"Zahra, Zahra kamu di dalam, Zahra buka."
Zahra membuka pintu rumahnya, sejak tadi suara itu terus saja didengarnya meski Zahra tak mau menjawabnya.
"Zahra, kamu baik-baik saja?"
Zahra tersenyum dan mengangguk, semoga saja Zahra memang baik-baik saja sekarang, karena itu harus agar Zahra bisa kuat.
"Zahra, kamu jangan menangis lagi."
Zahra menunduk sesaat, lalu apa lagi yang harus Zahra lakukan jika hanya itu saja yang bisa dilakukannya sekarang.
"Kamu sudah makan, Ibu gak lihat kamu keluar sejak tadi pagi?"
"Zahra gak lapar, Bu."
"Jangan seperti itu, nanti kamu bisa sakit kalau gak makan."
"Biarkan saja, lagi pula Zahra sudah tidak punya tujuan hidup lagi."
"Sutt, jangan bicara seperti itu, kamu masih harus melanjutkan hidup, kamu harus buat orang tua kamu bangga, Zahra."
"Gak bisa, aku gak bisa melanjutkan semuanya sekarang, aku sudah kehilangan arah setelah Papah sama Mamah pergi."
"Bisa, kamu masih ada kami, ya kita memang hanya tetangga, tapi kan gak ada salahnya kalau kita saling membantu."
"Tapi besok kita gak akan jadi tetangga lagi."
"Loh, kenapa seperti itu?"
"Rumah ini sudah dijual sama Papah, dan besok yang punya rumah akan tinggal disini."
"Ya Tuhan, kenapa Papah kamu seperti itu."
Zahra mengernyit dan menatap wanita di hadapannya, kenapa dengan papahnya dan kenapa ia berkata seperti itu.
"Kenapa dengan Papah aku?"
"Ya kenapa dia lakukan itu, dia tidak mungkin lupa kalau memiliki kamu dalam hidupnya kan, jadi kenapa bisa seperti itu?"
Zahra memejamkan matanya sesaat, Zahra lantas pamit untuk masuk saja, lagi pula langit sudah gelap dan Zahra ingin istirahat.
"Tapi Zahra."
"Tidak apa-apa Bu, aku baik-baik saja jangan khawatir."
Zahra lantas menutup pintunya tanpa banyak bicara lagi, tidak ada gunanya juga berbicara banyak dengan tetangga karena tidak akan bisa merubah apa pun.
Zahra akan tetap kehilangan rumahnya jika tidak bisa melawan mereka, Zahra tidak tahu harus melakukan apa besok malam untuk bisa mempertahankan rumahnya.
Zahra berjalan menaiki tangga dan memasuki kamarnya, Zahra merebahkan tubuhnya di sana.
Apa Zahra harus kembali ke penginapan di tempat liburannya saja, bukankah masih ada satu minggu lagi waktunya.
"Aku bisa berfikir disana untuk melangkah, itu pun kalau memang bisa."
Zahra memejamkan matanya, betapa keadaan sangat melemahkannya, semua menekan Zahra bersamaan, jahat sekali semua jahat sekali pada Zahra.
Lama mata itu terpejam, ternyata mampu membawa Zahra kealam bawah sadarnya, Zahra terlelap mungkin karena terlalu lelah menangis.
Tidak ada yang terlintas difikirannya sekarang tentang keadaan dirinya, Zahra tidak siap dan tidak akan pernah siap dengan semua itu.
"Bian, lusa kamu jangan kemana-mana ya."
Bian menoleh tanpa menjawab ucapan Kania, Bian sudah tahu alasannya, karena tadi Sintia telah mengatakan niat kedatangannya.
"Orang tua Sintia akan datang lusa, jadi Mamah mohon sama kamu, tolong temui mereka."
"Itu kan lusa, lalu bagaimana dengan besok malam?" tanya Bian.
Kania dan Kemal menoleh bersamaan, untuk apa Bian mempertanyakan itu sekarang, bukankah Bian tak peduli dengan itu
"Jadi kan, Papah usir orang itu?"
"Kenapa kamu bertanya itu, memangnya kamu peduli?"
"Jawab saja, Pah."
"Ya jadilah, kenapa harus gak jadi, rumah itu Papah siapkan untuk kamu dan Sintia, agar kamu bisa menempatkan Sintia dengan baik."
Bian mengangguk dengan sedikit tersenyum, baguslah berarti dengan seperti itu, Bian bisa memberikan penawaran pada wanita penghuninya.
"Kamu kenapa?" tanya Kania yang melihat senyuman Bian.
Bian menoleh dan menggeleng, biarkan saja semua itu hanya ada dalam fikirannya, Bian tidak perlu mengatakan apa pun juga pada mereka.
"Sepertinya, Bian setuju dengan perjodohannya, makanya dia senyum dapat rumah itu," ucap Kemal.
Bian mengernyit dan mengangkat kedua bahunya sekilas, terserah saja mereka mau berfikir seperti apa karena Bian akan tetap pada keputusannya.
"Ya sudah, bagus dong Pah kalau Bian setuju dengan perjodohan itu, berarti kita tidak perlu pusing berfikir seperti apa harus membujuk Bian."
"Mamah benar, karena dengan begitu
perusahaan kita juga akan kembali."
Kania dan Kemal tersenyum bersamaan, itu benar sekali dan mereka akan kembali pada keadaan terbaiknya.
Bian pasti akan bisa diandalkan untuk semua itu, jadi mereka harus tetap percaya dan mau bersabar untuk mendapatkan dukungan dan persetujuan Bian.
Mereka melanjutkan makan malamnya, lebih baik seperti itu agar makan juga cepat selesai dan mereka bisa berbincang banyak hal.
"Bian duluan ya, Bian pusing mau tidur."
"Tadi kam kamu sudah tidur, seharusnya kamu segar dong sekarang."
"Ya ini kan sudah malam, wajar dong kalau Bian ngantuk lagi, jadi ya tidur lagi."
"Hemmm, ya sudahlah, gimana kamu saja yang penting kamu tetap baik-baik."
Bian mengangguk dan meneguk minumnya, Bian berlalu begitu saja meninggalkan Kania dan Kemal.
Bian akan menghabiskan malamnya dengan tenang, dan Bian akan semangat menjalani hari esok.
Tidak akan ada lagi perjodohan antara dirinya dan Sintia, tidak akan ada juga yang merenggut kebebasannya.
Bian akan menikah dengan wanita pilihannya, wanita yang pasti akan menolak pernikahan itu juga, wanita yang tidak akan pernah terima di kekang dan .....
"Sempurna, hidup ku akan segera bebas dari tekanan, tidak akan ada lagi nama Sintia yang terdengar disetiap harinya, bagaimana pun caranya, aku harus bisa menikahi wanita itu, dan sepertinya tidak akan sulit untuk mendapatkannya karena aku ada rumah yang akan jadi pemikatnya."
Bian tersenyum penuh kemenangan, tidak ada keraguan sama sekali tentang apa yang difikirkannya itu.
Bian yakin dengan apa yang jadi tujuannya, wanita itu akan membantunya bebas dari perjodohkan memuakan itu.
Bian meraih ponselnya dan menghubungi temannya, tentu saja Bian harus menceritakan semuanya karena itu pasti akan membuat mereka merasa senang juga.
"Hallo, gimana-gimana nih, kabar terbarunya, jadi nikah sama Sintia?"
Bian tertawa mendengar pertanyaan itu, panggilan baru saja tersambung tapi ia langsung bertanya seperti itu.
"Malah ketawa, jawab."
"Seharusnya sih batal, karena sudah terfikirkan cara untuk menghindari wanita itu."
"Yakin, gimana caranya?"
Bian melirik pintu, panggilan video pasti akan terdengar keras, jadi lebih baik Bian mengganti sambungannya saja.
"Bentar ya, nanti disambung lagi."
"Mau kemana woy, jawab dulu."
"Sutt, sebentar saja, tunggu tunggu."
Bian menutup sambungannya begitu saja, tanpa peduli dengan apa yang dikatakan oleh temannya itu.
"Mungkin lebih baik bertemu langsung, dengan begitu suara bisa bebas mau sekeras apa pun juga, tidak perlu khawatir kalau Papah sama Mamah akan tahu."
Bian mengangguk, itu yang paling benar untuk sekarang, Bian lantas bersiap untuk merapikan diri dan akan langsung menemui temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments