Bab 2

Usai ibu satu anak itu menunaikan ibadahnya, dia pun melangkah masuk ke dalam kamar kecil di rumah kontrakannya.

Dia membangunkan sang suami yang kini masih terlelap sambil memeluk buah hati tercinta.

”Bang, bangun! Udah subuh, shalat dulu, yuk!” ajak Fitri pada sang suami.

Fitri mengguncang tubuh sang suami.

Fitri memang bukan seorang hamba yang taat beribadah, tapi dia salah satu insan yang masih mempercayai adanya Tuhan dan azab neraka.

Di hatinya masih ada nama Tuhan yang harus disembah. Dia hanyalah seorang hamba yang melakukan kewajibannya tidak lebih dan tidak kurang.

“Bang, udah siang,” ujar Fitri lagi.

Dia terus menggoyangkan tubuh sang suami.

Dimas menggeliatkan tubuhnya. Perlahan dia membuka matanya yang masih terasa berat.

“Jam berapa?” tanya Dimas pada sang istri dengan suara serak khas orang bangun tidur.

“Jam setengah enam, Bang,” jawab Fitri.

“Astaghfirullah,” lirih Dimas.

Dimas mengusap wajahnya kasar lalu berusaha bangkit dari posisi berbaring.

Tak berapa lama, Dimas pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Berhubung hari ini hari minggu, Fitri membiarkan putrinya masih tertidur dengan lelap.

Tak berapa lama setelah Dimas selesai shalat subuh, ponsel Fitri kembali berdering, Fitri mengambil ponselnya lalu membawanya keluar dari rumah.

Dimas menautkan kedua alisnya saat melihat sang istri menerima panggilan telpon di luar rumah.

“Dek, sekarang yang perlu kamu lakukan adalah menyamar sebagai orang gudang. Tugas kamu nanti Cuma nego dengan pelanggan aku, bilang sama dia harganya naik menjadi 3 juta lima ratus per unit, tidak boleh kurang dari itu. Nah kalau dihitung untung kita 1 juta per unit dalam 10 unit kita sudah untung besar, kita akan bagi dua hasilnya.” Si penelpon menjelaskan apa yang harus dilakukan Fitri.

Fitri mengangguk paham, dia yang memang saat ini dalam kesulitan keuangan tergiur dengan keuntungan-keuntungan yang diiminging-imingi oleh di penelpon.

Setelah itu, Fitri mematikan telponnya. Dia masuk ke dalam rumah, Dimas menatap tajam ke arahnya.

“Telpon dari siapa?” tanya Dimas curiga.

Tak pernah sekali pun Fitri mengangkat panggilan telpon menjauh darinya.

“Mhm, dari teman, Bang. Dia menawarkan kerja sama," jawab Fitri.

"Kerja sama apa?" tanya Dimas penasaran.

"Begini, Bang....---"

Fitri mulai menjelaskan kerja sama yang ditawarkan oleh si penelpon pada sang suami.

"Jika aku berhasil mengajak nego pelanggannya maka aku akan dapat untung besar,” jawab Fitri senang membayangkan uang keuntungan yang akan didapatkannya.

Baru saja Fitri selesai menjelaskan pada Dimas, ponselnya kembali berdering. Fitri pun mengangkat panggilan masuk ke ponselnya.

Dimas hanya diam melihat sang istri yang kembali sibuk dengan ponselnya.

“Halo, ini dengan Ko Asong. Saya pelanggan dari Bapak Rayhan, saya mau tanya, Rayhan bilang harga barang di gudang naik, saya boleh tanya berapa harganya?” tanya seorang penelpon dengan nomor baru lagi.

“Iya, saya dengan Fitri, yang dikatakan Rayhan memang benar,” jawab Fitri dengan mantap.

“Berapa harga barangnya sekarang per unit?” tanya pria yang mengaku sebagai Ko Asiong.

“Harga barang sekarang 3 juta lima ratus,” jawab Fitri melakukan nego sesuai perintah pria yang dikiranya adalah Rayhan.

“Tidak bisa kurang dari tiga juta lima ratus?” tanya Ko Asiong mencoba menawar harga yang sudah ditetapkan.

“Maaf, Ko. Tidak bisa, harga yang kamu tawarkan sudah dari pihak pusat,” jawab Fitri dengan mantap.

“Ya sudah, saya mau ambil beberapa unit barang. Buk Fitri bisa catatkan orderan saya?” pinta Ko Asiong.

“Tunggu sebentar, saya ambilkan buku dulu untuk mencatatnya,” ujar Fitri.

Ibu satu orang anak itu pun bergegas mengambil pulpen dan buku. Lalu dia menuliskan pesanan yang diminta pria yang bernama Ko Asiong tersebut.

Hati Fitri semakin senang setelah melihat jumlah barang yang dipesan Ko Asiong sejumlah 50 unit yang artinya keuntungan yang akan Fitri dapatkan sekitar 25 juta rupiah.

Dia mulai berangan-angan untuk membeli sepetak tanah untuk membangun sebuah rumah, karena saat ini mereka masih tinggal di sebuah kontrakan kecil.

Dimas terlihat kesal melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya di pagi hari seperti ini.

Seketika Fitri lupa dengan kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri.

Seharusnya pagi ini Fitri sudah sibuk di dapur memasak untuk suami dan anaknya, tapi dia sibuk dengan tawaran bisnis yang diberikan oleh temannya, sedangkan Dimas sendiri tidak tahu siapa teman Fitri yang menghubunginya di pagi hari seperti ini.

Putri kecil Fitri pun sudah bangun dari tidurnya, dia mulai merengek pada ibu mereka.

”Bunda, aku mau minum susu,” rengek Rasya menarik-narik baju daster yang dikenakan dan Bunda..

“Tunggu sebentar ya, Nak. Bunda masih kerja,” ujar Fitri yang masih sibuk dengan panggilan di ponselnya yang tak kunjung berhenti.

Fitri menoleh ke arah suaminya.

“Bang, bisa bantu aku sebentar!” pinta Fitri pada Dimas.

“Apa?” tanya Dimas ketus.

“Tolong buatkan susu untuk Rasya sebentar, aku harus selesaikan urusanku ini terlebih dahulu.” Fitri memelas pada sang suami.

Fitri dan Dimas memang sudah terbiasa saling bekerja sama dalam mengurus segala pekerjaan yang ada di rumah, karena mereka sama-sama bekerja mencari uang untuk kebutuhan hidup mereka yang masih tergolong sulit.

Rasa saling pengertian itulah yang membuat mereka masih mempertahankan rumah tangga mereka walau harus menghadang berbagai masalah kesulitan ekonomi setiap harinya.

Dengan kesal dan hati menggerutu, akhirnya Dimas melangkah ke dapur membuat susu untuk putrinya.

"Bunda, bunda," panggil Rasya yang masih saja mengganggu ibunya.

Fitri menoleh ke arah suaminya yang kini sedang sibuk dengan ponselnya.

"Bang, tolonglah kamu tenangkan Rasya sebentar," pinta Fitri lagi pada sang suami.

Dimas pun membawa putrinya ke rumah orang tuanya yang tidak jauh dari rumah kontrakkan miliknya.

Dimas menitipkan putrinya pada sang ibu yang baru saja selesai memasak.

"Istrimu mana, Dim?" tanya sang ibu heran melihat menantunya tak kelihatan sayang ke rumahnya.

"Katanya ada pekerjaan, Bu," jawab Dimas.

Wajah Dimas semakin kusut mendapat pertanyaan seperti itu dari ibunya.

Seolah-olah, ibunya mengira Fitri menelantarkan anaknya di pagi hari.

Satu jam Dimas duduk di rumah ibunya, bahkan dia pun sudah selesai makan di rumah orang tuanya, tapi Fitri belum juga datang menjemput putrinya.

Dimas pun melangkah menuju rumah kontrakannya, saat sampai di rumah Dimas masuk ke dalam rumah dan duduk di sebuah kursi plastik memperhatikan kegiatan istrinya.

Fitri masih sibuk dengan ponselnya. Dia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Dimas yang sudah ada di dalam rumah.

“Sayang, hentikan aktivitasmu!” pinta Dimas dengan nada sedikit tinggi.

Seketika Fitri menghentikan aktivitasnya.

“Aku mau tanya, siapa temanmu yang menelpon itu?” tanya Dimas penasaran.

“Mhm,” gumam Fitri bingung.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞

🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞

Astaufiruloh.. semoga Fitri ngk terpedaya sama reyan....
Dan jgn spai.. melukai hati suami y.

2022-10-03

2

R. Yani aja

R. Yani aja

Susah emang jadi istri mah... ada kewajiban yg harus dilakukan dipagi hari, tapi ada juga keinginan untuk bisa mandiri... 🤦‍♀️🤭

2022-10-03

0

👑Meylani Putri Putti

👑Meylani Putri Putti

begini sweet

2022-09-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!