Bian menuruni tangga rumahnya, pagi ini senyuman Bian terlihat sangat manis, wajahnya begitu ceria, sangat berbeda dari biasanya.
"Bian, kamu kenapa?" tanya Kania.
Bian menoleh dan terdiam, apanya yang kenapa, Bian tidak apa-apa.
"Kamu kenapa, kelihatannya semangat sekali pagi ini?"
"Memangnya kenapa kalau bian semangat, ada yang salah?"
"Bukan salah, Mamah tanya kenapa, apa yang buat kamu semangat?"
"Apa pun itu biarkan saja Bian yang rasakan, memangnya Mamah masih peduli dengan semangat Bian, dari kemarin-kemarin juga Mamah sama Papah yang hancurkan semangat Bian."
Kania mengernyit, bisa sekali Bian berkata seperti itu pada mamahnya sendiri, dan Bian masih saja tida bisa mengerti dengan semua maksud Kania dan Kemal.
"Bian mau sarapan di luar, teman Bian minta bertemu hari ini."
Kania hanya mengangguk saja, terserah saja asalkan besok Bian ada di rumah untuk menemui Sintia dan orang tuanya.
"Papah mana?"
"Papah masih di kamar."
Bian mengangguk, baiklah Bian juga tidak berniat untuk pamit pada Kemal, belum tentu juga Kemal akan membiarkan Bian pergi begitu saja.
"Ya sudah Bian pergi dulu."
"Iya hati-hati, kalau sudah selesai langsung pulang ya."
Bian mengangguk dan berlalu begitu saja, Bian sudah katakan tujuannya jadi sepertinya tidak ada lagi masalah untuk sekarang.
"Mau kemana anak itu, pasti telah terjadi sesuatu sehingga dia bisa semangat seperti itu, biasanya juga tidak seperti itu."
Kania menggeleng, sudahlah untuk saat ini Kania ikut senang saja dengan perubahan Bian itu, semoga saja selamanya dan penyebabnya adalah karena Bian telah menerima perjodohan itu.
Kania akan senang jika memang Bian mau menerima perjodohan itu, lagi pula tidak ada salahnya juga Bian setuju karena calon istrinya juga sempurna.
Bian tidak akan rugi menikah dengan Sintia, lagi pula bukankah restu orang tua itu yang utama, jika pernikahan atas restu orang tua pasti akan langgeng dan baik-baik saja.
"Mamah," panggil Kemal.
Kania menoleh dan tersenyum, baguslah karena Kemal sudah turun sekarang, mereka bisa segera sarapan saja agar Kemal juga tidak terlambat ke kantor.
"Bian belum turun?" tanya Kemal.
"Sudah, Bian sudah turun dan sudah pergi juga."
"Pergi?"
"Iya, Bian katanya ada janji sama temannya mau sarapan di luar, makanya tadi Bian pergi buru-buru."
"Sama siapa?"
"Gak tahu, paling juga sama Dion, mereka kan selalu sama-sama."
Kemal mengangguk, ya sudahlah kalau memang kepergiannya itu jelas, Kemal tidak akan permasalahkan.
"Ya sudah, sarapan sekarang ya."
"Iya dong, Papah bisa terlambat ke Kantor kalau gak cepat."
Kania mengangguk, itulah yang paling benar, Kemal tidak boleh terlambat ke kantor karena Kemal harus jadi contoh untuk para karyawannya di sana.
Keduanya berjalan menuju meja makan, tidak masalah meski hanya makan berdua saja, karena sejak ada wacana perjodohan itu, Bian memang kerap menghindar dari orang tuanya.
Jadi sekarang mereka telah terbiasa dengan ketidak hadiran Bian saat makan, meski begitu Bian masih sesekali ada untuk menghargai orang tuanya, dan itu sudah cukup bagi Kemal dan Kania.
"Masak banyak," ucap Kemal.
"Iya, mungkin yang masak lagi semangat."
Kemal mengangguk, baguslah jadinya ada banyak pilihan untuk sarapan kali ini, dan menunya juga memang berbeda kali ini.
"Mama, ambilkan ya."
"Tidak perlu, Mamah ambil buat Mamah sendiri saja, Papah mau ambil sendiri."
"Ya sudah."
Kania dan Kemal mengisi piring dengan menu pilihan masing-masing, keduanya menikmati hidangan dengan tenang karena semua masakan memang mereka sukai.
Bian menghentikan mobilnya di depan gerbang rumah Zahra, Bian melihat wanita itu sedang menyapu halaman rumahnya.
Wajahnya masih tampak murung, dan sepertinya mata itu juga masih saja bengkak.
"Kalau difikir kasihan juga wanita itu, harus kehilangan orang tua dan juga tempat tinggalnya."
Bian melihat sekitar, tidak ada siapa pun disana, apa Bian harus temui wanita itu sekarang saja dan mengatakan niatnya.
Bian menggeleng cepat, tidak bisa, Bian tidak bisa menemuinya sekarang karena mungkin saja wanita itu telah menyiapkan sesuatu untuk melawan orang tuanya.
Lebih baik, Bian menunggu saja sampai nanti malam, Bian harus lihat dulu apa yang akan dilakukan wanita itu untuk mempertahankan rumahnya.
"Tapi apa pun itu, aku yakin dia akan tetap terusir dari rumah, aku tahu seperti apa Papah."
Bian mengangguk, untuk sekarang biarkan saja wanita itu tenang di rumahnya, karena nanti malam ketenangan itu tidak akan ada lagi.
"Tekanan Papah pasti akan membuatnya semakin kecewa dan hancur, dan saat itu aku akan bantu dia dengan syarat yang akan ku buat."
Bian tersenyum dan melajukan mobilnya, tentu saja Zahra mendengar derunya dengan jelas.
Zahra menatap mobil tersebut, tapi tidak ada yang bisa difikirkannya, Zahra tidak tahu mobil siapa itu dan mungkin saja memang mobil yang sekedar lewat saja.
"Sudahlah Zahra, kamu tidak perlu memikirkan apa pun juga sekarang, kamu hanya harus bersiap untuk pergi dari rumah ini saja."
Zahra menggangguk karena ucapannya sendiri, sekarang Zahra hanya ingin melakukan aktivitas yang masih bisa dilakukannya di rumah itu.
Zahra sudah putuskan untuk pergi saja dan kembali ke penginapannya di tempat liburan kemarin, Zahra akan fikirkan langkahnya di sana dan semoga saja Zahra mendapatkan cara untuk bisa kembali memiliki rumah tersebut.
Zahra menatap rumah mewah itu, betapa tidak relanya Zahra harus melepas rumah itu untuk orang lain, memberikan rumah yang selama belasan tahun ditinggalinya itu begitu saja.
"Zahra akan pergi dari rumah ini, Pah."
Zahra melihat sekitar halaman, tidak akan ada lagi halaman luas itu dan semua ceritanya tidak akan juga terulang.
Zahra telah kehilangan semuanya, benar seperti apa yang Kemal katakan jika semua telah hilang, termasuk juga rumah itu.
"Zahra tidak tahu akan bisa atau tidak melanjutkan hidup ini tanpa kalian, Zahra tidak tahu akan bisa kuat atau tidak melewati semua yang terjadi ke depannya."
Air mata Zahra kembali membahasi pipinya, sampai saat ini Zahra masih sangat rapuh, kehilangan yang dialaminya itu sangatlah menghancurkan dirinya.
"Aku tidak siap dengan semua ini, Tuhan."
Zahra terduduk di sana dengan sapu yang masih digenggamanya, Zahra menangis tanpa bisa ditahan, entah harus dengan cara apa Zahra mengobati lukanya itu.
"Aku mau mereka kembali, aku tidak bisa sendiri seperti ini, tidakkah Tuhan kasihan pada ku, tidakkah Tuhan merasa sedih dengan keadaan ku sekarang."
Zahra menggenggam kuat sapu itu, ingin sekali Zahra memaki Tuhan sekarang, jika saja makian itu bisa mengembalikan kedua orang tuanya, tentu saja akan Zahra lakukan setiap detiknya tanpa peduli dengan dosa yang akan didapatkannya nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments