Untuk embun mungkin hujan adalah kepalsuan yang menciptakan dirinya di pagi hari, untuk awan mungkin petir adalah si bising yang tak pernah berhenti menghantui, dan untukku kamu adalah khayalan, cukup sampai di situ.
Hari ini, setelah 10 tahun aku berusaha melupakan kebodohan masa lalu, kamu datang lagi. Padahal rencananya setelah merayakan anniversary yang tidak pernah terjalin itu, aku akan mulai berusaha melupakanmu dan menerima cinta yang baru.
Tapi kenapa kau datang? kenapa sekarang? setelah 10 tahun. Karena saat ini, masa dimana kegemilanganku sebagai seorang wanita telah habis, umurku sudah pada batas waktu dimana kecantikan bukan lagi kelebihan. Setidaknya, dulu aku masih muda, walau tidak terlalu cantik, tapi masih energik.
Aku yang sekarang, diumur 30 tahun, hanya Namira yang mendekati kedewasaan dengan segala kerut kehidupan yang mulai timbul. Lalu bertemu denganmu, seseorang yang sudah 10 tahun ini menjadi khayalanku, menjadi pria yang mengisi kekosongan hatiku, alih-alih mencari pria nyata, aku malah tenggelam dalam khayalan semuku padamu.
Sementara kau, kau menjadi Mister X yang sangat cemerlang, rambut itu, mata itu, hidung itu, dan keseluruhan kesempurnaan itu, menjadi manekin yang paling indah di gelapnya dunia dramaku.
...
“Selamat pagi, saya Gionino Abrar, boleh panggil saja Gio. Saya hari ini resmi menjabat sebagai GM, menggantikan Pak Bimo, mohon bantuannya.” Dia memperkenalkan diri. Aku terus memperhatikan tanpa malu, aku yakin bahwa dia tidak akan mengenaliku lagi.
“Saya Ida, supervisor HRD.” Mbak Ida memperkenalkan diri, aku masih terpukau menatap Gionino, my Mister X.
“Saya Namira, Admin HRD.” Aku memperkenalkan diri dengan menunduk, semua mata tertuju padaku, termasuk dia.
Sungguh aku merasa sangat frustasi dengan pertemuan ini. Kenapa harus sekarang? kenapa harus saat aku mengenakan kemeja bunga-bunga tangan panjang, yang motifnya khas remaja tahun 80an, alias jadul! dipadu rok bahan panjang warna hitam yang tentu saja sudah pudar. Ditambah rambut, oh ya rambutku tidak kalah legend-nya, dikuncir cepol hanya dengan jepitan capit. Sempurna!
“Baik, silahkan Ibu ida presentasikan seluruh laporan HRD yang perlu saya Highlight.” Mister X memerintahkan Mbak Ida, tidak ada jeda saling mengenal lebih jauh, lebih tepatnya dia tidak perduli. Benar, kan? dia tidak ingat aku, terlihat dari ekspresinya yang datar.
“Kami akan mulai dengan jumlah karyawan, presentase absen, presentase kenaikan gaji dan tentu saja Key Perfomance Indikator.” Mbak Ida memulai presentasinya. Aku mencoba fokus, sungguh, aku mencoba fokus.
“Namira, bisa buatkan saya kopi.” Di tengah meeting, Mister X tiba-tiba menyuruhku membuat kopi, sebentar, apa? kopi!
“Kopi? maaf, Pak?” Aku menatap ke arahnya, aku memang sering mengerjakan tugas di luar dari tanggung jawabku, tapi nggak bikin kopi juga, itu tugas Office Boy!
“Iya kopi, saya suka yang manis dicampur susu atau creamer, jangan gula, ok?” Mister X memerintah kembali.
Aku nggak salah denger, ini beneran dia nyuruh buat kopi? di tengah meeting gini lagi?!
“Pak Gio, biar saya saja yang buat kopi.” Asisten GM, Lastri berbicara. Ya, dia kan asistennya, sudah sepantasnya Lastri yang bikin kopi, kenapa juga aku? Pokoknya aku nggak mau berdiri, malu dengan pakaianku.
“Lastri, apakah jika kamu meninggalkan ruangan, notulen bisa tercatat sendiri? menurutmu mana lebih penting? kau buat kopi atau notulen, lagian Namira kan hanya pendamping, jadinya wajar sekali kalau dia lebih memiliki waktu untuk membuatkan saya kopi. Bukankah dia juga pasti sudah menguasai bahan meeting, karena dia dari bagian HRD, divisi yang sedang presentasi.” Mister X memaksa.
Dia merendahkanku, mungkin hanya karena aku seorang admin, jadi tidak ada manfaat lebih untuk perusahaan ini, makanya meninggalkan ruang meeting untuk bikin kopi tidak akan masalah buatku. Mister X, ternyata kau tidak semanis khayalanku.
“Baik pak, tentu saja, kopi susu ya? kebetulan sekali aku pandai membuat kopi, ya kan Mbak!” Aku berbicara dengan nada penuh penekanan. Kau bukan Mister X ku, dia manis dan baik, dalam khayalanku tentunya. Aku berdiri dan berjalan, sekilas kulihat Mister X.
Tidak ... oh Tuhan, dia menunduk dan tersenyum, persis seperti waktu itu, kenapa wajah manis itu tidak pernah pudar, fokus Nam, fokus! Dia hanya fatamorgana di tengah teriknya padang pasir kehidupan ini.
Aku keluar dan menuju pantry, membuat kopi dengan susu, ingin rasanya aku ludahi saja, biar sekalian nurut, Orang-orang bilang begitu. Tapi sayang, aku punya harga diri yang tinggi.
“Wang, ngapain lu?” Manager marketing Pak Rian, dia ternyata datang ke sini, pasti mau bikin kopi juga.
“Buatin kopi GM baru yang sombong!” Aku monyong.
“Siapa? Gio?”
“Hooh, siapa lagi, btw lu kenal, Pak? kok manggil nama doang?” aku bertanya.
“Temen kuliah gue itu, tumben.”
Oh, Pak Gio temen kuliah Pak Rian, wah berarti mereka anak-anak orang kaya, kalau nggak salah universitas Pak Rian itu universitas swasta yang terkenal mahal dan bonafit, pantas si Gio sombong.
“Tumben kenapa?” Aku bertanya dan kopinya sudah jadi.
“Gio nggak pernah minum kopi seduh, dia selalu pesen kopi di tempat yang sama atau kopi giling dengan merk yang sama. Bahkan saking psykonya soal kopi, dia pernah bawa mesin pembuat kopi dan taro di kantin kampus, supaya kalau dia mau ngopi bisa sesuai ama yang dia mau. Makanya tumben, kok dia minta lu bikinin kopi.” Pak Rian bertanya dan sekaligus menjelaskan.
“Tau lah, yang anak baru kan die, kenapa gue yang diospek.”
“Elu kan anak Bawang.” Pak Rian menggodaku.
Aku sangat menghormati Pak Rian, dia orang yang baik dan tulus, kami pernah dekat dulu, dia melamarku tidak lama sekitar setahun setelah aku masuk kantor ini, hubungan kami sempat gempar karena aku disangka penggoda bos dengan tampilan seadanya ini. Ada yang bilang aku ke dukunlah, pakai susuklah, aku juga bingung kenapa dia suka aku, tapi aku tidak tertarik memulai hubungan lebih serius dengannya, makanya aku tolak dengan alasan dia pria yang tidak selevel denganku, kelasnya terlalu tinggi. Aku takut tidak bisa mengimbangi dia dan keluarganya, padahal alasan sebenarnya adalah ....
Aku masuk ruang meeting dan menaruh kopinya di meja tempat si Gio ini duduk, wangi parfumnya masih sama, aku sempat terdiam sebentar. Entahlah, kenangan 10 tahun lalu itu membuatku tersentak, sampai aku menyadari bahwa ... di jari manisnya ada cincin.
Sepertinya, memang dia bukan Mister X dalam khayalanku, karena dia takkan pernah bisa menjadi milikku.
Aku kembali lagi ke mejaku dan memperhatikan jalannya meeting, kulihat dia sesekali menyesap kopi buatanku, tak ada ekspresi, suka atau tidak, entahlah, tidak terlihat, lagian untuk apa aku perduli.
Meeting selesai, kami meeting sekitar 2 jam, semua orang keluar duluan kecuali aku, karena aku harus membereskan ruang meeting, memang kami punya Office Boy dan Cleaning Service, tapi seperti sudah adab saja, selesai meeting aku akan mematikan AC, menaikkan layar proyektor, mematikan proyektor lalu mematikan dan menutup laptop ruang meeting, saat selesai semua kulakukan, aku baru sadar, si Gio masih ada di ruangan.
Duh, dari tadi aku melakukan gerakan aneh nggak ya, atau bergumam yang aneh, biasanya aku bersenandung kecil kalau beberes.
Aku berjalan, mencoba bersikap biasa saja, melewati si Gio sombong ini. Tepat saat aku disampingnya dia berkata, “Kau akan membunuh seseorang dengan komposisi seperti ini.” Dia menunjuk gelas kopinya.
“Maaf Pak?” Aku tidak mengerti, pasti dia mau komplain kopinya, tau gitu tadi sekalian tuang karbol aja ke gelasnya!
“Seharusnya kopi 85%, lalu susunya 15%. Pastikan kau mengaduknya sampai warnanya coklat dan tidak ada lagi gumpalan susu ataupun ampas kopi yang masih menggenang, jadi kopi bisa dinikmati dengan nyaman. Satu lagi, airnya harus benar-benar mendidih.” Wajahku memerah karena marah.
“Baik Pak, lain kali saya akan buatkan sesuai komposisi yang bapak mau.” Aku melotot padanya, oh Tuhan tahi lalat itu, masih di tempatnya. Setelah dia merendahkanku, bahkan aku masih terpana dengan fisiknya, bodoh!
...
“Wang, perasaan gue nggak enak nih,” Mbak Ida berkata. Kami sedang makan siang di pantry.
Banyak orang memilih makan siang di kantin di luar kantor ini, tapi kami berdua memilih makan di pantry, kantor ini berada di dua ruko dengan tiga lantai yang di gabung jadi satu, tidak ada fasilitas makan siang dari kantor, tapi memang ada tunjangan makan, kami biasa menyebutnya uang makan. Kalau kami telat datang, maka goodbye uang makan.
Kami memilih makan di pantry karena lebih irit, kalau Mbak Ida bawa bekal, aku beli dulu baru deh gabung makan, selain kami, ada juga Lastri, asisten GM, dia junior karena baru 3 tahun belakangan ini bekerja. Lastri lulusan D3 sekertaris di akademik yang cukup terkenal, orangnya baik, ramah, walau dia orang kaya tapi dia tidak memandang orang dari penampilan atau fisiknya, makanya dia bisa cocok denganku dan Mbak Ida.
“Masakan lu kan emang gitu-gitu aja, nggak enak apanya?” Aku bercanda.
“Perasaan gue yang nggak enak, bukan masakan gue, Wang.” Mbak Ida menjelaskan.
“Soal Pak Gio ya, Mbak?” Lastri menimpali.
“Hooh Las, gila! laporan gue satu-satu diliat dan di cek loh, detail banget orangnya, pantes kacamatanya tebel.”
“Mbak, sini deh,” Lastri mendekatkan tubuhnya dan menyuruh kami mendekat, dia mau mengatakan hal yang rahasia sepertinya, “katanya, Pak Gio itu perfeksionis, dia tuh kurang suka ketidakteraturan, ketidakkonsistenan dan ketidakharmonisan sama hal-hal yang diluar kebiasaan. Dia tuh mampu berkutat pada satu hal bertahun-tahun tanpa jenuh dan bosan, makanya dia bisa naik jadi GM di umurnya yang baru 35 tahun.” Lastri tahu banyak pasti dari dokumen biodata si Mister X itu, kan Lastri yang scan dokumennya untuk di simpan di server perusahaan, lalu kami HRD akan meng-colect datanya untuk kepentingan HRD.
“Las, datanya udah lu simpen di server belum? mau gue ambil buat dokumen karyawan.” Aku tidak benar-benar membutuhkannya untuk pekerjaan, aku ingin melihat data pribadinya, aku ingin tahu apakah dia sudah menikah. Maafkan aku, profesionalisme jadi tercoreng untuk kepentingan pribadi.
“Udah Nam, baru kelar tadi.” Lastri menjawab.
“Wang, lu siap-siaP ya, lu harus tahan ok, kalo lu nggak tahan, lu inget gue, inget ada gue, jangan kebawa emosi yak.” Mbak Ida mewanti-wanti agar aku tidak kelepasan. ya, aku memang sedikit keras kepala apalagi kalau soal laporan yang aku fikir sudah terbaik yang kami lakukan, aku akan fight sampai laporan itu diterima. Aku memang anak bawang dan cenderung diam saat dibully hal-hal pribadi, tapi jangan coba-coba jika itu berhubungan dengan pekerjaan, sampai liang lahat akan kuperjuangkan, itu yang membuatku dan Mbak Ida klop, kami menjunjung tinggi tanggung jawab.
“Iye Mak, itu bagi sambel napah, pedes hati gue, eh mulut.” Aku melawak, kami tertawa bersama.
“Pak!” Lastri berdiri, Si Mister X ternyata masuk ke pantry. ngapain sih, kan kalau butuh sesuatu ada Office Boy.
“It’s ok Lastri, saya hanya butuh gelas, dimana ya?”
“Sebentar saya ambilkan pak.” Lastri berlari ke arah tempat kami biasa taruh gelas untuk bos-bos, gelas yang tidak boleh dipakai sembarangan. Aku membelakangi si bos edan ini, karena posisi bangku yang aku duduki memang membelakangi pintu masuk.
Kulihat Lastri kembali lagi ke meja kami.
“Oh ya, Namira, besok saya akan taruh coffee maker di pantry dan bawakan kopi yang biasa saya minum, setiap pagi setelah saya datang tolong buatkan kopinya ya, taruh di meja saya.” Mister X memanggil namaku dan memberi perintah.
Wait, what! Maksudnya apa nih, aku berdiri dan berbalik bermaksud menanyakan maksudnya, Mbak Ida menarik tanganku tapi kutepis.
“Gimana pak?” Aku bertanya dengan wajah tidak senang. Posisiku masih di dekat meja tempat kami makan.
Si Mister X edan ini mendekatiku, aku masih berdiri dengan wajah kaget, lalu dia berbicara dan setiap dia berbicara, dia mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Buatkan! saya! kopi! ... setiap hari! Jelas?” Wajahnya cukup dekat sekarang, tampannya lelaki ini, astaga, Namira bodoh!
“Pak, begini ya ....”
“Ok pak, Namira akan buatkan kopi setiap pagi dan antar ke meja Bapak.” Mbak Ida menjawab, dia berdiri di depanku sehingga menghalangi aku untuk menghardik Mr. X. Ah, sial, kenapa juga dia mencegahku, kalaupun harus di pecat hari ini aku siap, tapi di rendahkan begini, tidak seharusnya aku diam, apalagi yang merendahkanku adalah yang selama 10 tahun ini telah ... Bodoh sekali aku.
Kulihat lelaki itu menunduk dan tersenyum lalu menatapku sebentar dan pergi begitu saja, sungguh dia merusak selera makanku.
“Nam Please, Please Nam.” Mbak ida memanggil namaku, dia tahu bahwa emosiku belum reda.
“Mbak gue bukan OB, nggak seharusnya dia memaksa gue melakukan itu, mungkin karena penampilan gue yang belel ini.” Aku menunjuk bajuku, “makanya dia seenaknya nyuruh-nyuruh hal yang seharusnya dilakukan OB, gue udah melewati masa ospek 6 tahun lalu, apakah sekarang gue harus menjalaninya lagi!” Tak terasa air mataku turun.
Aku teringat 6 tahun lalu bagaimana sulitnya bertahan di lingkungan kerja di sini, semua senior menginjakku seolah aku sampah, aku diperlakukan seenaknya, semua pekerjaan kulakukan 2 kali karena mereka sengaja menyesatkanku, Mbak Ida pun dulu belum sebaik ini, aku sendirian waktu itu melawan para senior. Walau aku kebanyakan kalah, tapi aku berusaha berdiri, bertahan dan sekarang, haruskah aku diperlakukan sama? apa karena aku hanya seorang admin makanya posisiku yang rendah ini dianggap tidak berguna, hingga dia berusaha membuatku tidak betah dan berharap aku keluar dari perusahaan, itu kah yang dia mau? Mister X, aku tidak tahu bahwa pria yang kucintai dalam khayal selama 10 tahun ini adalah monster.
“Nam, liat gue, liat gue.” Mbak Ida memegang tanganku. “bertahan, ini cuma masalah kopi, masa lu kalah.”
Aku hanya mengangkat bahu, sungguh aku kecewa dengan hidup ini hatiku hancur berkeping.
...
Sudah sore, Mbak Ida dipanggil ke ruangan si Mister X, sudah sekitar 2 jam dia belum balik, apa meeting tadi pagi belum puas juga dia, kenapa sekarang masih mencecar Mbak Ida? Dia memanggil Mbak Ida secara personal, mereka membicarakan tentang format beberapa dokumen, aku memang sudah email semua format dokumen mulai dari formulir lembur, formulir cuti, formulir gudang dan beberapa formulir lain terkait pencetakan dan pendistribusian majalah, nggak heran sih ini bakal lama, untung cuma mbak Ida yang dipanggil, emosiku belum reda sejak kejadian makan siang tadi.
Saat aku sedang asik mengerjakan laporan sambil sesekali buka youtube karena memang internet kami tidak di lock jadi bebas buka apa saja, telepon mejaku berdering, kulihat nama Lastri terpampang di layar telepon mejaku.
“Napa Las?” aku bertanya.
“Wang, lu naik ya, tapi inget Wang, tarik nafas dulu, jangan emosi, jangan cari ribut, pokoknya lu harus tenang ok.” Ternyata Mbak Ida yang telepon dari meja Lastri.
Aku dipanggil ke ruangan si Mister X, peringatan mbak Ida malah membuat dadaku memanas, ada apa lagi ini, apakah aku target karyawan yang memang akan di keluarkan karena kurang produktif, mengingat absenku buruk, jadi seharian ini aku dicecar oleh GM langsung? apakah dengan membuat aku tidak betah itu menjadi pencapaian baginya? aku naik dengan emosi di dada, apa yang harus terjadi, maka terjadilah. Toh, aku nggak suka di rendahkan seperti ini, apalagi dia yang melakukannya, dia yang ....
______________________________
Catatan Penulis :
Aku bukan cinderela yang mengharap pangeran datang dengan sepatu kaca
Bukan juga rapunzel, berharap pangeran menjemputku di kastil, rambutku jangankan indah, panjang saja tidak. Apalagi putri salju, yang kecantikannya melampui semesta
Tapi salahkah jika aku berharap, kau yang kutunggu dan kucintai dalam penantian, mampu melihatku dengan indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
sssstttttttttt!!!!!!!!!!!!!!!!
emang dia pikir tahi lalat bisa jalan2 😅😅😅😅
2023-02-02
0
T.N
hahaha... bisa aja kak perumpamaan nya
2023-01-29
0
Regita Regita
susunan kalimatnya keren banget...apalagi catatan di akhir episode ...seperti pujangga...keren keren...bunga dan kopi meluncur.
2022-12-29
0