tidak akan ada ujungnya," jawab Kemal.
Bian melirik kedua orang tuanya tanpa mengatakan apa pun juga, wanita itu tidak berontak sama sekali.
Dia menerima semuanya tanpa ada perdebatan sama sekali, apa benar jika wanita itu telah merelakan rumahnya dirampas.
Bian menggeleng, tidak boleh, wanita itu tidak boleh rela rumahnya di rampas, kalau wanita itu rela sudah jelas jika rencana Bian akan berantakan.
Bian tidak ingin menikah dengan Sintia, dan Bian merasa hanya wanita itu yang bisa membantunya, tapi kenapa wanita itu terlihat pasrah saja untuk meninggalkan rumahnya.
"Bian, kamu kenapa?" tanya Kania.
Bian menggeleng, tidak mungkin jika Bian katakan semuanya pada mereka, Bian yakin akan ada cara untuk bisa menekan wanita itu agar mau menikah dengannya.
Zahra kembali dengan membawa koper dan tas slempangnya, Zahra juga memeluk bingkai foto dan berhenti di hadapan ketiganya.
"Jadi kamu sudah persiapkan semuanya?"
"Tentu saja, Om."
"Bagus, berarti kamu memang sadar diri jika kamu tidak punya hak lagi atas rumah ini."
Zahra mengangguk, biarkan saja mereka mau bicara seperti apa, Zahra sudah cukup kacau dengan semua yang terjadi dan rasanya tidak perlu lagi ada yang mengusik perasaannya.
"Tunggu apa lagi, kamu butuh uang untuk perjalanan kamu?"
"Tidak, uang ku masih cukup untuk mengantarkan aku."
"Itu lebih bagus."
"Permisi, dan terimakasih untuk waktunya."
Kemal hanya mengangguk saja, ketiganya menyamping memberikan jalan untuk Zahra lewat.
Kaki itu terayun perlahan menuruni tangga, Zahra melihat sekitar halaman rumahnya, sekarang Zahra akan meninggalkan tempat itu.
Tempat hidupnya selama ini, Zahra tidak akan lagi melakukan aktivitas di sana, dan mungkin untuk melihat pun Zahra tidak akan mendapatkan kesempatan lagi.
Zahra melihat ketiga orang di sana, mereka masih memperhatikan dirinya sekarang, dan sepertinya tidak akan ada yang merubah fikiran mereka untuk mengusir Zahra.
Zahra tersenyum dan berjalan keluar gerbang, cukuplah karena semua sudah jelas jika Zahra telah kehilangan semuanya.
Bian tak lagi melihat sosok itu, tubuh itu telah menghilang dari pandangannya saat ini, dan Bian harus segera mengerjarnya atau wanita itu akan menghilang untuk selamanya.
"Sudah kan, rumah ini telah menjadi milik Papah, jadi Bian mau pulang sekarang."
Kemal hanya mengangguk saja dan membiarkan Bian pergi lebih dulu, Kemal mengajak Kania untuk masuk dan memastikan jika tidak ada barang wanita itu yang tertinggal.
Keduanya memasuki rumah bersamaan dengan mobil Bian yang melaju meninggalkan tempat tersebut, Bian harus menghentikan langkah wanita itu untuk menawarkan kerja sama sesuai rencananya.
"Pergi kemana dia," ucap Bian.
Pandangannya mengedar kesetiap penjuru, Bian ingat dia belok kanan saat keluar gerbang, dan seharusnya masih ada di dekat sana karena wanita itu hanya berjalan kaki.
Secepatnya pejalan kaki, pasti akan tetap terkejar oleh laju mobil Bian sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments