Matahari baru saja memancarkan sinar keemasannya. Aroma bunga mekar dan daun segar, berpadu menciptakan suasana yang nyaman. Angin musim semi bertiup sepoi-sepoi mengiringi perjalanan Yongzi dan putrinya.
“Jadi, Ayah yakin? Tidak membutuhkan bantuanku kali ini?”
“Ya, anakku. Pergilah ke rumah kawanmu. Itu bagus, tidak masalah. Bersenang-senanglah!”
“Kalau begitu, bawa ini, Ayah.” Xua He mengeluarkan sebuah bungkusan dari kain rami dari kantongnya.
Yongzi menerima benda tadi dari sang putri.
“Itu ... Kue Pao kering isi telur, Yah. Hanya itu yang selamat dan layak dimakan waktu kubuat tempo hari.” Gadis itu menunduk, merasa bersalah, telah menyia-nyiakan bahan makanan karena kelalaiannya.
“Terima kasih putri kesayanganku. Wah, ini pasti lezat sekali!” Yongzi mengelus rambut Xua He penuh kasih.
Kedua ayah dan anak tadi berpisah di percabangan jalan. Dengan riang gembira, Xua He melambaikan tangan pada Ayahnya.
“Cepat pulang, Ayah! Aku akan membuat makanan lezat lainnya untuk Ayah!” teriaknya sambil berjalan mundur. Yongzi membalas lambaian tangannya dari kejauhan.
Setelah berpisah dengan sang ayah di jalan tadi, Xua He bergegas menuju sebuah rumah di tepi hutan. Rumah kayu yang dihiasi bunga-bunga indah. Lengang, tidak ada orang di sana waktu gadis itu tiba.
Teriakan penuh amarah terdengar dari dalam rumah. Kemudian, Xua He melihat gadis yang ia cari, berjalan menunduk, keluar dari rumah. Dalam gendongannya, ada sekeranjang baju kotor. Ia terlihat kerepotan membawa keranjang besar tersebut. Benda yang lebih besar dari tubuhnya.
Melihat hal tersebut, Xua He buru-buru lari mendekat. Ia membantu Xuan Yi mengangkat keranjang. Gadis itu tersenyum melihat temannya yang baru ia kenal beberapa saat yang lalu, datang.
“Kau? Terima kasih!”
“Sama-sama. Mau kita bawa ke mana baju-baju ini?”
Xuan Yi menunjuk arah dengan kepalanya.
“Ke sungai, ke mana lagi?”
“Baiklah, ayo!”
Kedua gadis yang tidak terpaut jauh usianya itu, berjalan beriringan menuju tepian sungai. Sepanjang perjalanan, mereka tertawa-tawa. Mengobrol entah apa saja yang terlintas dalam pikiran kecil mereka. Setelah sampai di pinggir sungai, Xuan Yi dengan cekatan mencuci baju-baju dalam keranjang. Xua He meletakkan kantong yang ia bawa di sebuah batu besar, lalu ia melepas alas kaki dan ikut turun ke sungai.
“Apa kau tidak apa-apa, membantuku seperti ini?” tanya Xuan Yi.
“Bukan masalah besar bagiku. Di rumah, aku juga melakukan pekerjaan seperti ini. Hanya saja, ayah akan membantuku membawa keranjang yang sangat berat!”
“Baiklah. Terima kasih.”
“Tidak perlu sungkan. Inilah gunanya teman.”
Mendengar kata “teman” dari mulut Xua He, hati Xuan Yi menghangat. Ia baru mengerti ada perasaan nyaman lainnya, selain bersama ayahnya, Yaosan.
“Ngomong-ngomong, apa ibumu selalu seperti itu Ayi? Kupikir, semua ibu sangat lembut dan baik hati seperti cerita ayahku tentang ibu.”
Xuan Yi tertegun mendengar perkataan temannya.
“Ibuku juga baik dan lembut. Mungkin aku yang terlalu malas dan tidak megerti rasa lelahnya. Hingga ibu seperti itu. Ibuku membawa adikku dalam perutnya siang dan malam. Itu pasti sangat lelah, kan, Ahe?”
Mata Xua He membesar setelah mendengar kalimat Xuan Yi, lalu ia tertawa.
“Jadi, ibumu sedang mengandung dan kau akan punya adik? Itu pasti akan menyenangkan.”
“Ya, aku harap, kelak adikku bisa jadi teman bermainku.”
“Dan kau akan melupakan aku?”
“Siapa bilang? Kita bertiga akan main bersama tentunya!”
Kedua gadis itu tertawa bersama. Mulai saat itu, mereka berjanji untuk selalu berbagi kebahagiaan atau apa pun.
Setelah menyelesaikan pekerjaan mencuci pakaian, kedua gadis tadi berjalan kembali ke halaman belakang rumah dan menjemur pakaian tadi.
“Mmm ... apa ibumu sudah masak hari ini, Ayi?”
Xuan Yi menggelengkan kepala.
“Ayahmu, ke mana?”
“Pergi ke pasar di ibukota. Menjual beberapa benda dan hasil kebun.”
“Kenapa jauh sekali? Tidak di pasar desa sebelah saja?”
“Entahlah.”
Mata Xua He memandang sekeliling, ada banyak macam sayuran yang ditanam di belakang rumah. Kemudian ia bertanya di mana letak dapur rumah itu. Ia menarik tangan Xuan Yi, memetik beberapa sayur lalu menuju dapur.
“Aku akan membuatkan makanan untukmu dan ibumu. Nanti kau juga ke rumahku, ya?”
“Baiklah.”
Dengan gesit dan cekatan, Xua He memotong sayuran setelah mencucinya. Ia juga membuat bubur dari beras. Xuan Yi memandang gadis tersebut dengan takjub. Mereka sebaya, tetapi kemampuan memasak temannya itu jauh dari rata-rata anak seumuran mereka.
“Kau juga harus belajar mengolah makanan, Ayi. Agar meringankan pekerjaan Ayah dan ibumu.”
“Tentu saja.”
Setelah kegiatan masak-memasak selesai, kedua gadis itu menyimpan makanan di lemari, tempat di mana biasanya makanan diletakkan. Xua He mengajak Xuan Yi pergi ke rumahnya.
Beberapa saat kemudian, kedua anak perempuan itu sampai di sebuah rumah. Xuan Yi memandang sekeliling. Baru kali ini ia bepergian ke tempat lain. Ayah dan ibunya, belum pernah mengijinkannya pergi atau mengunjungi rumah lain.
Ujung mata Xuan Yi menangkap pemandangan tidak mengenakkan baginya. Rumpun bunga yang mengering. Sadar dengan arah pandangan temannya, Xua He berkata, “Itu rumpun bunga lavender. Aku kesal, tidak bisa membuat mereka hidup kembali. Tetapi sayang untuk mencabutnya.”
Xuan Yi mendekati rumpun bunga tadi, mengerat sedikit batang-batang utamanya.
“Mereka semua masih hidup, kau hanya cukup memberi mereka air setiap pagi. Aku yakin, mereka akan segar lagi, Ahe.”
“Benarkah?”
Xuan Yi mengangguk. Jari-jemarinya menyentuh pucuk-pucuk tanaman tersebut. Pendar keemasan seperti ratusan kunang-kunang terbang, terlihat di sana. Hal itu tentu saja membuat Xua He berdecak kagum.
“Ayi, sihir apa yang tadi kau lakukan pada lavender-lavender itu?”
“Sihir? Tidak! Aku hanya berbicara kepada mereka agar tetap hidup dan tumbuh.”
“Ya, ya. Baiklah. Ayo kita masuk!”
Xuan Yi memasuki ruangan utama keluarga tersebut. Ia melihat beberapa benda di sana. Tombak berwarna kemerahan, pedang giok berwarna merah, kertas-kertas mantra. Kemudian beberapa patung dewa di altar. Ia juga melihat sebuah patung kecil menyeramkan di sudut altar. Gadis itu mengulurkan tangannya.
“Jangan! Itu patung Raja Hantu. Penguasa dunia bawah. Aku merasa ada pancaran energi negatif saat menyentuhnya.”
Xuan Yi menarik kembali tangannya, lalu berjalan ke sudut lain.
“Jika kau mau, kita bisa belajar untuk segala mantra dan ritual dari kitab ‘Sembilan Aturan, Tiga Dunia’ .”
“Kitab apa?”
“Ah, sudahlah. Ayo ke dapur! Aku akan membuat makanan untuk ayahku. Kali ini, kau juga harus membantuku Ayi.”
Xuan Yi tersenyum.
“Tentu!”
Tidak terasa, matahari sudah di ufuk barat. Cahayanya mulai berganti dengan warna Jingga. Xuan Yi masih betah berlama-lama di runah Xua He.
Sementara itu, di tempat lain, Yen Yui sangat geram tidak menemukan putrinya. Makanan memang sudah tersedia. Namun, perempuan itu kesal ditinggalkan sendirian di rumah hingga sore hari. Mendadak, perut perempuan itu terasa sakit. Ia berteriak meminta tolong sekuat tenaga. Keberuntungan masih berpihak kepadanya, seorang wanita paruh baya, pencari jamur liar melewati rumahnya. Wanita tersebut memanggil tabib untuk membantu kelahiran sang bayi.
Sang surya hampir terbenam, saat Xuan Yi sampai di rumahnya. Ia segera mengangkat pakaian-pakaian yang ia jemur tadi pagi. Memasukkannya ke dalam keranjang rotan setelah melipatnya dengan rapih. Ia terkejut, saat ibunya berteriak dari dalam kamar.
“Bagus! Bagus sekali! Sekarang kau berani pergi dan pulang sesore ini?”
Suara Yen Yui terdengar meninggi.
“Tapi ibu, aku hanya ....”
“Diam! Sebagai hukuman, pergi ke pojok sana! Berdiri! Hingga waktu makan malam usai. Dan tidak ada makan malam untukmu!”
Tangis bayi terdengar di sela teriakan Yen Yui.
Xuan Yi merasa senang, akhirnya adik yang ia tunggu telah lahir ke dunia. Namun hukuman dari Yen Yui membuatnya sedih. Kemudian, gadis itu menunduk, ia berjalan ke tempat yang ditunjuk sang ibu. Bulir bening menggantung di sudut bulu matanya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Tracy Kay Gabriela
dasar ibu tiri dari neraka
2022-11-01
0