Pasrahkan Semuanya padaMu

Maafkan aku. Bukan aku tidak ingin memenuhi kewajibanku tapi aku tidak ingin melakukan itu tanpa cinta. Aku tidak ingin melakukan itu di saat hati dan pikiranku masih tertuju pada orang lain. Aku tidak ingin menyakitimu. Maafkan aku yang sudah zalim terhadapmu. Farel.

Lebih baik sekarang aku tidur supaya besok bisa terbangun lebih pagi. Dan semoga nanti malam aku bisa terbangun. Sarah.

Detik jam berlalu dengan sangat lambat. Farel yang tidak terbiasa tidur di sofa jadi kesulitan untuk menyambut mimpi. Sejak menikah, dia belum bisa tidur dengan nyaman.

Ah, apa sebaiknya aku dan Sarah pindah rumah saja supaya kami bisa mempunyai kamar sendiri-sendiri. Yah, sepertinya itu adalah solusi terbaik buat kami. Lambat laun pasangan suami istri itu dapat tidur dengan nyenyak.

Hingga saat tengah malam, Sarah terbangun. Dia menoleh ke arah sofa di mana laki-laki yang bergelar suaminya itu tidur. Pelan wanita itu turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah dari kamar mandi, Sarah membentang sajadahnya di samping tempat tidur. Seperti yang sudah biasa dia lakukan, sholat malam, mengadu pada sang pemberi kehidupan.

Hamba pasrahkan semuanya padaMu. . .

***

"Tidak. Abi tidak setuju. Anak Abi yang tinggal di rumah ini hanya kamu. Tunggulah sampai adik kamu Fahira selesai kuliah dan pulang ke rumah ini. Baru kamu boleh pindah!" tegas Kyai Agung saat Farel mengutarakan niatnya hendak mengajak Sarah pindah rumah keesokan hari. Dia tidak bisa menunggu lama lagi.

Farel menghela nafas berat. Menunggu sampai Fahira selesai kuliah, itu masih dua tahun lagi. Belum lagi rencana Fahira yang ingin mengambil S2nya di sana juga. Farel mengusap kasar wajahnya.

"Tapi, Bi. Farel ingin menjalani rumah tangganya tanpa gangguan. Abi mengerti, kan? Yah, kalau hidup berdua saja kan bisa bebas sebagai pengantin baru." Farel mendapatkan alasan yang menurutnya akan di pahami oleh orangtuanya itu.

"Hhh, kalau begitu, kamu bisa pergi berbulan madu lagi berdua saja dengan Sarah. Ajak dia bulan madu ke Kairo juga supaya bisa bertemu dengan Fahira!" sahut Pak Kyai.

Mata Farel membulat. Bulan madu ke Kairo? Tidak. Itu adalah satu-satunya tempat di mana aku tidak akan pernah mengajak Sarah. Farel membatin.

"Kok melamun? Bagaimana?" tanya Pak Kyai lagi.

Farel menggeleng lemah, "Tidak perlu, Bi. Kita di sini saja." Farel menghempaskan bobotnya di sofa yang ada di sampingnya.

"Ya sudah, Abi mau ketemu pak Kyai Rohim dulu. Beliau mau menitipkan putrinya ke pesantren kita," pamit Pak Kyai yang langsung keluar dari ruang kerjanya.

Farel menatap nanar orangtuanya itu lantas berdiri ikut keluar dari ruang kerja Abinya. Farel kembali ke kelas untuk memberikan ilmunya pada santri dan santriwati yang menimba ilmu di pesantren milik Abinya yang bekerja sama dengan sahabat beliau pak Kyai Rohim.

Saat sedang berjalan menuju kelas, tak sengaja Farel bertemu dengan istrinya, Sarah. Mereka terlihat canggung.

"Hhmm, mas Farel," sapa Sarah lembut dengan menampilkan senyum semanis mungkin. Dia tidak mungkin tidak menyapa suaminya sedangkan ada ustadzah Zahra di sampingnya.

"Hhmm, Sarah. Mas mau mengajar dulu," pamit Farel sembari menganggukkan kepalanya.

"Iya, mas," sahut Sarah lirih.

Farel bergegas pergi dari hadapan Sarah dan juga Zahra.

"Kamu beruntung, Sarah," ucap Zahra pelan.

Dahi Sarah berkerut, "Beruntung, maksudnya?" tanya Sarah tak mengerti.

"Ya, kamu beruntung bisa menikah dengan ustad Farel," jelas Zahra.

"Memangnya kamu tidak merasa beruntung bisa menikah dengan ustad Hamzah?" tanya Sarah heran.

"A-aku? Alhamdulillah, aku merasa beruntung kok, Sarah. Hanya saja Ustadz Farel itu kan. . ." Zahra tidak melanjutkan kata-katanya.

"Memangnya kenapa dengan Ustadz Farel?" tanya Sarah penasaran.

"Oh, tidak apa-apa kok, Sarah. Ya kamu tahu sendiri kan bagaimana Ustad Farel itu." Zahra seperti tidak mau jujur dengan ucapannya.

"Aku tidak mengerti maksud kamu, Zahra? A-apa kamu menyukai Ustad Farel?" tanya Sarah ragu-ragu.

Wajah Zahra pias. Dia terlihat gugup, "Oh, hmm, tidak kok, Sarah. Masa aku menyukai suamimu? Mana mungkin itu," sahut Zahra terbata-bata.

Sarah menelan salivanya dengan susah payah demi mendengar ucapan dari Ustadzah Zahra. Hhmm, begini ya resikonya mempunyai suami yang di idolakan banyak wanita. Ah, kenapa sampai aku memilih Ustad Farel saat itu? Sarah mengusap wajahnya perlahan.

"Kamu kenapa Sarah?" tanya Zahra khawatir. Dia terlihat tidak enak hati.

"Oh, tidak apa-apa kok," jawab Sarah lirih.

Aduh, aku keceplosan, nih. Pasti Sarah berpikir kalau aku menyukai suaminya. Yah, walaupun kenyataannya begitu. Tapi kan bukan hanya aku, Maya dan yang lain juga menyukai Ustad Farel. Bahkan anak-anak santriwati yang masih sekolah saja mengagumi Ustad Farel. Zahra bermonolog.

Mereka kembali melanjutkan langkah kaki mereka menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang bagi santri dan santriwati yang menginap di pondok pesantren.

Setelah melaksanakan salat zuhur di masjid di depan pondok pesantren, semua santri dan santriwati yang tinggal di pondok pesantren pun pergi ke ruang makan. Setelah santri dan santriwati makan siang, giliran Ustad dan Ustadzah yang makan siang.

Sarah dan Farel duduk bersebelahan. Mereka makan tanpa ada yang mengeluarkan suara hingga makan siang selesai mereka beristirahat di Pendopo sebelum melanjutkan pelajaran selanjutnya.

Karena Sarah hanya mengajar anak setingkat SD, jadi jam pelajaran Sarah sudah selesai dari pukul 10. Tinggal nanti sore Sarah mengajar anak-anak mengaji.

Wanita itu lalu pergi ke belakang Ponpes, di mana terdapat aneka tanaman sayur dan buah. Dia duduk sembari menatap tanaman sayur yang mulai berbuah. Ada terong, cabai, tomat, dan sayuran hijau lainnya.

"Sarah. . ." Ada seseorang yang memanggil Sarah saat wanita itu sedang termenung. Sarah reflek menoleh ke arah sumber suara.

"Ustad Aldo?" Sarah mengernyitkan dahinya.

Aldo tersenyum, "Sedang apa di sini?" tanya Aldo lembut.

"Sa-saya hanya sedang mengamati tanaman," jawab Sarah gugup.

"Hhmm, mereka cantik-cantik dan segar, ya. Sama seperti wanita yang sedang menatap mereka," ucap Aldo setengah bergumam namun masih bisa di dengar oleh Sarah.

Wajah Sarah memerah. Apa maksud ustad Aldo berkata seperti itu. Ah, kenapa berduaan di sini? Ini tidak boleh. Sarah membatin.

"Hhmm, maaf, ustad. Saya permisi dulu," pamit Sarah canggung.

"Semoga kamu berbahagia dengan pernikahanmu," ucap Aldo lirih.

Kamu? Ustad Aldo memanggilku 'kamu' ? Hmm, oh iya. Pada hari itu ustad Aldo ikut berdiri saat Kyai Agung bertanya siapa yang akan memilihku sebagai istri. Ah, ini salah. Aku harus segera pergi dari sini. Aku tidak ingin terjadi fitnah. Sarahpun bergegas meninggalkan Aldo sendirian yang menatapnya dengan tatapan sendu.

Di hatiku tetap ada kamu, Sarah.

Terpopuler

Comments

Authophille09

Authophille09

Ayo Aldi, kamu pasti bisa move on💪💪

2022-11-19

0

Inru

Inru

Ada maksud terselubung, Zahra?

2022-09-14

0

Inru

Inru

Sabar Farel, semoga Abi berubah pikiran.

2022-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!