Semenjak tragedi Kecelakaan itu, Tristan menjadi pemurung. Sudah beberapa hari ini Tristan tinggal di rumah orangtuanya. Dia enggan kembali ke kediamannya mengingat di sana banyak kenangan bareng mantan istrinya.
Selama beberapa hari ini juga, Tristan melamun memikirkan kehidupannya yang tidak pernah merasakan kedamaian, kenyamanan, dan kebahagiaan.
"Kamu melamunkan apa?" Jihan tiba-tiba menghampiri Tristan yang sedang termenung di dekat jendela kaca memperhatikan burung beo milik Marko.
"Eh, Mah. Enggak, aku tidak melamun apapun."
"Jangan bohong, Tristan. Mama tahu pasti kamu sedang memikirkan sesuatu. Jujurlah, siapa tahu Mama bisa bantu!"
Tristan menoleh, dia menatap wanita yang sudah membesarkannya penuh kasih sayang. Dia paling manja jika di dekat Jihan.
"Kenapa hidupku jadi begini, Mah?" celetuknya bertanya serius.
"Mama tidak bisa menjawab dengan detail pertanyaan mu. Tapi, Mama hanya ingin bertanya, apakah kamu pernah menyakiti seseorang? jika iya, mungkin ini adalah salah satu balasan nyata dari Tuhan." Jihan menepuk-nepuk pundak Tristan lalu berdiri.
"Minta maaflah pada mereka yang kamu sakiti terutama wanita-wanita yang kamu hancurkan masa depannya. Itu saran Mama."
Jihan pergi membiarkan Tristan berpikir dan merenungi kesalahannya.
"Wanita yang ku sakiti? Claudia, Kanaya, Emily. Hanya mereka wanita yang pernah ku sakiti." Tristan semakin termenung bersalah, dia memejamkan mata, bayangan perlakuannya terhadap mereka berputar kembali bagaikan kaset di putar terus menerus.
"Tuhan, maafkan aku. Ternyata apa yang ku lakukan salah. Sekarang kau menghukum ku dengan cara seperti ini agar ku tak lagi berbuat Zina sesuka hati. Sekarang aku mengerti," gumamnya meneteskan air mata.
Tristan memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, ia ingin meminta maaf pada Naya terlebih dahulu. Dia beranjak pergi meminta alamat rumah Kanaya kepada Jihan. Awalnya Jihan tidak memberikan namun, setelah Tristan meyakinkan, Jihan memberitahukan alamatnya.
************
Tristan memperhatikan bangunan megah itu. Nyalinya menciut tak berani melangkah masuk. Tapi, hatinya berkata untuk tetap masuk meminta maaf kepada Kanaya. Tangannya terulur bergerak menekan bel.
Ting..... Tong....
Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membukanya.
"Mau cari siapa, Mas?"
"Kanaya nya ada?"
"Bu, siapa? apa suamiku udah pulang?" pekik Naya menghampiri.
"Bukan, Nay. Ini hanya seorang tamu pria." Jawab Bi Marni menoleh ke belakang. Naya mendekat dan ia menatap heran ada Tristan di depan rumah suaminya.
"Kamu?!"
"Nay, aku ingin bicara sama kamu sebentar saja," ujar Tristan memohon.
Naya menoleh ke Bi Marni lalu menoleh ke Tristan. Dia berkata, "Hanya sebentar."
Tristan tersenyum, meski sebentar tak mengapa asalkan ada waktu untuk meminta maaf pada Kanaya.
"Kita bicara di depan saja, aku tidak mau memasukan pria asing kedalam rumah tanpa ada suamiku. Bu, aku minta tolong buatkan minuman buat tamu kita!" nada bicara Naya berubah saat bicara pada Bi Marni.
Tristan menunduk lalu ia mengangguk mengerti.
"Apa yang ingin kamu bicarakan sama aku?"
Tristan mengatur nafasnya terlebih dulu mengumpulkan keberanian untuk meminta maaf kepada Naya.
"Aku mau meminta maaf atas apa yang pernah ku lakukan kepadamu dulu. Maafkan aku yang pernah menyakitimu lahir dan batin. Maafkan aku, Nay. Maafkan aku," lirihnya menunduk tak berani menatap wanita berhati lembut.
"Aku sudah memaafkanmu, Mas. Karena ku sadar, bahwa apa yang kamu lakukan bukan sepenuhnya salah kamu melainkan salahku yang tidak bisa menjadi istri yang kamu inginkan. Semuanya sudah berlalu dan aku sudah tidak ingin mengingatnya lagi." balas Naya tersenyum kepada Bi Marni yang sedang menyimpan minuman dan beberapa cemilan di atas meja.
"Apa kamu benar memaafkanku?" tanya Tristan meyakinkan.
"Aku berusaha memaafkan mereka yang pernah menyakitiku. Tuhan saja maha pemaaf dan kita umatnya harus bisa memaafkan. Karena dengan meminta maaf atau memaafkan, hatiku menjadi lebih tenang dan damai."
Tristan sedikit menyunggingkan senyum. Hatinya merasa sedikit lega mendengar Kanaya sudah memaafkannya. Beban pikirannya seakan berkurang, hatinya sedikit plong. Tinggal kepada dua wanita lagi.
***********
Tristan kembali meneruskan tujuannya yaitu rumah dimana Emily tinggal, lebih tepatnya kediaman mereka.
Tristan melihat Emily sedang meringkuk di sofa. Hatinya terenyuh melihatnya, dia sadar, apa yang terjadi pada Emily merupakan ulahnya.
"Emily," panggilannya.
Emily yang mendengar suara seseorangpun bangun. Dia kaget ada Tristan di sana.
"Tristan," lirih Emily tak bisa bohong kalau ia merindukan Tristan. Tristan menjauhkan wajahnya mencium bau yang keluar dari mulut Emily. Bau minuman keras.
"Aku minta maaf, Em."
"Maaf? hahahaha kau minta maaf setelah apa yang terjadi. Aku tidak butuh maaf mu. Yang ku butuhkan sekarang hartamu!" pekik Emily mendorong keras tubuh Tristan sampai tersungkur ke lantai.
"Apapun yang kau inginkan akan ku berikan asalkan kamu memaafkanku," balas Tristan tulus dari dalam hati.
"Kau yakin ingin mendapat maaf dariku?" tanya Emily berdiri sempoyongan dan Tristan mengangguk.
"Ada dua hal yang harus kau lakukan. Pertama, seluruh hartamu harus menjadi milikku. Kedua, kau harus membantuku untuk mendapatkan Andrian kembali!"
"Kau gila! Aku tidak mungkin membantumu mendapatkan Andrian termasuk memberikan harta padamu." pekik Tristan menolak keras permintaan Emily.
"Kenapa? kau itu kaya, kau seorang manager, dan aku ingin Andrian menjadi milikku lagi baru ku akan memberimu maaf."
"Aku memang kaya tapi itu semua milik orangtuaku. Dan untuk semua syarat yang kau berikan aku tidak mau memenuhinya. Terserah kau mau memberikan maaf atau tidak itu hak mu. Tapi yang penting, aku sudah tulus meminta maaf atas apa yang telah ku perbuat padamu walau ku sadar bahwa kata maaf tak akan mengembalikan semuanya."
*******
"Claudia, tunggu! Aku mau bicara sama kamu." Pekiknya memegang pangkal lengan Claudia.
"Mau apa lagi? kita sudah tidak punya urusan. Aku tidak mau berurusan denganmu lagi!" tolaknya menepis kasar tangan Tristan dan terus melangkah.
"Sebentar saja, aku ingin meminta maaf padamu," ucapnya tak pantang menyerah.
Claudia menatap tajam mata Tristan penuh kebencian.
"Aku memaafkanmu, biarkan aku pergi! Minggir!" jawabnya tegas.
"Tidak, kau belum sepenuhnya memaafkanku terlihat dari caramu menghindari ku."
"Kau sudah tahu jawabannya, tidak mudah bagiku memaafkan dirimu. Semakin kau berusaha mendekatiku semakin besar pula rasa benciku terhadapmu. Minggir!" jawabnya tajam.
Tristan menggeleng tak ingin pergi. Dia yakin kalau wanita di hadapannya ini belum memaafkan terlihat dari caranya memandang dirinya. Namun, ada yang membuat ia penasaran yaitu anak yang berada di gendongan Claudia. Mata dia dan balita itu beradu sampai membuat hatinya seketika bergetar.
"Siapa anak ini?" celetuknya tiba-tiba tak bisa menahan diri untuk bertanya.
Claudia tersenyum sinis, hatinya tercubit Tristan tak bisa mengenali anaknya sendiri.
"Kau ingin tahu siapa anak ini?" tanya Claudia memicingkan mata setajam elang dan Tristan mengangguk.
"Dia anakmu yang tidak pernah kau ketahui, puas!" pekiknya lantang membuat Tristan terkejut.
Deg....
********
Sejak saat itulah Tristan mulai serius untuk memperbaiki diri dan dia pun mengetahui sebuah fakta jika ia memiliki anak dari wanita yang pernah ia sakiti.
Dari sanalah Tristan belajar jika karma itu ada, hukum Tuhan itu nyata dan dia merasa apa yang ia alami adalah hukuman dari Tuhan atas apa yang pernah ia lakukan pada wanita-wanita yang ia sakiti. Sejak kejadian itu pula Tristan berjanji untuk tidak menyakiti wanita lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Waahh emangnya berapa orang mantan isterinya??
2024-01-16
1