Keesokan hari, Zahra terbangun dari tidurnya, di rumah sebesar itu Zahra hanya hidup sendirian saja, tidak ada lagi suara kedua orang tuanya.
Mereka yang selalu berisik ketika Zahra telah bangun, mereka yang selalu berebut mengisi piring makan Zahra, mereka yang selalu berisik mengingatkan Zahra agar tetap berhati-hati dalam setiap keadaan.
Mereka telah tiada sekarang, yang tersisa untuk Zahra hanyalah kenangan manis bersama mereka, yang ada sekarang hanyalah sepi dan luka yang entah kapan akan pulih.
Zahra berjalan menuruni tangga rumahnya, tidak ada lagi aroma masakan yang menyenggol hidung Zahra, tidak ada lagi sapaan hangat papahnya saat Zahra pertama turun tangga.
Semua kosong, hanya keheningan yang ada di sana, di rumah itu dan hati Zahra semua hanya kegelapan.
Kring .... Zahra menoleh saat mendengar bunyi bel rumahnya, Zahra memejamkan matanya sesaat, semoga saja keajaiban Tuhan akan datan sekarang.
Orang tuanya akan kembali lagi sesuai dengan keinginannya, Zahra berjalan dan membuka pintunya dan terlihat tiga orang disana.
Zahra diam memperhatikan mereka, siapa dan ada apa, Zahra tidak mengenal mereka tapi kenapa mereka datang sekarang.
"Permisi," ucap salah satu dari mereka.
Zahra mengangguk tanpa mengatakan apa pun juga, biarkan saja mereka mengatakan apa yang menjadi tujuan kedatangannya.
"Saya Kemal, ini istri saja Kania, dan ini anak saya Bian anak saya."
Zahra kembali mengangguk setelah melirik mereka bergantian, bukan kedatangan mereka yang Zahra inginkan sekarang.
"Kamu anak dari Pak Bima?"
"Iya."
"Mungkin saja orang tua kamu sudah memberi tahu kamu tentang rumah ini?"
Zahra mengernyit, memberi tahu apa, Zahra tidak bertemu mereka selama satu minggu dan saat bertemu pun mereka telah meninggal dunia.
"Pak Bima menjaminkan rumah ini pada saya, dia memiliki banyak hutang pada perusahaan saya, dan dia mengatakan jika tidak mampu membayarnya maka rumah ini akan diserahkan pada saya."
Zahra mengangkat kedua alisnya, kalimat macan apa itu, sejak kapan orang tuanya memiliki hutang dan sampai harus menjaminkan rumah seperti itu.
"Semua telah hilang sekarang, termasuk juga rumah ini, jadi sekarang silahkan kamu pergi dari rumah ini karena anak saya akan menempatinya."
Zahra seketika melirik anak yang dimaksud lelaki itu, Zahra menatapnya, benarkah seperti itu, lalu harus kemana Zahra pergi sekarang.
Tidak ada yang bisa jadi tujuannya saat ini, luka itu masih sangat kuat, dan bagaimana bisa Zahra berfikir.
"Silahkan kemasi barang kamu dan segera pergi."
Zahra menggeleng, tidak bisa seperti itu, Zahra tidak pernah tahu tentang hutang orang tuanya, jadi kenapa Zahra yang harus menanggung semuanya.
"Surat rumah ini sudah atas nama saya, jadi saya berhak mengusi kamu dari sini, dan mumpung saya masih baik jadi silahkan kamu pergi tanpa harus saya usir dengan tidak hormat."
"Jangan Pak, saya mohon, saya tidak punya siapa-siapa lagi dan saya tidak punya apa-apa lagi selain dari pada rumah ini."
"Saya tidak peduli, saya yang berhak atas rumah ini, jadi saya bisa mengusir siapa pun yang tidak saya kehendaki untuk tinggal di rumah ini."
Zahra menunduk, saat duka kehilangannya belum usai, sekarang sudah harus ada permasalahan ini.
"Silahkan pergi."
Zahra kembali menoleh, dan berlutut dengan menyentuh ujung sepatu Kemal.
"Jangan usir saya dari sini, saya tidak punya tujuan lain, saya tidak ingin kehilangan rumah ini tolong mengerti, saya sudah kehilangan orang tua saya."
Mereka bertiga saling lirik, apa mereka harus kasihan pada wanita itu, semua adalah kesalahan orang tuanya sendiri.
Wanita itu bukan urusan mereka sekarang, karena yang jelas mereka ingin agar rumah itu kosong dan bisa ditinggali oleh mereka.
"Sudahlah jangan seperti ini," ucap Kania membangunkan Zahra.
"Kami masih baik-baik meminta kamu pergi, kami bukan tidak mengerti dengan keadaan kamu saat ini, tapi kami juga akan menggunakan rumah ini, jadi tolong silahkan kamu pergi."
Zahra menggeleng, sejahat itukah mereka mengusir orang yang jelas sedang berduka, dimana hati nuraninya itu.
"Silahkan, jangan buat suami saya marah."
"Aku tidak mau, aku tidak akan pergi dari rumah ini, aku tidak sangkut pautnya dengan hutang orang tua ku, jadi kalian tidak bisa mengorbankan aku dalam urusan itu."
Zahra menatap ketiganya bergantian dan kembali masuk dengan mengunci pintunya, Zahra kembali menangis dalam di sana.
Tuhan benar-benar merenggut semuanya, bahkan rumah pun dirampasnya, Zahra tak bisa lagi berfikir baik tentang Tuhan.
"Saya beri kamu waktu sampai besok malam, kalau kamu masih ada di rumah ini besok malam, jangan salahkan saya jika saya akan mengusir mu dengan kasar."
Zahra diam mendengar kalimat itu, mungkin tidak akan ada lagi orang baik dalam hidupnya, karana memang hanya orang tuanya yang baik pada Zahra.
Zahra mendengar deru mobil di luar sana, mereka pasti sudah pergi sekarang, lalu harus bagaimana Zahra sekarang.
Apa Zahra bisa mempertahankan rumah itu untuk tetap jadi satu-satunya yang dimiliki, tapi apa bisa Zahra melawan mereka besok malam, entah apa yang akan dilakukan mereka untuk menyingkirkan Zahra dari rumah itu.
"Zahra harus gimana Mah, Pah?"
Zahra duduk bersandar pada pintu, dengan kedua kali yang dipeluknya, Zahra menunduk pada lututnya dan menangis sejadi-jadinya di sana.
"Tidak perlulah melakukan itu, kita masih ada rumah yang lain kan," ucap Bian.
"Diam saja kamu, lagi pula rumah mana yang cocok buat kamu?" tanya Kemal.
"Aku tinggal dimana pun tidak masalah, selagi itu nyaman."
"Lalu bagaimana dengan istri mu nanti?"
Bian memejamkan matanya seraya berpaling, istri mana, Bian tidak berniat untuk menikah sekarang.
"Sudahlah Bian, kamu tidak perlu menghindar lagi, terima saja perjodohan kamu dengan Sintia,"ucap Kania.
"Gak, aku gak mau terima sampai kapan pun juga."
"Kenapa sih, apa kurangnya Sintia, dia cantik, baik, pintar juga."
"Tapi aku gak cinta sama dia."
"Cinta itu belakangan Bian, kamu akan mencintai Sintia saat kalian telah tinggal satu rumah dan terbiasa bersama."
"Mamah kenapa sih maksa banget, Bian sudah bilang kalau sampai kapan pun, Bian tidak akan terima perjodohan ini."
"Tapi itu tidak akan merubah apa pun, kamu akan tetap menikah dengan Sintia dua bulan lagi," ucap Kemal.
"Terima saja Bian, lagi pula kan hanya untuk 1 tahun saja, hanya sampai perusahaan itu kembali ke tangan papah kamu."
"Ya kenapa harus Sintia, masih banyak wanita lain."
"Siapa, siapa wanita lain itu, kamu saja tidak punya pacar sampai sekarang, cuma Sintia yang mau sama lelaki dingin seperti kamu."
Bian tak menjawab, Bian memilih memperhatikan jalanan saja, masa bodoh dengan semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 266 Episodes
Comments