Alana keluar dari warung makan dengan perasaan terluka dan juga tak bisa menahan rasa sakit hingga mengakibatkan air matanya berjatuhan. dia tidak menyangka kalau selama ini dirinya dikhianati dan juga dipermainkan.
Dalam hati, Alana selalu bertanya, kenapa orang-orang di sekitarnya begitu jahat? begitu tega? dan tidak memiliki perasaan kasihan kepada dirinya yang hanya seorang wanita cacat.
Ibu kandungnya sampai saat ini masih membenci dirinya. Kakak yang harusnya mengayomi, melindungi, mengasihi adiknya tega merebut orang yang selalu ada untuknya.
Alana menengadahkan wajahnya ke atas menatap langit-langit sore. "Ya Tuhan, kapan kau memberikan kebahagiaan untukku? mengapa hanya derita yang kau kirimkan kepada kehidupanku? kapan aku bahagia? kapan aku merasakan kasih sayang ibu? kapan Kakakku berbaik hati padaku? Kenapa orang-orang di sekitar menyakitiku sedemikian rupa ini?"
"Tuhan, seandainya engkau tidak melahirkanku ke dunia ini mungkin derita ini tak akan pernah ku alami. Tuhan, seandainya Ayahku masih ada, mungkin saat ini aku masih merasakan kasih sayang orang tua meski hanya kudapatkan dari ayah saja. Mengapa ini terjadi kepadaku, Tuhan? Mengapa?"
Alana terisak pilu di bawah langit sore hari menjelang malam. Kaki yang terpincang-bincang dibantu sebelah tongkat, Alana melangkah menjauhi rumah makan tersebut. Rasa sakit, rasa kecewa, rasa perih karena sebuah penghianatan membuatnya enggan pulang.
Ingin rasanya Alana berlari sekuat tenaga, namun apalah daya kaki tak mampu berjalan sempurna. Ingin rasanya Alana berteriak sekencang-kencangnya mengeluarkan emosi jiwa yang ia rasa, namun apa daya ia tidak bisa, mengingat tempat keramaian di sekitarnya.
Alana hanya bisa berdoa, berdoa dan berdoa agar kehidupannya nanti jauh lebih baik dari sekarang ini. Dalam hati kecilnya, Alana berdoa semoga ia dipertemukan dengan seseorang yang benar-benar mau menerima dirinya tanpa melihat kekurangannya. Alana selalu berdoa agar suatu hari nanti kebahagiaan menghampiri.
Gadis cantik berlesung pipi itu berjalan cepat mencari kendaraan. Namun, saking terburu-buru tanpa melihat kiri kanan, ia malah tersenggol mobil seseorang dan mengakibatkan tongkat bantu jalankan terlepas dari genggamannya.
Sreeeppppttt...
Brukkk...
Ckiiittt...
"Awwws...!"
*******
Tristan meninggalkan Cafe dengan perasaan hancur. Tak terbayangkan olehnya jika hubungannya akan kandas hanya karena penolakan atas ketidaksempurnaannya.
Di dalam mobil, dia termenung meratapi kisah hidupnya yang teramat menyedihkan menurut pikirannya. Tristan tidak terlalu fokus dalam menjalankan kendaraan dia banyak melamun namun klakson dari kendaraan lain selalu menyadarkannya agar tidak melamun saat berkendara.
Impoten penyakit yang mungkin bisa disembuhkan jika pengobatannya benar dan rutin. Impoten juga bisa mengakibatkan kemandulan. Namun, semua itu bisa disembuhkan dengan melakukan terapi pengobatan untuk memulihkan kembali saraf saraf agar senjatanya bisa berdiri.
Meskipun tengah melakukan pengobatan, Tristan membutuhkan seseorang untuk mengetes apakah miliknya masih tidak berdiri atau sudah ada kemajuan. Tapi, harapan yang ia impikan kandas di tengah jalan.
"Ternyata di zaman sekarang sangat sulit mencari wanita yang mau menerima apa adanya. Mereka selalu saja memandang dari fisik, harta, tahta, layaknya mencari kesempurnaan yang paling sempurna."
"Ya, Tuhan kenapa Kau memberikan ujianku sedemikian rupa ini. Ya Tuhan, tolong kau berikan satu saja wanita yang mau menerimaku dengan segala kekuranganku."
Tristan sedikit menundukkan penglihatannya hingga ia tidak sadar menginjak pedal gas terlalu kencang. Saking gagal fokus dalam menyetir hanya gara-gara memikirkan wanita, Tristan sampai tidak sengaja menyenggol seseorang membuatnya terkejut penuh kepanikan.
"Ya Tuhan..!! Aku manabrak seseorang!" Tristan segera keluar mobil. Matanya terbelalak terkejut melihat seorang wanita tengah duduk berusaha menggapai tongkatnya.
"Aawwws...! Tongkatku," ucap Alana mendapati tongkatnya sedikit jauh dari tempat yang ia duduki. Alana sampai mengesod untuk mengambil tongkatnya.
Orang yang Tristan serempet ternyata Alana. Dia sedikit berlari menghampiri mengambil tongkat itu lalu memberikannya kepada Alana.
"Ini, maafkan saya." Ucap Tristan menyesal telah lalai menjalankan mobilnya.
"Maaf, maaf, kau pikir ini jalan punya Nenek moyangmu apa? jalan segede gini pasti saja main kebut-kebutan." gerutu Alana kesal pada orang yang sering ugal-ugalan.
"Maafkan saya, tadi saya melamun hingga tidak sadar menginjak pedahal gas secara berlebihan."
"Kalau ada pikiran jangan bawa mobil! Ini bisa membahayakan nyawa orang lain, kau paham?!"
"Paham, sekali lagi maafkan saya. Apa ada yang terluka? jika kakimu merasakan sakit, lecet, atau cedera lainnya ayo, aku antar kamu ke rumah sakit?" ajak Tristan memegang pundak Alana ingin membantunya masuk ke mobil dalam rangka memeriksa kan keadaan fisik Alana.
Alana menggerakkan bahunya agar tangan Tristan terlepas dari pundaknya. "Tidak perlu repot-repot, saya baik-baik saja. Tapi lain kali kau harus berhati-hati lagi dalam berkendara! Kalau kau belum becus mengendarai kendaraan mending belajar dulu hingga mendapat kan surat izin mengemudi," seru Alana menasehati.
"Hei, kenapa suruh belajar mengemudi? saya ini sudah dewasa, itu artinya saya sudah memiliki surat izin mengemudi. Jadi kamu tidak perlu repot-repot menyuruh saya untuk belajar lagi."
Alana mengernyit. "Meskipun kau sudah memiliki surat izin mengemudi, tapi caramu berkendara menunjukkan jika kau baru saja belajar mengendarai mobil. Belajar yang benar, jangan kebut-kebutan! Turuti rambu-rambu lalu lintas! Untung aku tidak kenapa-kenapa, kalau aku mati hari ini juga, orang pertama yang akan aku gentayangi adalah dirimu," ujar Alana ketus sambil berlenggang pergi meninggalkan Tristan.
"Hai mana ada kau mati hantunya gentayangan? itu mustahil." Teriak Tristan, Alana hanya menoleh ke belakang lalu dengan ketusnya dia membalikkan lagi wajahnya ke depan.
Tapi Tristan kembali tersadar jika dia harus memastikan dulu wanita itu dan dia pun kembali mengejarnya.
"Hei, mari ke rumah sakit. Aku tidak mau sehabis dari sini kau merasakan sakit di bagian tubuhmu. Ayo kita periksa?!" Tristan sedikit memaksa Alana.
"Aku bilang tidak perlu, ya tidak perlu. Kau lihat, kalau diriku ini baik-baik saja. Kalaupun merasakan sakit pasti sedari tadi juga Aku masih duduk di sana."
"Tapi nona, di sini saya merasakan tidak enak terhadap diri Anda. Gara-gara kelalaian saya dalam berkendara, Anda menjadi korbannya. Di sini saya harus bertanggung jawab baik Anda terluka ataupun tidak. Maka dari itu ikutlah saya ke rumah sakit memeriksakan keadaan dirimu?" Kekeh Tristan dengan ajakannya. Dia bahkan sampai sedikit memaksa Alana menggunakan kekerasan saking wanita itu tidak ingin ikut dengannya.
"Hei..! kenapa kau memaksaku seperti ini? Apa jangan-jangan kau culik yang pura-pura bilang mau bertanggung jawab tapi kau malah mau ngapain ngapain saya." Alana pemberontak dari cakalan Tristan.
Tristan tidak mendengar penolakan Alana. Rasa tanggungjawab dan rasa bersalah nya lebih dominan di bandingkan ocehan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
玫瑰
pertemuan yang menarik
2022-09-30
0