Saksi Perselingkuhan Orang Tua

Pulang sekolah, Naya langsung menuju ke parkiran. Hari ini tidak buruk, namun tidak bagus juga. Tapi ya bisa Naya nikmati. Sekiranya moodnya hari ini akan bagus untuk dipakai mengerjakan tugas nanti malam. Karena memang sangat banyak.

Raga yang melihat Naya langsung menghampiri gadis itu. "Pulang naik motor? Tumben, supir ke mana?" Tanya Raga.

"Gak ada lagi cuti."

"Besok-besok kalau supirnya cuti gua antar jemput mau? Biar gak perlu bawa motor."

"Gak dulu, makasih."

"Jutek banget, nanti cepet tua," peringat Raga sambil terkekeh.

"Ya emang udah tua juga, gak mungkin kecil terus, Kak. Uda ya jangan gangguin gue, gue mau pulang dan tugas gue banyak. Terkecuali kalau lo emang bersedia ngerjain tugas-tugas gue ya gapapa," kata Naya.

"Boleh, gua ke rumah lo jam berapa? Tugas apa aja gua bisa," balas Raga asal namun membuat Naya ketar-ketir. Bagaimana bisa Raga mengiyakannya begitu saja.

"Apasih, Kak! Udah ah gue mau pulang. Gangguin yang lain aja kenapa, jangan gue. Bye!" Naya menaiki motornya, tanpa mempedulikan Raga dia memakai helm dan melajukan motornya keluar sekolah.

Naya melajukan motornya dengan santai, hari ini dia lebih memilih untuk membawa motornya sendiri. Dijemput supir membuat Naya merasa tidak nyaman dan lagi kebetulan supirnya mengambil cuti selama satu minggu. Lebih enak jika dia bisa langsung pulang tanpa harus menunggu. Di motor juga lebih sejuk, apalagi menikmati suasana menjelang sore hari dan menikmati hiruk pikuk orang-orang di jalanan.

Naya memasuki area sebuah Hotel. Di sana ada ATM, uang jajannya sudah mulai menipis, selagi ingat lebih baik dia mengambil dulu uang agar besok aman. Naya masuk dan mengambil beberapa lembar uang seratus ribu di sana.

Saat keluar, matanya tertuju pada salah satu mobil yang datang. Naya mengenali mobil itu. Benar, itu ayahnya. Namun tidak sendirian, beliau didampingi oleh seorang wanita di sampingnya. Naya langsung memasukan dompetnya ke Tas lalu menitipkan motornya pada satpam sebentar.

"Demi apa gue harus cari tau kebenarannya." Naya sedikit berlari memasuki Hotel lalu ke bagian resepsionis.

"Permisi," ucap Naya.

"Iya selamat datang di Grand Hotel Livia, ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya Resepsionis yang Naya ketahui dari nametag nya bernama Talia.

"Saya mau tanya, kamar atas nama bapak Adi Wilaga nomor berapa dan lantai berapa ya, Mba?" Tanya Naya perlahan.

"Maaf, kakak ada kepentingan apa? Karena prosedurnya tidak bisa memberikan informasi customer karena bersifat privasi," balas wanita itu dengan ramah.

"Saya anaknya, tadi beliau duluan ke sini jadi saya gak tau ayah saya pesan kamar nomor berapa." Naya menunjukan kartu identitasnya, karena di sana tertera marga ayahnya yang tercantum.

"Baik, sebentar saya cek ya." Talia memeriksa data terlebih dahulu, sementara Naya tidak sabar dan ingin segera menemui ayahnya.

"Kamar VIP nomor 125 di lantai 8 ya, Kak. Ada lagi yang bisa dibantu?"

"Gak ada, makasih ya , Mba." Naya tersenyum dan langsung berlari ke arah lift. Ditekannya angka delapan, setelah itu lift tertutup dan mulai berjalan.

Ting ....

Lift pun terbuka. Dengan cepat Naya keluar dan mencari kamar yang dia tuju. Sampai akhirnya dia benar-benar sudah ada di depan pintu itu. Dia membayangkan jika dia menemui ayahnya sekarang dengan wanita itu pasti akan terjadi keributan.

Naya berpikir lalu menemukan sebuah cara, agar dia bisa memastikan wanita itu ada di kamar bersama ayahnya atau tidak. Naya maju selangkah, lalu dia menggedor pintu itu begitu keras. Setelah itu Naya berlari dan bersembunyi di lorong samping kamar itu.

Naya mengintip, sedikit. Terlihat seorang wanita keluar dengan baju yang sedikit berantakan. Disusul oleh Ayahnya. Mereka mencari siapa yang menggedor kamar mereka begitu keras dan tentunya menggangu aktivitas yang mereka lakukan.

"Siapa sih, Mas? Gak ada orang," ucap wanita itu tampak kesal.

"Orang iseng, udah gak usah dipikirin. Kita masuk lagi saja." Naya melihat ayahnya merangkul wanita itu dengan mesra dan kembali memasuki kamar mereka. Naya menarik napasnya kasar sembari menyenderkan punggungnya pada dinding, tangannya terkepal kuat. Kenapa ayahnya bisa melakukan ini?

Naya ingin menangis, namun dia merasa tidak ada gunanya menangisi hal yang sama berulang kali. Naya memutuskan untuk kembali dan pulang. Naya berjalan menuju lift dengan langkah lemas. Perasaannya campur aduk sekarang. Pikirannya sudah dipenuhi banyak pertanyaan dan umpatan. Bahkan Naya tidak habis pikir, kenapa ada wanita yang bisa rela menghancurkan wanita dan keluarga orang lain dengan menjadi orang ketiga?

Naya keluar dari hotel itu dan mengambil motornya, tak lupa dia memberi tip pada satpam yang sudah bersedia menjaga motornya. Setelah beres ia melajukan motornya untuk kembali pulang.

"Kenapa? Kenapa gue harus ngerasa terluka saat gue udah terbiasa dapetin luka? Kenapa gue harus kecewa di saat gue udah tau kalau ayah gak akan pernah berubah?"

"Kejadian yang sama, setelah gue liat perselingkuhan ayah waktu SD, sekarang keulang lagi. Pengkhianatan dan seorang pengkhianat emang gak akan pernah berhenti. Katanya semua hal yang seorang ayah lakuin, bakalan jadi karma buat anak perempuannya. Apa ayah gak mikir kesana? Gimana kalau anaknya diperlakukan serupa sama cowok brengsek? Bahkan gue udah ngerasain itu. Gue benci banget sama cowok!" Batinnya.

Naya melajukan motornya di aatas rata-rata. Hal yang sering dia lakukan untuk melampiaskan amarahnya karena tidak bisa menangis.

Sesampainya di rumah dia melihat Hana dan Bundanya berada di ruang keluarga sedang menonton. Dengan mengabaikan sapaan dari Bundanya, Naya langsung menaiki tangga dan menuju kamarnya. Dia membanting pintu cukup keras lalu menguncinya rapat-rapat.

Rena sudah sangat hafal kalau anak sulungnya pasti sedang emosi, jika Naya sedang marah dia akan terbiasa untuk mengurung diri. Dia tidak pernah bisa menceritakan keluh kesahnyanya pada Rena- Bundanya sendiri. Rena sedikit kepikiran, bagaimanapun naluri seorang Ibu kuat ketika anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Naya menumpukan tangannya di meja rias. Sesekali dia mengatur napas karena emosinya melonjak. Kepalanya kini bahkan sudah terasa pusing.

"Ini nih kelakuan lo, Nay. Cari tau yang seharusnya gak perlu lo tau, ketika lo udah tau akhirnya lo emosi sendiri karena gak bisa luapin," lirihnya. Tubuhnya sudah lemas, dan merosot ke bawah. Pertahanannya runtuh, dia tidak bisa menahan tangisnya lagi.

"Kenapa selalu gue yang nahan semuanya sendiri? Kenapa selalu gue yang ngeliat semua kelakuan busuk ayah? Kenapa selalu gue yang ngeliat pengkhianatan yang dilakuin ayah dengan mata kepala gue sendiri?" Naya terisak, sungguh dia membenci ayahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!