Mereka keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk ke rumah, Bian memilih lebih dulu masuk dan meninggalkan mereka berdua.
"Anak itu susah sekali di kasih tahu, padahal semua juga akan kembali pada dirinya."
"Ya sudahlah, Pah, biarkan saja namanya juga anak muda pasti memiliki pemikiran yang berbeda dengan kita."
"Ya tapi tetap saja, Bian harus mau menikah dengan Sintia karena kalau tidak, semua akan menghilang untuk selamanya."
Kania hanya mengangguk saja menjawab ucapan Kemal, tidak ada gunanya untuk berdebat dengan suaminya itu, bukankah meski Bian menolak pun pernikahan itu akan tetap terjadi.
Jadi biarkan saja Bian dengan keinginannya saat ini, karena pada akhirnya Bian akan menuruti mereka juga, menikah dengan Sintia dan akan membantu mengembalikan perusahaan itu lagi.
Keduanya duduk di ruang tengah, tak terlihat lagi Bian di sana, lelaki itu pasti sudah sampai di kamarnya dan memilih diam di sana.
"Bi, bawakan minum," teriak Kania.
"Sekarang mana anak itu?"
"Paling juga di kamar, mau dimana lagi kalau tadi Bian masuk lebih dulu."
Kemal menggeleng dan memijat pelipisnya, pusing sekali Kemal jika saat seperti itu, Bian selalu saja membantah perjodohan itu.
"Lusa, orang tuanya Sintia akan datang kesini, mereka akan membahas tentang pernikahan itu."
"Ya sudah, kamu harus pastikan kalau Bian akan ada di rumah."
Kania mengangguk, tentu saja Kania akan pastikan Bian ada di rumah, dan akan menemui tamu kehormatan itu.
Bian harus mau menikahi Sintia, karena mereka juga menyukai Sintia, dan setuju sekali jika mereka berdua menikah.
"Silahkan minumnya," ucap mbak rumah.
"Terimakasih ya, Bi," ucap Kania.
ART itu lantas pergi meninggalkan keduanya, karena minumnya pun telah diantarkan jadi urusannya telah selesai.
"Diminum dulu, Pah."
Kemal menoleh dan mengangguk, ia lantas meraih gelasnya dan meneguk airnya, sedikit memberikan ketenangan.
"Papah, besok ke Kantor kan?"
"Ya iyalah, kalau gak ke Kantor siapa yang akan mengerjakan semuanya, Bian kan masih saja tidak peduli dengan semua itu."
Kania mengangguk, itu memang benar, sejak perusahaan yang diurus Bian itu direbut oleh kakeknya, Bian jadi enggan bekerja bahkan untuk membantu Kemal sekali pun.
"Ya sudah, Papah, jangan terlalu memikirkan tentang itu, mungkin besok lusa Bian bisa berubah dan mau bantu, Papah."
Kemal mengangguk, tentu saja harapan itu akan tetap ada sampai kapan pun, Kemal
menyimpan gelas itu kembali ke meja.
"Pah, soal wanita tadi, apa kita tidak jahat padanya, dia sedang berduka."
"Apanya yang jahat, rumah itu sudah atas nama Papah dan itu sudah sejak lama, Papah diam karena memang kemarin Bima masih ada, Papah menghargai dia saja meski pun Bima tak lagi mampu membayar hutangnya."
"Iya, tapi kan benar apa kata wanita itu, jika dia memang tidak ada hubungannya dengan hutang orang tuanya."
"Bagaimana tidak ada hubungannya, jelas saja ada hubungannya, orang tua dia yang berhutang dan sekarang tinggal dia yang ada, memangnya dia bisa bayar hutang orang tuanya."
Kania terdiam, itu memang benar adanya, wanita itu pasti tidak akan mampu membayarnya, lagi pula Kania lihat dia masih sangat muda.
"Sudahlah tidak perlu memikirkan itu, biarkan saja lagi pula itu rumah kita dan kita berhak menentukan siapa yang boleh tinggal dan tidak."
Kania tersenyum dan mengangguk, baiklah memang tidak ada gunanya juga mendebat Kemal, karena semua yang diinginkannya memang harus selalu di dapatkannya.
"Mamah, keberatan?"
"Enggak, terserah saja, Mamah ikut gimana Papah saja."
Kemal mengangguk, baguslah kalau seperti itu, karena memang sudah seharusnya Kania mendukung saja suaminya.
Kania meraih gelasnya dan meminum airnya perlahan, sekarang lebih baik Kania fokus saja memikirkan bagaimana caranya agar Bian mau menemui Sintia dan orang tuanya.
"Terserah saja, aku tidak peduli, itu bukan urusan ku, itu urusan kamu dan orang tua aku saja."
Bian menutup sambungannya dan menyimpan ponselnya, kenapa keadaan terus saja menekannya, Bian tidak ingin menikah dalam waktu dekat.
Tapi kenapa keadaan justru memaksanya untuk menikah, Bian memang tidak punya kekasih dan itu memang pilihannya.
Bian masih ingin dengan kebebasannya, lagi pula Bian baru 24 tahun dan menurut Bian usia itu masih sangat muda untuk menikah.
Kenapa orang tuanya itu tidak mengerti, kalau Bian menikah pasti kebebasannya akan terenggut, dan Bian harus disibukan dengan urusan rumah tangganya itu.
"Menyebalkan sekali," ucap Bian kesal.
Sudah banyak cara Bian lakukan untuk menghindari pernikahan itu, bahkan sudah terang-terangan juga Bian menolak perjodohan itu di depan mereka semua.
Tapi kenapa justru pernikahan itu semakin di depan mata, dua bulan lagi Bian akan menikah dengan wanita yang tidak pernah diinginkannya.
Bian merebahkan tubuhnya di kasur, pusing sekali Bian jika sedang mengingat perjodohan itu, semua sangat memuakan baginya.
Bian teringat dengan wanita itu, wanita yang berlutut pada papahnya saat diminta pergi dari tempat tinggalnya.
***
"Surat rumah ini sudah atas nama saya, jadi saya berhak mengusir kamu dari sini, dan mumpung saya masih baik jadi silahkan kamu pergi tanpa harus saya usir dengan tidak hormat."
"Jangan Pak, saya mohon, saya tidak punya siapa-siapa lagi dan saya tidak punya apa-apa lagi selain dari pada rumah ini."
"Saya tidak peduli, saya yang berhak atas rumah ini, jadi saya bisa mengusir siapa pun yang tidak saya kehendaki untuk tinggal di rumah ini."
Zahra menunduk, saat duka kehilangannya belum usai, sekarang sudah harus ada permasalahan ini.
"Silahkan pergi."
Zahra kembali menoleh, dan berlutut dengan menyentuh ujung sepatu Kemal.
"Jangan usir saya dari sini, saya tidak punya tujuan lain, saya tidak ingin kehilangan rumah ini tolong mengerti, saya sudah kehilangan orang tua saya."
***
"Wanita itu sangat mempertahankan rumahnya, padahal sudah jelas jika rumah itu sudah berganti pemilik."
Bian kembali duduk dan mengusap wajahnya, apa Bian memanfaatkan keadaan wanita itu saja untuk membantunya terbebas dari perjodohan.
"Dia tidak akan mau menikah, dan aku juga tidak mau menikah, tidak akan terjadi apa-apa dalam pernikahan itu dan tidak akan ada kekangan apa pun juga."
Bian tersenyum dan mengangguk, benar juga pemikirannya itu, Bian bisa manfaatkan wanita itu untuk membantunya.
"Dia terlihat masih muda, paling umurnya 19 dan gak mungkin umur segitu mau nikah, tapi dia tidak mau meninggalkan rumah itu meski telah diusir."
Bian menepuk tangannya seraya bangkit, tepat sekali pemikirannya, jika Bian menikah dengan Sintia maka kebebasannya akan terenggut karena Sintia memang menginginkan pernikahan itu, tapi dengan wanita itu .....
"Ya .... hu hu hu, pintar sekali, yes aman Bian."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments