"Andrew kita bangunkan Ayah, kamu gelitiki di kakinya kakak gelikiti di kupingnya menggunakan bulu kemoceng ini."
"Baik Kak Alil, atu mengelti." balita kecil berusia 2 tahun itu mengangguk mengikuti arahan dari kakaknya.
Keduanya bersiap siap melakukan aksi membangunkan Tristan dengan cara mereka. Ariel anak berusia 4 tahun itu melangkah pelan-pelan mendekati di mana Ayah nya tidur.
Andrew mengikuti langkah Ariel dari belakang, anak bawang itu mau saja diajak asalkan kakaknya mau bermain dengannya.
"Andrew kemocengnya kamu gesek-gesekan ke kaki Ayah! Kalau kakak ke telinga Ayah tapi jangan berisik, ya?" kata Ariel berucap pelan dan Andrew mengangguk. Keduanya saling lirik lalu menghitung secara mundur.
"Satu.. dua.. tiga... mulai!" ucap Ariel mengorek telinga Tristan menggunakan bulu ayam dari kemoceng sedangkan Ariel menggelitiki kakinya Tristan.
Tristan yang merasa tidurnya terganggu menggeliat menepis rasa geli di telinga dan juga di hidungnya. Kedua balita itu cekikikan memberhentikan kegiatan keduanya sebentar lalu kembali mengorek-ngorek bulu kemoceng itu ke lubang hidung dan telinga.
"Siapa sih ganggu tidur saja?" lenguh Tristan terganggu. Perlahan matanya terbuka, sedangkan kedua bocah itu tengah sembunyi di samping sofa tempat di mana Tristan beristirahat. Keduanya cekikikan sambil menutup mulut.
Tristan mendudukkan bokongnya menggeliat, menguap, lalu berdiri siap melangkahkan kakinya menuju toilet. Kedua bocah yang tengah bersembunyi itu menggerakkan tangannya menghitung.
"Satu.. dua.. tiga...
Ngeeeekkk nguueeeekkk..
Tristan terkejut kakinya menginjak suara bunyi ngueek ngueek. Dia melihat di bawah kakinya, ada beberapa mainan anak yang bunyi.
Tristan mengambil mainan bunyi tersebut. "Ini pastilah kedua bocah semprul itu," uacapnya mencari-cari anak dan juga keponakannya.
"Ariel, Andrew, kalian di mana? jangan main-main ya sama Uncle Ayah? kalau kalian tidak keluar juga Uncle Ayah tidak akan membawa kalian jalan-jalan lagi ke kebun binatang."
"Uncle Ayah tahu loh kalau kalian sedang bersembunyi. Sini keluar?" panggil Tristan duduk kembali menunggu kedua bocah itu penampakan dirinya
"Kak atu mau lihat jelapah. Kalau Uncle Ayah malah tita tidak akan dibawa jayan-jayan yagi," ucap Andrew berbisik khas suara balitanya masih cadel.
"Ya, sudah deh, kita menyerah saja daripada nanti tidak dibawa bermain sama Ayah." Kedua anak kecil itu menyerah takut tidak diajak saat pergi jalan-jalan.
Tristan tersenyum mendengar bisik-bisik dua bocah di belakangnya, dia menunggu kedua bocah itu menampakan dirinya.
"Andrew, Ariel kalau tidak keluar uncle Ayah tidak akan membawa kalian. Satu.. dua.. ti...
"Ayah kami di sini."
"uncle tami di cini." keduanya menampakan diri di belakang Tristan.
Tristan tersenyum "Nah, gitu dong. Kalian memang anak-anak yang baik."
"Kalau begitu buruan ayo kita main ke kebun binatang.". Ajak Ariel anak berusia 4 tahun.
"Iya uncle, ayo main." timpal Andrew anak berusia 2 tahun. keduanya menarik-narik lengan Tristan.
"Iya, iya, sabar, ya. Uncle Ayah mau mandi dulu. Masa jalan-jalan bau acem seperti ini?" Tristan terkekeh melihat kegemasan dua balita itu.
Di hari Sabtu ini, Anak dan juga keponakannya selalu bermain bareng dia di rumah baru yang ia beli beberapa bulan yang lalu. meskipun orang tuanya menyuruh dia tinggal bareng mereka namun Tristan ingin merasakan tinggal di rumah yang ia beli hasil dari kerja kerasnya selama ini.
walau terkadang setiap hari minggu selalu kumpul di rumah orang tuanya. untuk dua balita ini selalu bersama dia di hari Sabtu untuk menemani dirinya tidur satu hari di rumahnya.
Andrew Geraldo, keponakannya dan Ariel Delano, anak kandungnya. Kedua pria kecil inilah yang selalu menemani Tristan di atas keterpurukannya atas penolakan Claudia. Kedua pria kecil ini selalu menghiburnya di tengah lelah habis bekerja dan lelah berharap pada wanita.
*******
"Ayah, aku mau melihat badak bercula."
"Atu mau yiyat jelapah," timpal Andrew.
Tristan tersenyum mendengar celotehan kedua pria kecil ini. "Iya, pokoknya hati ini kita akan mengunjungi kebun satwa dan melihat hewan apa saja yang akan kalian lihat.
"Hoyeee.. Uncle Ayah memang paying baik, deh. Atu cayang Uncle tapi tetap Mama cama Papa atu yang paying atu cayang."
Tristan hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia membawa kedua anak itu berkeliling kebun binatang seperti yang mereka inginkan.
*******
"Bu, Alana pulang."
Ibu Alana menggeram, amarahnya memuncak. Kedua tangannya bertolak pinggang menatap tajam Alana. "Darimana saja kamu, hah? Jam segini baru pulang? Keluyuran kemana kamu? Sudah tahu di rumah banyak kerjaan menumpuk, tidak ada makanan malah keluyuran gak jelas." Sentak Ibu tirinya yang bernama Dewi.
"Maaf, Bu. Di pasarnya ramai." gadis itu menunduk menyembunyikan raut wajahnya yang terlihat sedih.
"Halahh, alasan saja kamu. Sekarang masuk ke dalam rumah! kerjakan semua pekerjaan rumah ini sampai bersih." Usir ibu Alana seraya mendorong tubuh kecil itu hingga terjatuh ke lantai.
Alana menunduk menyembunyikan rasa sedihnya. Sedih karena Ibunya tidak menyayanginya. Mata Alana berkaca-kaca tak mampu lagi menyembunyikan rasa sesak di dada.
"Malah masih duduk di situ, buruan kerjakan! Pergi sana ke dapur jangan lupa siapkan makanan untuk Ibu dan juga Kakakmu!" Sergah Dewi menyeret lengan Alana membawanya ke dapur dan kembali mendorong tubuh kecil itu. "Kerjakan!"
"Ba baik, bu.
"Buruan jangan lama-lama, saya dan Ica sudah sangat kelaparan."
Dengan tertatih menggunakan tongkat sebagai alat bantu berjalan di tangan kirinya, Alana menyeret paksa kakinya berjalan menuju dapur mencari bahan masakan untuk ia olah menjadi sebuah hidangan. Meski di tengah keterbatasannya, Alana mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah mulai dari mencuci baju, mencuci piring, mengepel, memasak hingga berbelanja sayuran.
Di tengah kesibukannya mengolah makanan, Ica tiba-tiba datang. "Hei, cacat, mana makanan saya?"
"Makanan belum jadi, kamu tunggu saja di situ kalau sudah jadi aku akan panggil kan."
Braak...
Ica malah menggebrak meja saking kesalnya makanan belum juga matang. "Aku maunya sekarang! Buruan mana?"
"Kenapa kau marah-marah, Kak? Aku lagi memasak dulu tapi, kamu sabar sedikit dong. Kalau sudah matang pun pasti akan ku kasih tahu."
Grep..
Ica mencengkram dagu Alana membuatnya mendongak keatas meringis kesakitan. "Berani-beraninya kau melawan ucapanku."
"Sakit Kak, lepaskan aku!" Ringis Alana memegang rambutnya berusaha melepaskan cengkraman Ica.
"Hei, Ada apa ini? Bukannya masak malah berantem"
"Ini Bu, Alana berani melawan ucapanku. Aku sudah lapar tapi dia malah santai." Ica mengadu berharap Ibu mau membantu dirinya memberikan pelajaran.
Dan benar saja apa yang Ica inginkan tercapai. Dewi mencengkram dagu Alana menusuk kulit nya menggunakan kuku jari jempol. "Jadi sekarang kau berani melawan kami?"
"Bu bukan begitu aku hanya ingin Kak Ica menunggu sebentar saja."
"Halah, bilang saja kau tidak ingin melayani kami lagi. Jika kau sudah bosan tinggal di rumah ini enyahlah dari sini! Kami tidak membutuhkan wanita pincang seperti dirimu, menyusahkan saja." Hardik Dewi seraya mendorong dagu Alana membuat wanita itu mundur ke belakang terbentur wastafel.
"Tidak Bu, Alana masih ingin tinggal di sini aku akan melakukan apapun asalkan Ibu tidak mengusir Alana." Hanya ini satu-satunya tempat tinggal yang Alana miliki.
"Makanya buruan!" Sergah Ica sembari mendudukkan bokongnya di kursi meja makan. Sama halnya dengan Dewi yang juga ikut duduk menunggu makanan matang.
Setelah menunggu beberapa saat makanan itu pun matang Alana membawa dan bersiap menyimpan masakan yang ia bawa ke atas meja. Ica memperhatikan Ibunya yang menunduk melihat ponsel. Kaki Ica sengaja ia rentangkan ke depan sehingga membuat Alana tersandung dan makanan yang dibawanya pun tumpah berserakan di lantai.
Praaang...
"Alana....! Apa yang kau lakukan, hah? Bisa-bisanya kau menjatuhkan makanannya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Nurul Faridah
harusnya alana ga usah pincang kan kasihan
2023-01-27
0
Dara Muhtar
Ada Nenek Lampir sama anaknya 🤦
2022-09-29
0
玫瑰
Cerita nya mirip Bawang putih Bawang merah..aduh..
2022-09-27
0