Pacar

Artha membulatkan matanya mendengar penuturan Miriam. "Siapa dia?"

"Itu kan tidak penting ...," ucap gadis itu santai.

"Apa? Itu penting Sheila."

"Tidak. Yang penting adalah menyingkirkannya."

"Eh, itu juga."

Miriam tersenyum yang menyejukkan hati Artha.

"Jadi kau bisa menyingkirkannya?"

"Tentu saja."

"Bagaimana caranya?"

"Belikan aku keris."

"Keris?"

"Iya."

"Yang seperti apa, sebab kalau yang berpengaruh harganya sangat mahal."

"Keris itu mahal karena isinya. Beli saja yang biasa tapi bukan yang palsunya. Jadi dia benar-benar pisau."

Artha menyanggupi. Keesokan harinya ia baru bisa membawakannya untuk Miriam. "Maaf, barang ini dibuat di luar kota. Aku terpaksa memesannya agar bisa sampai ke sini karena tidak ada toko yang menjual khusus barang ini di sini."

Miriam mengambilnya. Ia membuka keris itu pelan-pelan. Asli. Pisau asli. "Baiklah. Tinggalkan pisau ini di sini. Besok baru bisa kau pakai. Hari ini jangan ganggu aku dulu karena aku sedang konsentrasi mengisi pisau ini.

Pria itu terlihat tak rela tapi kemudian mengiyakan. Ia kemudian ke luar dari kamar itu.

Miriam kemudian pergi ke kamar mandi dan mulai mengisi bak mandi. Setelah penuh, ia menanggalkan pakaiannya dan berendam dalam air. Ia kembali menjadi Putri Duyung. Di dalam bak itu ia melepas 3 sisiknya hingga berdarah. Ia terus berendam agar lukanya cepat sembuh.

Artha yang pergi keluar rumah segera kembali lagi ke salah satu restorannya. Ia memandangi restorannya yang sudah besar itu.

Sial, masih saja selalu ada masalah. Saat restorannya mulai berjalan baik, ada saja saingan yang berusaha bermain kotor dengannya padahal ia tak pernah melakukan itu pada restoran lain. Ia selalu bersaing secara sehat.

Pria itu menghela napas pelan. Mudah-mudahan Sheila benar-benar bisa menyingkirkan saingan sialan itu!

"Kak Artha!"

Pria itu menoleh. Ia segera menegakkan tubuhnya melihat pacarnya datang. "Nafa? Kamu tidak kuliah?"

Seorang gadis cantik berambut panjang dengan kulit sawo matang mendatangi pria itu. Ia memasuki beranda restoran. "Kan tinggal skripsi, jadi gak perlu datang tiap hari Kak."

"Mmh ...." Artha mencubit hidung bangir pacarnya yang langsung di tepis gadis itu.

"Ih, kamu usil deh!" rengut gadis itu manja.

Artha tertawa ringan. "Jadi skripsimu bagaimana? Sudah mau rampung?"

"Baru setengahnya Kak. Huh, sebel! Susah banget," gadis itu kembali merengut. "Ini aja baru keluar rumah setelah berhari-hari ngerjain skripsi di kamar. Bertemu peradaban lah, biar gak berdebu di kamar," keluh gadis itu yang sebentar kemudian bergelayut manja di lengan kekar prianya.

Artha hanya tersenyum lebar. "Terus sekarang mau ngapain?"

"Ya jalan-jalan lah Kak, aku bete di rumah terus kayak orang dipingit aja padahal kan, Kakak ... belum lamar aku," kalimat terakhirnya bersuara lemah hampir tak terdengar. Ia bersandar pada dada bidang pria itu sambil masih melingkarkan tangan pada lengan Artha.

Artha tentu saja mendengarnya dengan senyum di kulum. Ia sangat tahu, gadisnya selalu manja setiap kali bertemu dengannya, tapi kali ini ada yang berbeda. Saat pacarnya muncul, ia malah teringat Sheila.

Sheila, gadis itu, berhasil mengalihkan dunianya. Sikap galak, cemberut, tapi polosnya itu membuat ia mulai tergila-gila. Andai saja Sheila mau, ia siap masuk ke dunia gadis itu entah bagaimanapun bentuknya. Ia rela, tapi dunia mereka beda dan ia masih belum bisa membujuk gadis itu.

Nafa, pacarnya yang sudah dipacarinya sekitar hampir dua tahun, ingin dilamarnya, tapi lagi-lagi kesulitan ia hadapi karena permintaan uang melamar yang cukup besar dan pesta mewah yang diinginkan orang tuanya itu membuat ia stres. Walaupun Sheila sudah membantunya ia kini berpikir ulang ingin menikah dengan pacarnya itu, apalagi saat bertemu Sheila imannya goyah. Ia tidak tahu harus memilih siapa karena hatinya kini mendua.

"Ya udah, kita jalan-jalan ke Mal aja ya?"

Wajah gadis itu terlihat bersemangat. Ia tersenyum sambil menyibak rambut panjangnya ke belakang. Sambil menggandeng pria itu, ia mengikutinya hingga ke mobil.

Begitulah. Berpacaran dengan anak orang kaya membuat Artha khawatir. Saat bosan, gadis itu selalu ingin pergi ke tempat yang harus mengeluarkan banyak uang. Entah ke Mal belanja, atau jalan-jalan keluar kota ikut acara keluarganya.

Orang tua Nafa hanya tahu, bahwa Artha pengusaha restoran dengan beberapa cabangnya dan ia tak mau tahu bagaimana biaya lamaran dan pesta pernikahan yang mereka minta itu Artha bisa dapatkan. Kalau Artha tidak bisa melamar sesuai permintaan, ia takkan bisa mendapatkan Nafa.

Mereka sampailah di Mal yang dituju, Mal yang sering mereka kunjungi karena kata Nafa Mal itu berkelas. Seperti biasa mereka makan siang di sebuah restoran Itali yang mewah, padahal mereka hanya makan piza yang katanya rasanya lebih orisinil Itali. Hanya itu.

Usai makan siang, Artha menemani pacarnya melihat-lihat sambil cuci mata di area perlengkapan wanita. Nafa melihat-lihat jepit rambut dan tak sengaja Artha melihat kotak perhiasan dari porselen yang berukir dan di cat warna-warna lembut. Pria itu tertarik dan mendekatinya.

Kotak itu sangat cantik membuat ia teringat kembali pada Sheila.

"Oh, aku sudah punya Kak, kotak perhiasan, jadi gak perlu." Tiba-tiba gadis itu sudah berada di sampingnya saja.

"Oh, ya sudah." Artha meletakkan kembali kotak itu ke rak di depannya, tapi saat pacarnya lengah ia kembali ke rak itu dan langsung membawanya ke kasir.

Nafa ternyata melihatnya tapi pura-pura tidak tahu. Ia penasaran untuk siapa Artha membeli kotak perhiasan itu.

Setelah membeli kotak perhiasan itu pria itu menyatukan tas belanja itu dengan tas belanja miliknya sendiri berharap Nafa tak curiga, padahal gadis itu telah mengetahuinya.

Usai berbelanja, Artha kemudian mengantar pacarnya pulang. Setelah itu ia segera pulang ke rumah. Ia menunggu esok hari karena tak sabar ingin memberikan kotak perhiasan itu untuk duyung cantik kesayangannya.

Sementara itu, malamnya Miriam konsentrasi dengan keris pemberian Artha. Ia membakar sisiknya itu pada kemenyan dan diasapkan pada keris itu sampai sisiknya habis. Setelah itu ia memantrai keris itu dan memandikannya pada air kembang tujuh rupa. Kemudian ritualnya selesai.

-------------+++-------------

"Halo Sheila ...."

Sapaan pagi itu dari Artha membuat Miriam mengerut kening.

Apalagi kejutan pagi ini? Miriam begitu hapal sifat Artha.

"Ini untukmu." Pria itu menyodorkan kotak perhiasan yang dibelinya pada Miriam.

"Apa ini?"

Artha tersenyum geli. "Ini kotak tempat penyimpanan perhiasan seperti jepitan yang ada di kepalamu itu."

"Oh." Miriam menyentuh jepitan di kepalanya. Gadis itu kemudian mengambil kotak itu. Ia memeriksa kotak itu dengan membukanya. Terlihat sekali gadis itu belum pernah melihat kotak seperti itu sebelumnya dan itu membuat mata liar pria itu semakin gemas saja pada putri duyung satu ini.

Saat ia menyadari tingkah lakunya diperhatikan pria itu, ia terlihat canggung. "Eh, kerismu sudah siap." Gadis itu menyerahkan keris itu pada Artha.

"Bagaimana cara memakainya?"

"Letakkan di salah satu restoranmu di tempat tertutup. Pastikan karyawanmu tahu tapi tak boleh mengganggunya."

"Di restoran yang mana saja?"

"Coba perlihatkan lagi padaku foto yang kemarin."

Artha memperlihatkan lagi foto-foto restorannya.

"Yang ini. Dia memasang pocong di sini."

"Ok, baiklah." Artha memasukkan HP-nya itu ke dalam saku baju. "Kau suka?" tanyanya tentang kotak perhiasan di tangan gadis itu.

"Oh, eh, mmh."

Artha menyembunyikan senyumnya.

Terpopuler

Comments

Ayano

Ayano

Thorthor, Nafa apa Nafas itu 🤣😅

2023-06-16

2

Ayano

Ayano

Wah wah... mulai dah pikirannya

2023-06-16

2

Ayano

Ayano

Dunia ekonomi itu berat persaingannya

2023-06-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!